Dhimas Anugrah

“Kami putra dan putri Indonesia, mengaku…” 

Ingatkah kita dengan penggalan kalimat di atas? Ketika duduk di bangku sekolah, mata pelajaran Sejarah bertutur bahwa pada 27 dan 28 Oktober 1928 diselenggarakan Kongres Pemuda II di Batavia yang menghasilkan sebuah momentum yang kita kenal hingga sekarang: Sumpah Pemuda. Momen ini bukan peristiwa biasa, sebabnya di era ketika nama ‘Indonesia’ belum dikenal, para pemuda dari berbagai latar belakang dengan berani mengikrarkan diri sebagai satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa. 

Para pemuda di masa lampau tersebut menyadari betul bahwa untuk menjadi suatu bangsa yang besar, kita perlu merangkul perbedaan, bukan meniadakannya. Kini, 92 tahun telah berlalu sejak Sumpah Pemuda pertama kali diikrarkan. Apakah sumpah tersebut masih relevan bagi kita yang hidup di masa kini? 

Pertanyaan ini mengajak kita untuk melihat Alkitab kita kembali. Perbedaan adalah realitas dalam dunia yang kita hidupi. Sejak penciptaan, Allah menciptakan dunia dengan beragam, dan berbeda-beda. Allah menciptakan manusia yang terbagi dalam dua jenis kelamin: laki-laki dan perempuan, yang keturunan-keturunannya kelak melahirkan ribuan generasi manusia dengan budaya dan ras yang berbeda. Namun, tatanan yang sedemikian rapi dan indah tersebut rusak karena kejatuhan manusia dalam dosa. Hati manusia pun menjadi condong kepada kejahatan (Kejadian 6:5; Mazmur 51:5; Yeremia 17:9), yang juga mendorong manusia membenci sesamanya. 

Pada zaman Yesus pun, orang Yahudi bermusuhan dengan orang Samaria. Orang Yahudi menganggap orang Samaria sama najisnya dengan orang kafir karena nenek moyang mereka melakukan kawin campur. Jangankan bertemu, melewati daerah orang Samaria saja orang Yahudi enggan. Hal yang sama juga dilakukan oleh orang Samaria. Mereka anti terhadap Yahudi. Orang Samaria percaya hanya Kitab Taurat Musa saja yang berasal dari Tuhan, sehingga menganggap orang Yahudi memegang ajaran yang salah. 

Menariknya, Yesus tidak merespons dengan mendukung dan membenarkan satu pihak. Yesus justru merombak tembok permusuhan kedua kubu ini. Injil Yohanes pasal empat mencatat percakapan panjang antara Yesus dan seorang perempuan Samaria di pinggir sumur Yakub. “Berilah Aku minum,” pinta Yesus kepada perempuan Samaria di ayat empat. “Masakan Engkau, seorang Yahudi, minta minum kepadaku seorang Samaria?” jawab sang perempuan. Yesus tidak hanya berada di wilayah Samaria, melainkan juga minta minum dari seorang perempuan Samaria, sesuatu yang tak akan dilakukan orang Yahudi pada zaman-Nya. Keseluruhan perikop ini memberi pesan yang menarik: Yesus tidak membedakan golongan manusia, sebagaimana ditegaskan kembali oleh Petrus dalam Kisah Para Rasul 10:34, “Sesungguhnya aku telah mengerti, bahwa Allah tidak membedakan orang.” 

Dua ribu tahun berselang sejak kisah Kristus dan perempuan Samaria dicatat di Alkitab, batas-batas fisik dan geografis antara manusia dan budayanya semakin pudar karena kemajuan teknologi. Tetapi, batasan-batasan berupa stereotip seringkali tetap hadir, atau bahkan lestari. Kita kerap melabeli orang dari golongan tertentu sebagai orang yang “kikir”, “kasar”, “bodoh” hingga kita pun menghindari pertemuan dan pergaulan dengan mereka. 

Perbedaan suku, agama, ras, dan budaya sejatinya bukanlah suatu alasan perpecahan, melainkan anugerah Allah yang perlu kita syukuri.

Dalam konteks kehidupan kita sebagai umat Kristen yang hidup di Indonesia, perbedaan suku, agama, ras, dan budaya sejatinya bukanlah suatu alasan perpecahan, melainkan anugerah Allah yang perlu kita syukuri. Kebhinekaan negeri kita bukanlah dasar untuk melabeli orang lain, menjauhi, dan membencinya, tetapi perlu kita rayakan sebagai karunia Tuhan, sebagaimana yang dahulu pernah dilakukan oleh para pemuda di tahun 1928. 

Ikrar satu nusa, satu bangsa, satu bahasa merupakan komitmen yang sangat penting untuk mengawali kesadaran kebangsaan Indonesia sebagai bangsa yang besar. Kita percaya bahwa peristiwa Sumpah Pemuda di masa silam dapat terjadi karena kehendak dan ketetapan Tuhan. 

Kendati 92 tahun telah berlalu sejak narasi persatuan tersebut diikrarkan, relevansi dari Sumpah Pemuda tidaklah hilang hari ini. Malahan, justru seharusnya semakin menguat. Kita bisa memulai langkah konkret merawat kebhinekaan ini dari diri kita sendiri, dengan berhenti melabeli dan memandang rendah orang-orang yang berbeda suku, warna kulit, atau agamanya dari kita. Tindakan sederhana ini menolong kita untuk berlaku adil sejak dalam pikiran dan memenuhi pernyataan firman Tuhan yang berkata, “…karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus” (Galatia 3:28c). 

Sumpah Pemuda meyakini bahwa perbedaan suku, agama, dan ras bisa disatukan oleh semangat untuk menjadi bangsa yang besar. Sebagai orang Kristen, semangat ini perlu kita hidupi dengan melandaskannya pada kebenaran bahwa kita diciptakan untuk saling mengasihi—mengasihi Allah dan sesama (Matius 22:37).


Baca Juga:

Daniel: Hidup Benar dalam Budaya Sekuler

Setiap generasi perlu melihat bahwa Alkitab tidak lekang oleh waktu. Bahkan kisah Daniel di dalam gua singa pun bisa menjadi bahan perenungan di sepanjang hidup kita. Alkitab tidak melulu soal apa yang harus kita lakukan. Hikmat Alkitab jauh lebih kaya dari itu. Tiap pasal di dalamnya berbicara tentang Allah dan diri kita sendiri untuk menunjukkan bagaimana kita dapat menjalani hidup yang selaras dengan karya-Nya di tengah dunia ini.


Jika Anda diberkati melalui materi-materi ini dan ingin melihat lebih banyak orang diberkati, Anda dapat juga mendukung pelayanan kami.