Baca 1 Tesalonika 5:20-21.
“Janganlah anggap rendah nubuat-nubuat. Ujilah segala sesuatu.”


“Berita bohong!” Ini bisa jadi dua kata yang paling bermuatan politis beberapa bulan lalu di Singapura, ketika perdebatan tentang Rancangan Undang-Undang (RUU) untuk melawan berita bohong terus bergulir. Pemerintah meyakini bahwa UU seperti itu diperlukan untuk membatasi penyebaran berita bohong dan informasi yang sesat, sementara para kritikus mengkhawatirkan penerapan UU tersebut dan mempertanyakan dampaknya yang bisa menghalangi kebebasan berpendapat.

Orang Kristen juga dapat terbagi dalam memandang masalah tersebut, karena banyak aspek, ditambah pandangan politik pribadi, yang dapat mempengaruhi pandangan masing-masing orang tentang masalah ini.

Yang menarik adalah pertanyaan yang saya yakini menjadi inti masalah: Mengapa sulit bagi kita untuk membedakan mana yang benar dan mana yang tidak?

Itulah pertanyaan yang muncul tidak hanya ketika kita membaca artikel atau postingan yang dibagikan di media sosial, tetapi juga ketika kita mendengar pengajaran “Kristen.” Dalam kedua konteks di atas, harus diakui memang ada tantangan yang dihadapi banyak orang dalam menentukan apa yang benar.

Pertama, kita menerima begitu banyak informasi yang menambah kebingungan dan membuat kita lebih sulit memilah-milah gandum dari sekam.

Dua, ada unsur penipuan. Jauh sebelum ada foto dan video yang dimanipulasi secara digital, Alkitab sudah memperingatkan bahwa “Mesias-mesias palsu dan nabi-nabi palsu akan muncul dan mereka akan mengadakan tanda-tanda yang dahsyat dan mujizat-mujizat, sehingga sekiranya mungkin, mereka menyesatkan orang-orang pilihan juga” (Matius 24:24).

Tiga, ada orang yang begitu saja menerima informasi yang sesat. Tidak semua kebohongan itu disengaja; beberapa ajaran palsu sebenarnya disampaikan dengan maksud yang baik. Namun, ketulusan tidak bisa menjadi ukuran akurasi.

Yang penting adalah bahwa kita harus melakukan bagian kita untuk menguji apa yang kita dengar dari pengajar Alkitab atau sumber yang kelihatannya “saleh”. Alkitab bahkan mendorong kita untuk menguji ajaran yang kita terima. Kisah Para Rasul 17:10-11, misalnya, memuji orang-orang Berea karena memeriksa apa yang Paulus ajarkan kepada mereka, “Orang-orang Yahudi di kota itu . . . menerima firman itu dengan segala kerelaan hati dan setiap hari mereka menyelidiki Kitab Suci untuk mengetahui, apakah semuanya itu benar demikian.”

Sebagai orang Kristen, kita tidak pernah dipanggil untuk bergantung pada iman yang buta, melainkan untuk mendasarkan iman kita pada pengetahuan dan pemahaman rohani. Itulah sebabnya Allah memberikan kepada kita hikmat, kekuatan logika, dan penalaran, serta hak istimewa untuk membaca, memeriksa, dan membahas sabda-Nya secara terbuka. Dalam buku The Spirit of Early Christian Thought, Robert Louis Wilken, seorang sejarawan Kristen, mencatat bahwa para pembela iman Kristen mula-mula senang berdebat dengan para filsuf, karena “Alkitab adalah buku yang harus diperdebatkan, bukan sekadar otoritas yang dipakai untuk membela diri ketika argumen gagal”.

Saya percaya bahwa Allah tidak pernah tersinggung ketika kita mempertanyakan apa yang kita baca dan dengar tentang Dia, jika kita melakukannya dengan sikap jujur dalam upaya untuk memahami diri-Nya sepenuhnya.

Namun, bagaimana jika kita tidak dapat menemukan jawaban yang persis dengan apa yang kita tanyakan dalam Alkitab? Dalam 1 Tesalonika 5:20-21 terdapat petunjuk tentang prinsip yang dapat kita pegang ketika sesuatu masih tidak pasti: “Janganlah anggap rendah nubuat-nubuat. Ujilah segala sesuatu.”

Mungkin di saat-saat seperti itu, kita harus mempertimbangkan apa yang kita pelajari dengan hati-hati, tidak mengabaikannya sama sekali atau tidak mempercayainya begitu saja. Sampai kita merasa yakin, saya percaya kita dapat berusaha “menahan diri”.

Sembari bertumbuh dalam kedewasaan rohani, kita akan memperoleh hikmat dan kepekaan rohani yang memungkinkan kita untuk membedakan berita palsu dari kebenaran ilahi. Namun, kita selalu bisa meyakini satu kebenaran yang paling berarti ini: “Jika kamu mengaku dengan mulutmu, bahwa Yesus adalah Tuhan, dan percaya dalam hatimu, bahwa Allah telah membangkitkan Dia dari antara orang mati, maka kamu akan diselamatkan” (Roma 10:9). —Leslie Koh


Ya Bapa, tolonglah aku bertumbuh dalam hikmat dan kepekaan rohani untuk mengetahui apa yang benar dan yang salah di hadapan-Mu, agar aku dapat mengajar, menginspirasi, dan mendorong orang lain dalam kebenaran yang telah Kau ajarkan kepadaku.


Acara Mendatang

Klik gambar di bawah ini untuk informasi lebih lanjut.

Klik untuk informasi selanjutnya