Waktu masih muda, saya pernah membaca kisah tentang raja yang menyambut para pelaut pulang dari medan perang setelah bertarung dengan gagah berani demi membela negara. Para pelaut itu kembali dalam keadaan babak belur, menumpang kapal-kapal yang sudah rusak, berbaris untuk menerima ucapan selamat dari raja mereka. Mereka berdiri tegap, ada yang kehilangan mata, anggota badan, dan berbagai macam cedera lain yang dibalut perban di sana-sini. Dengan berurai air mata, raja memeluk mereka satu per satu.

Jika raja duniawi yang tidak sempurna saja dapat menyambut tentaranya yang setia dan gagah berani dengan cara begitu mengharukan, betapa akan lebih baiknya Raja surgawi yang sempurna menyambut orang-orang kudus-Nya yang setia kelak?

Pada usia tua, tubuh Paulus babak belur, penuh bekas luka dari berbagai pencobaan dan penderitaan yang pernah ia alami (Galatia 6:17) namun yang tidak berhasil mencegahnya berdiri bagi Yesus dan menaati-Nya. Pada perikop terakhir, ia menulis kepada Timotius, mengingatkannya tentang berbagai penderitaannya bagi Kristus. Khususnya, ia menyebutkan apa yang dialaminya di Listra, kampung halaman Timotius.

Di sana Paulus dilempari batu oleh massa dan diseret ke luar kota; semua mengira ia sudah mati. Paulus pasti tergeletak tidak bergerak setelah dilempari batu oleh orang-orang yang membencinya karena dihasut musuh-musuhnya orang Yahudi. Para murid mungkin mengelilingi tubuh rasul yang tidak bergerak, mendoakannya. Ajaibnya, Paulus (kemungkinan luka parah dan berdarah-darah) bangkit “lalu masuk ke dalam kota” (Kisah Para Rasul 14:20). Kegigihan dan daya tahan menghadapi kekejaman seperti itu agaknya meninggalkan kesan mendalam bagi Timotius muda, yang diingatkan oleh rasul lanjut usia tersebut tentang “penganiayaan dan sengsara seperti yang telah kuderita” (2 Timotius 3:11).

Alih-alih mengeluh Allah “tidak baik” kepadanya, Paulus justru mengucap syukur ketika mengingat kembali semua penderitaan yang pernah dialaminya: “Tuhan telah melepaskan aku dari padanya” (2 Timotius 3:11). Paulus sangat bersemangat membicarakan kebaikan Allah di tengah penderitaannya. Demikianlah karakternya. Dalam perenungannya yang dalam tentang segala penderitaan yang harus ditanggungnya, Paulus berkata: “Kita malah bermegah juga dalam kesengsaraan kita, karena kita tahu, bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan, dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan pengharapan” (Roma 5:3-4). Paulus yakin tidak ada sakit atau penderitaan yang datang kepada kita tanpa seizin Allah, dan dalam perhitungan Allah, tidak ada penderitaan yang sia-sia atau tidak berarti. Yang menderita akhirnya yang akan menjadi pemenang, memenangkan apa yang tidak dapat dimenangkan dengan cara lain. Karakter Kristen menolong seseorang untuk menahan penderitaan, dan pada gilirannya hal ini akan semakin memperkuat karakter Kristen.

Paulus tidak banyak menyinggung tentang sakit dan ketidakmampuan karena banyaknya cedera yang harus ia tanggung selama pelayanannya yang setia. Banyak sarjana teologia yang meyakini kalau Paulus bermasalah dengan penglihatannya, dan kemungkinan itulah duri dalam daging yang ia maksud dalam 2 Korintus 12:7 (lihat juga Galatia 4:13-15; 6:11). Juga, konon kakinya bengkok dan bentuk badannya kurang baik akibat cedera. Meskipun demikian, ia bersyukur kepada Allah karena penderitaan membuatnya dapat bertumbuh serupa dengan Kristus. Ia bertekad untuk menjadi lebih baik, tidak getir.

