Category  |  Kepercayaan kepada Allah

Panggilan untuk Berani

Di antara patung-patung tokoh pria (Nelson Mandela, Winston Churchill, Mahatma Gandhi, dan lain-lain) yang dipajang di Alun-alun Gedung Parlemen London, terdapat satu-satunya patung tokoh perempuan. Perempuan tersebut adalah Milicent Fawcett, pejuang hak pilih kaum wanita. Ia diabadikan dalam rupa patung perunggu yang memegang spanduk bertuliskan kata-kata yang ia sampaikan sebagai penghargaan kepada sesama pejuang hak pilih: “Courage calls to courage everywhere” (Keberanian memanggil keberanian di mana pun). Menurut Fawcett, keberanian satu orang akan memberikan semangat bagi yang lain—memanggil jiwa-jiwa yang takut untuk segera bertindak.

Tuhan Menyediakan

Kegelisahan saya semakin menjadi-jadi sepanjang musim panas setelah saya lulus sarjana dan akan memulai program magister. Saya senang jika segala sesuatu sudah terencana, jadi membayangkan harus pindah ke luar negara bagian dan masuk kuliah tanpa memiliki pekerjaan membuat saya gelisah. Namun, beberapa hari sebelum mengakhiri pekerjaan saya di musim panas, saya diminta terus bekerja untuk perusahaan tersebut dari jarak jauh. Saya menerima tawaran tersebut dan merasa tenang karena tahu Allah memelihara hidup saya.

Mangkuk Air Mata

Di Boston, Massachusetts, terdapat sebuah plakat bertuliskan “Menyeberangi Mangkuk Air Mata” yang dipasang untuk mengenang orang-orang yang dengan berani menyeberangi Samudra Atlantik agar tidak mati kelaparan di tengah bencana kelaparan hebat yang melanda Irlandia di akhir tahun 1840-an. Lebih dari sejuta orang meninggal dalam bencana kelaparan itu, sementara satu juta lebih lainnya memutuskan meninggalkan kampung halaman untuk menyeberangi lautan, yang secara puitis oleh John Boyle O’Reilly disebut sebagai “Mangkuk Air Mata.” Terdorong oleh kepedihan dan kelaparan hebat, orang-orang itu pergi mencari setitik pengharapan di tengah masa-masa sulit.

Memahami Cobaan Hidup

Ayah seorang teman saya didiagnosis mengidap penyakit kanker. Namun, saat menjalani proses kemoterapi, ia bertobat dan menjadi percaya kepada Kristus. Penyakitnya pun berangsur-angsur membaik. Ia bebas dari penyakit kanker selama delapan belas bulan, tetapi kemudian kanker itu kambuh lagi, bahkan lebih parah dari sebelumnya. Ia dan istrinya menghadapi kenyataan tentang penyakit itu dengan rasa prihatin dan banyak pertanyaan. Namun, mereka juga menghadapinya dengan iman yang tunduk kepada Allah karena mereka melihat bagaimana Dia memelihara mereka saat pertama kalinya penyakit itu menyerang.

Kekuatan Baru

Di usia ke-54 saya mengikuti perlombaan maraton Milwaukee dengan dua target—mencapai garis akhir dan menyelesaikannya dalam waktu kurang dari 5 jam. Pencapaian saya akan sangat mengagumkan seandainya saja paruh kedua ditempuh selancar paruh pertama. Namun, pada kenyataannya, perlombaan tersebut sangat melelahkan, dan kekuatan baru yang saya butuhkan untuk menuntaskan paruh kedua itu tidak pernah datang. Saat saya mencapai garis finis, langkah-langkah mantap saya di awal perlombaan telah berubah menjadi langkah yang tertatih-tatih.

Bertahan dengan Berani

Ketika sebagian besar pemimpin gereja di Jerman tunduk kepada Hitler, pendeta dan teolog Martin Niemöller termasuk segelintir orang yang berani menentang kejahatan Nazi. Saya ingat pernah membaca cerita tentang suatu hari di dekade 1970-an, ketika sekelompok orang tua Jerman berdiri di depan sebuah hotel besar, seorang lelaki yang terlihat lebih muda dari mereka semua terlihat sibuk mengurusi koper-koper. Seseorang bertanya tentang mereka. “Mereka para pendeta dari Jerman,” jawab seseorang. “Lalu, siapa pria yang lebih muda itu?” “Itu Martin Niemöller—umurnya sudah delapan puluh tahun. Namun, ia tetap terlihat muda karena ia tidak kenal takut.”

Teruslah Maju

Bekerja di dunia swasta membuat saya berinteraksi dengan banyak orang yang berbakat dan berpikiran sehat. Namun, saya menemui kesulitan dalam satu proyek yang dipimpin oleh manajer yang tinggal di luar kota. Meskipun tim kami menunjukkan perkembangan, si manajer terus saja mengkritik dan menuntut kami bekerja lebih keras dalam rapat via telepon yang kami lakukan tiap minggu. Komentarnya membuat saya tawar hati dan takut, bahkan sempat terpikir untuk mengundurkan diri saja.

Mengharapkan Penundaan

Yang benar saja? Saya sudah terlambat, tetapi tulisan di papan informasi jalan di depan saya mengandaskan harapan saya untuk tiba di kantor tepat waktu: “Ada Hambatan di Depan”.