Ya Allah, bimbinglah aku dalam roh kepada para gembala yang berjaga-jaga, 
dan bukalah pikiranku agar menjadi peka;

Biarlah aku mendengar kabar baik tentang kegembiraan yang besar, 
dan mendengar, percaya, bersukacita, memuji, memuja, 
samudera ketenangan melingkupi hati nuraniku, 
mataku terangkat kepada Bapa;

Tempatkanku bersama lembu, keledai, unta, kambing, 
untuk melihat dengan mereka di wajah Penebusku, 
dan di dalam Dia diriku dibebaskan dari dosa; 
Biarkan aku bersama Simeon mendekap Anak yang baru lahir ke hatiku, 
memeluknya dengan keyakinan abadi, 
bersukacita bahwa Dia milikku dan aku milik-Nya.

Di dalam Dia Engkau telah memberiku begitu banyak 
sehingga surga tidak dapat memberi lebih dari yang Engkau berikan. 

Terjemahan dari The Valley of Vision (Lembah Penglihatan), kumpulan doa dan renungan kaum Puritan

Setiap kali membaca renungan puitis di atas, saya teringat akan pujian Maria kepada Allah dalam Lukas 1:46-55. Dalam pujiannya, Maria mengangkat suara memuliakan Allah, terutama untuk rancangan keselamatan-Nya bagi Israel. Maria menyebut tentang karya Allah dan belas kasihan-Nya atas Israel, serta penggenapan janji-Nya bagi Abraham. Melalui nyanyian Maria, kita melihat bagaimana ia taat sepenuhnya kepada kehendak Allah. Pujiannya diakhiri dengan keyakinan bahwa Allah akan selalu setia kepada perjanjian-Nya dengan umat-Nya.

Ada luapan sukacita yang mengalir dari hati si gadis muda yang tengah mengandung itu. Seperti yang disampaikan kepadanya oleh malaikat Gabriel, janin yang ada di dalam kandungannya merupakan penggenapan janji Allah kepada umat-Nya untuk membebaskan mereka dari dosa. 

Pada saat itu, Maria barangkali tidak mengerti betul pesan sang malaikat di sepanjang kehamilannya, atau bahkan setelah Sang Bayi lahir. Kitab Lukas mencatat bahwa setelah kelahiran Yesus, Maria menyimpan semua misteri tentang Sang Bayi dalam hatinya dan merenungkannya (2:19,51).

Maria menyadari bahwa sekalipun pernah menyusu padanya, Yesus adalah Pribadi yang sama sekali berbeda dengan dirinya, dan ia harus tunduk kepada Pribadi Ilahi yang mewujud dalam diri buah hatinya. 

Ketika Maria menerima kabar bahwa ia akan hamil di luar nikah dan kemungkinan menghadapi celaan yang berat dari orang di sekitarnya, ia mengakui, “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu” (Lukas 1:38). Dalam penundukan diri yang total itulah Maria mengalami sukacita yang sesungguhnya.

Luapan sukacita yang dialami oleh Maria juga ditemukan dalam diri orang-orang yang menantikan kedatangan Juruselamat yang dijanjikan. Injil Lukas menceritakan bagaimana seorang saleh bernama Simeon sangat tekun menantikan kehadiran Mesias di Yerusalem. Ketika Maria membawa Yesus ke Bait Allah, Simeon melihat Sang Bayi dan Roh Kudus pun memenuhi hatinya dengan sukacita

Setiap orang yang bertemu dengan Sang Firman yang menjadi manusia itu mengalami sukacita yang tak terkatakan.

Demikian pula para gembala di padang rumput mempercayai kabar sukacita dari malaikat tentang kelahiran Sang Juruselamat. Ketika akhirnya menjumpai dan melihat Sang Bayi kudus yang baru lahir, mereka mengungkapkan rasa syukur dan sukacita yang begitu besar. Setelah menyembah Kristus, mereka pergi dengan bersemangat untuk menyampaikan kabar tentang Anak itu kepada semua orang (Lukas 2:17). 

Kita melihat bagaimana setiap orang yang bertemu dengan Sang Firman yang menjadi manusia itu mengalami sukacita yang tak terkatakan. Tidak ada dari mereka yang meragukan bahwa bayi mungil yang mereka lihat dan dekap itu adalah Imanuel, Allah yang datang menyertai kita. Itulah keyakinan seperti apa yang dikatakan penulis Alistair Begg, “Anak yang berinkarnasi itu memiliki kemuliaan Allah, rupa Allah, citra Allah, kemegahan Allah, sungguh, segala sesuatu yang menjadikan-Nya layak disembah sebagai Tuhan. Segala sesuatu yang menyebabkan para malaikat memuja Allah ada di dalam Tuhan Yesus Kristus.”

Adakah di antara kita yang melupakan sukacita tersebut dalam perayaan Natal yang kita lakukan? Mungkinkah kita telah melewatkan anugerah terbesar dari Natal ketika kita memusatkan perhatian pada hal-hal duniawi yang memberi sukacita yang sementara?

Teolog J. I. Packer pernah mengatakan bahwa semangat Natal tidak akan bersinar dari dalam diri orang Kristen yang kehilangan makna Natal yang sejati. Kiranya Natal menyadarkan kita betapa jauhnya kita telah berdosa, dan alasan Kristus perlu turun ke dunia untuk menjadi sama dengan kita supaya dapat menebus dan menyelamatkan kita. 

Pandemi COVID-19 tahun ini akan membatasi ruang gerak dan perayaan kita. Namun, mungkin ada baiknya jika hal itu menolong kita kembali menikmati sukacita Natal yang sesungguhnya. Itulah sukacita yang dikatakan pemikir Kristen, Francis Schaeffer: “Sukacita ini terkait dengan pengenalan kita tentang siapa Yesus Kristus, hubungan kita dengan Yesus Kristus, dan penyembahan kita kepada Yesus Kristus. Tiga hal itulah yang akhirnya akan mengantar kita kepada sukacita Natal yang sesungguhnya.”

Selamat menikmati sukacita Natal! –Bungaran Gultom


Persembahan kasih seberapa pun dari para pembaca di Indonesia memampukan Our Daily Bread Ministries untuk menjangkau orang-orang dengan hikmat Alkitab yang mengubahkan hidup. Kami tidak didanai atau berada di bawah kelompok atau denominasi apa pun.