Seiring bertambahnya usia, semakin banyak bekas luka dan guratan dari berbagai peristiwa yang kita kumpulkan. Semua itu ibarat medali kehormatan kerohanian, kalau itu diterima demi Kristus. Wujudnya bisa bermacam-macam, bisa penderitaan secara sosial maupun psikologis, meninggalkan karier yang cemerlang, atau mengidap penyakit kronis karena pergi ke daerah-daerah terpencil untuk menyebarkan kasih Kristus. Akibatnya, penderitaan kita mungkin akan semakin bertambah di masa tua, menambahi sakit yang biasa terjadi karena usia lanjut.

Ketika sakit, ketidakmampuan, dan penderitaan semakin bertambah, kita mungkin akan patah semangat, bahkan timbul keraguan apakah Allah masih peduli kepada kita. Kalau itu sampai terjadi, penting bagi kita mengenali beberapa kebenaran, selain mencari bantuan medis untuk membantu memulihkan kondisi kita:

  • Kita harus ingat betapa baiknya Allah bagi kita di masa lalu, dan bahwa Dia tidak akan pernah membiarkan atau meninggalkan kita (Ulangan 31:6; Ibrani 13:5). Ingatlah janji-Nya bahwa Dia akan turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan (Roma 8:28).

  • Ingatlah bahwa bagi orang Kristen, meskipun kehidupan kita di dunia mungkin semakin menderita setiap harinya, pada akhirnya kita akan beralih ke kehidupan lain yang jauh lebih baik dan mulia. Paulus menjabarkannya dengan kata-kata berikut, “Sebab aku yakin, bahwa penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita” (Roma 8:18). Pandangan seperti itu mengenai akhir yang akan kita alami kelak (tiada lagi air mata, penderitaan, dan kesakitan; Wahyu 21:4) membantu kita untuk lebih tabah menanggung penderitaan pada masa sekarang ini.

  • Kita membutuhkan komunitas untuk membantu kita. Seperti pepatah, berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Berkumpul dengan sesama orang tua lain dalam komunitas orang kudus, yang mungkin juga mengalami penderitaan dalam hal tertentu, dapat membantu untuk saling memberikan semangat. Kita dapat menguatkan untuk tetap tegar dan terus bertahan. Juga, mereka yang berada di komunitas yang lebih besar (seperti di gereja setempat) dapat melayani lansia yang mungkin membutuhkan pertolongan—berdoa bersama, mengantar ke klinik, membantu melakukan banyak hal, atau hanya sekadar mengobrol dengan mereka.

Mengapa ada orang yang lebih menderita daripada yang lain? Kita tidak tahu jawabannya, tetapi daripada menyibukkan diri mencari jawaban, lebih baik kita memberikan kasih dan pengertian kita. Mereka yang merasa “terpilih” untuk lebih menderita daripada orang-orang lain, harus berhenti membanding-bandingkan diri dengan orang lain, dan mengasihani diri sendiri.

Tuhan Yesus, ketika ditanya oleh Petrus tentang Yohanes setelah Yesus mengungkapkan kepada Paulus bagaimana ia akan menderita, hanya menjawab begini, “Tetapi engkau: ikutlah Aku” (Yohanes 21:22). Setiap murid mempunyai jalannya sendiri, dipilih dengan hati-hati oleh Tuhan berdasarkan hikmat dan kasih-Nya. Apakah penderitaan kita lebih banyak atau lebih sedikit, kita harus tetap berjalan dengan setia bersama Tuhan sampai akhir.

Renungkanlah

Renungkanlah mengapa sakit dan penderitaan merupakan bagian dari kehidupan, terutama bagi murid-murid Kristen. Bagaimana pengalaman Anda sendiri dalam hal itu, dan bagaimana perasaan Anda tentang hal itu?

Renungkanlah ketiga butir di atas: penyertaan, janji, dan orang-orang milik Allah. Bagaimana ketiga hal itu dapat menolong seseorang saat menghadapi sakit dan penderitaan yang semakin menjadi-jadi? Pikirkan bagaimana Anda, bersama gereja, dapat membantu kaum lansia yang berada dalam situasi seperti itu.

Dikutip dari: Kala Memutih Rambutku: Anugerah Allah di Usia Emas
© 2019 oleh Robert M. Solomon