Category  |  Kepercayaan Kristen

Kasih Tanpa Rasa Takut

Selama bertahun-tahun, saya membentengi hati saya dengan ketakutan. Benteng itu menjadi alasan untuk tidak mencoba hal-hal baru, mengejar impian saya, dan menaati perintah Allah. Namun, rasa takut akan mengalami kehilangan, sakit hati, dan ditolak membuat saya tidak bisa membangun hubungan yang tulus dalam kasih dengan Allah dan sesama. Ketakutan membuat saya menjadi istri yang pencemburu, tidak percaya diri, dan selalu gelisah, serta ibu yang terlalu protektif dan selalu khawatir. Namun, sambil terus mempelajari betapa besarnya kasih Allah kepada saya, Dia juga mengubah cara saya berhubungan dengan-Nya dan dengan sesama. Karena tahu bahwa Allah akan selalu memelihara saya, saya merasa lebih aman dan bersedia menempatkan kepentingan orang lain di atas kepentingan diri saya sendiri.

Tidak Pernah Sendirian

Ketika sedang menulis pedoman Alkitab untuk para pendeta di Indonesia, seorang kawan kagum pada budaya kebersamaan yang diterapkan di negeri ini. Budaya yang disebut gotong-royong tersebut dilakukan di desa-desa, ketika warga bekerja bersama memperbaiki atap rumah seseorang atau membangun kembali jembatan atau jalan. Bahkan, menurut teman saya, itu terjadi di kota besar, “Orang biasanya pergi bersama ke suatu tempat, misalnya saat berobat ke dokter. Itulah kebiasaan di sana. Mereka tidak pernah sendirian.”

“Allah Menyelamatkan Hidup Saya”

Ketika Aaron (bukan nama sebenarnya) berumur 15 tahun, ia mulai berdoa kepada Iblis. Ia bahkan mengakui, “Saya merasa Iblis adalah rekan saya.” Aaron mulai berdusta, mencuri, dan memanipulasi keluarga dan teman-temannya. Ia juga mengalami mimpi buruk: “Saya terbangun suatu pagi dan melihat ada setan di ujung tempat tidur saya. Ia memberi tahu bahwa saya akan lulus ujian lalu meninggal.” Namun, setelah ujian selesai, ia masih hidup. Pikir Aaron, “Jelas sekali Iblis itu pembohong.”

Pembebasan Ilahi

Serial misteri Hercule Poirot karangan Agatha Christie berjudul “The Clocks” menampilkan beberapa tokoh antagonis yang melakukan serangkaian pembunuhan. Walaupun rencana awal hanya menargetkan satu korban, mereka mulai membunuh lebih banyak orang untuk menutupi kejahatan aslinya. Ketika dipertanyakan oleh Poirot, salah seorang anggota komplotan mengakui, “Seharusnya hanya satu orang saja yang mati.”

Menara Gereja yang Miring

Ternyata menara gereja yang miring membuat orang gelisah. Ketika kami mengunjungi beberapa teman, mereka bercerita bahwa setelah terjadi badai topan yang sangat dahsyat, menara gereja kebanggaan mereka miring dan menimbulkan kepanikan.

Tangan Allah yang Luar Biasa

Setelah terbang selama dua puluh menit dalam penerbangan dari New York ke San Antonio, penerbangan yang semula tenang mendadak berubah menjadi panik. Ketika salah satu mesin pesawat mati, serpihan-serpihan mesin menghantam jendela pesawat hingga menyebabkan kabin kehilangan tekanan udara. Yang menyedihkan, sejumlah penumpang terluka dan satu orang meninggal dunia. Jika bukan karena pembawaan pilot yang cakap dan tenang dalam mengendalikan pesawat—seorang penerbang pesawat tempur untuk Angkatan Laut—keadaan mungkin akan berakhir lebih buruk. Tajuk utama surat kabar lokal kami menulis: “Dalam Tangan yang Luar Biasa.”

Dekapan Si Beruang

“Si Beruang” adalah hadiah untuk cucu saya—ungkapan cinta dalam bentuk boneka beruang raksasa. Bagaimana respons Baby D? Pertama-tama, heran. Kemudian, takjub dan terkagum-kagum. Berikutnya, timbul rasa ingin tahu yang membuatnya berani menyelidiki lebih jauh. Ia memasukkan jarinya yang gemuk ke lubang hidung si Beruang, dan ketika si Beruang terjatuh ke dalam pelukannya, ia memekik gembira. Baby D lalu meletakkan kepalanya yang kecil ke dada si Beruang yang berbulu dan mendekapnya erat-erat. Senyum merekah di pipinya yang berlesung pipit ketika ia membenamkan wajahnya dalam-dalam di badan boneka beruang yang empuk itu. Bocah itu sama sekali tidak tahu si Beruang tidak bisa balik mengasihinya. Dalam kepolosan dan keluguannya, ia merasakan kasih dari si Beruang dan membalasnya dengan segenap hati.

Kritikan yang Baik

Suatu hari dalam pelajaran melukis pemandangan, guru saya, seorang seniman profesional yang sangat berpengalaman, datang untuk menilai karya pertama saya. Ia berdiri di depan lukisan saya sambil memegang dagunya. Oh tidak, pikir saya. Ia pasti bilang lukisan saya jelek.

Kasih Takkan Berhenti

Saat saya berumur 19, bertahun-tahun sebelum memiliki pager ataupun ponsel, saya pindah ke satu wilayah yang berjarak 1.000 kilometer lebih dari rumah ibu saya. Suatu hari, saya berangkat pagi-pagi sekali untuk suatu keperluan, hingga lupa kalau saya sudah berjanji akan menelepon ibu saya. Malam itu, 2 petugas polisi datang ke rumah. Ternyata ibu saya khawatir karena sebelumnya saya tidak pernah lupa dengan janji saya. Setelah menelepon berkali-kali dan mendengar nada sibuk, ibu saya meminta polisi mengecek kondisi saya. Salah seorang polisi itu berkata kepada saya, “Anda sungguh diberkati karena kasih ibu takkan berhenti mencari sampai Anda ditemukan.”