Maret 2017, Sarah Sechan, seorang presenter ternama di Indonesia memutuskan menutup akun media sosialnya yang memiliki 158 ribu pengikut di Instagram dan 2,6 juta di Twitter. Ketika ditanya apa alasannya melakukan langkah itu, dia menjawab bahwa kehidupan di media sosial itu melelahkan dan menyita waktu-waktunya yang berharga. 

Sebagai seorang influencer, dia membutuhkan waktu 45 menit untuk menulis caption, mengambil video boomerang 20 kali, belum lagi ditambah dia harus merias diri, dan sederet upaya lainnya agar konten yang nanti diunggah lebih hidup dan meraih banyak likes dan comments. 

Tak hanya Sarah, ada pula seorang kawan yang sempat memutuskan untuk menghindari media sosial, khususnya Instagram. Selama setahun, dia vakum dari membuka dan mengunggah konten di Instagram Story karena merasa silau dengan pencapaian yang dipamerkan oleh teman-temannya di sana. Mereka yang dulu duduk di bangku sekolah dan kuliah yang sama dengannya tampak begitu berhasil dalam hidupnya. Sebenarnya, dia tahu bahwa apa yang teman-temannya lakukan di Instagram Story tersebut tidaklah salah. Tetapi, ketika dia mengonsumsi itu setiap hari, berjam-jam setiap malam sepulang kerja, lama-lama membuatnya jadi bertanya-tanya. Kok bisa ya mereka sehebat itu? Kok keren banget ya pekerjaan mereka? Kok asyik banget ya bisa dinas ke tempat itu? Dan sederet pertanyaan kok-kok lainnya yang tiada berujung. 

Dua ilustrasi nyata di atas menunjukkan sekelumit “efek tak terhindarkan” dari media sosial yang bisa menguras emosi dan mempengaruhi kinerja di dunia nyata, meski tentunya media sosial pun punya banyak dampak positif lainnya. 

Pertanyaannya, ketika media sosial telah menyita waktu dan pikiran kita, apakah menghindarinya adalah solusi yang benar-benar tepat?

Untuk menjawab ini, mari kita melihat perkataan Paulus yang ditulisnya dalam 1 Korintus 6:12, 

“Segala sesuatu halal bagiku, tetapi bukan semuanya berguna. Segala sesuatu halal bagiku, tetapi aku tidak membiarkan diriku diperhamba oleh suatu apapun.”

Paulus tidak mengatakan bahwa orang Kristen harus meninggalkan media sosial, toh pada zaman Alkitab ditulis pun para rasul tentu belum mengenal istilah ini. Ayat tersebut ditulis Paulus untuk menentang pandangan orang-orang pada masa itu yang berpikir bahwa mereka berhak untuk melakukan apa saja yang mereka inginkan, padahal sebagai orang Kristen, segala sesuatu yang kita lakukan seharusnya ditujukan untuk Tuhan, dan bukan untuk manusia (Kolose 3:23). 

Tidak semua informasi di media sosial itu baik, oleh karena itu kita perlu bijak memilahnya. Informasi-informasi yang baik yang kita konsumsi dapat menolong mengisi pengetahuan kita dan membuat kita up to date agar tetap relevan dengan lingkungan sekitar kita. Yang perlu kita perhatikan adalah apakah kita mampu menjaga diri agar tidak diperhamba oleh media sosial itu sendiri. Lebih dari itu, kekristenan berbicara tentang relasi Allah dengan manusia. Setiap pilihan dalam rutinitas kita, termasuk dalam memilih aktivitas apa yang akan kita lakukan, mencerminkan kedekatan kita dengan Allah. 

Kita dipanggil untuk tidak menjadi serupa dengan dunia 

Paulus dalam suratnya kepada jemaat Roma mengatakan, “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah, dan yang sempurna” (Roma 12:2). 

Media sosial hanyalah sebuah sarana untuk kita mengaktualisasi diri, memberi dan menerima informasi. Kepekaan kita terhadap firman Tuhan menolong kita untuk bijak dalam memilih bagaimana mengelola media sosial. 

Keputusan vakum dari media sosial agaknya tidak akan menjadi sebuah perjalanan apa-apa jika tidak dibarengi dengan niatan untuk membangun mindset yang benar: pekerjaan kita adalah panggilan yang mulia; kesuksesan tidak melulu diukur berdasarkan penghasilan uang dan ketenaran, tetapi bisa juga diukur melalui dampak atau kepuasan emosional yang didapat, dan tentunya sampai sejauh mana Tuhan dimuliakan lewat apa yang kita lakukan.

Meskipun media sosial juga memiliki sisi negatif, kiranya kita tidak antipati terhadapnya. Media sosial adalah sarana yang baik yang bisa kita pakai untuk memberikan informasi-informasi yang baik pula kepada followers kita. 

Pada akhirnya, pilihan ada di tangan kita. Kita perlu peka untuk meneliti dan bertindak apakah kita memanfaatkan media sosial dengan bijak atau kita malah diperhamba olehnya.


Baca juga buklet Seri Terang Ilahi “Menjadi Duta Kristus di Dunia Maya”.

STI Dunia Maya