Oleh Dwiyanto Fadjaray
Pernahkah Anda memecahkan sesuatu di rumah—entah gelas kaca, piring keramik, atau vas bunga kesayangan? Saat melihat pecahan-pecahannya berserakan, apa yang terpikir di benak Anda?
Mungkin, jika benda itu tak terlalu berharga, membuangnya dan menggantinya dengan yang baru terasa lebih praktis. Namun, jika memiliki nilai sentimental, kita cenderung ingin memperbaikinya. Meski begitu, retakan yang tersisa sering kali mengingatkan kita bahwa benda itu pernah hancur. Tak peduli seberapa rapat disatukan, bekas luka itu tetap ada.
Namun, bagaimana jika kehancuran bukan akhir dari keindahan? Dalam seni kuno Jepang yang disebut Kintsugi, benda-benda keramik yang pecah justru dipulihkan dengan cara yang unik. Pecahan-pecahannya tidak sekadar direkatkan, melainkan disatukan dengan pernis yang dicampur bubuk emas. Retakan yang dulu tampak sebagai cacat kini menjadi guratan emas yang menambah nilai. Alih-alih menyembunyikan bekas luka, kintsugi menjadikannya bagian dari cerita, sebuah bukti bahwa sesuatu yang pernah hancur tetap bisa menjadi indah.
Filosofi di balik kintsugi mengajarkan bahwa sesuatu yang rusak, retak, dan butuh diperbaiki tidak perlu disembunyikan. Justru, bekas-bekas kehancuran itu bisa menjadi bagian berharga dari sejarahnya. Dalam kintsugi, yang tampak seperti kekurangan atau ketidaksempurnaan bukanlah sesuatu yang harus dihapus, melainkan diterima dan dihargai sebagai bagian dari keindahan baru.
Filosofi ini membawa kita pada pertanyaan yang lebih dalam tentang diri kita sendiri. Bagaimana kita memperlakukan kelemahan dan kegagalan kita? Apakah selama ini kita berusaha menutupinya, menguburnya, dan membangun citra seolah-olah kita sempurna? Dan lebih jauh lagi—bagaimana dengan dosa? Apakah kita mengira bahwa dosa bisa dikubur dalam-dalam, lalu suatu saat digali kembali untuk dinikmati, lalu dikubur lagi dalam siklus yang terus berulang? Seberapa sering kita merasa perlu menampilkan kesalehan semu di hadapan orang lain, padahal di dalam hati kita masih berantakan?
Namun, Tuhan tidak memanggil kita untuk hidup dalam kepura-puraan. Dia mengundang kita untuk bangkit dari kehancuran, bukan dengan menutupi luka-luka itu, tetapi dengan berani menampilkannya sebagai bukti pemulihan. Seperti guratan emas dalam kintsugi, hidup yang pernah hancur oleh dosa bisa diubah menjadi sesuatu yang lebih berharga—bukan karena usaha kita sendiri, melainkan karena anugerah Tuhan yang memulihkannya.
Daud dan Dosanya
Daud, raja besar Israel dalam Perjanjian Lama, tidak asing dengan dosa. Kisah kejahatan dan dosanya dicatat dan diingat orang dengan begitu jelas. Kita bisa membaca perbuatan, siasat, kehilangan, dan dampak dari dosa Daud terhadap keluarga panglimanya yang bernama Uria di 2 Samuel 11–12.
Bayangkan, jika kita di tempat Daud, mungkinkah kita malu menampilkan betapa bobroknya diri kita? Apa perasaan kita ketika seluruh kejahatan kita terpampang begitu detail dan dibaca orang sepanjang zaman? Namun, di sanalah letak anugerah Allah bagi Daud, dan kita juga. Karena dengan melihat betapa kejinya dosa di mata Allah, kita pun akan melihat betapa besarnya anugerah pengampunan dan hidup baru yang tersedia bagi mereka yang berbalik kepada jalan-jalan-Nya.
Dalam suatu mazmur yang ditulisnya, Daud berkata, “Dosaku kuberitahukan kepada-Mu dan kesalahanku tidaklah kusembunyikan; aku berkata: ‘Aku akan mengaku kepada TUHAN pelanggaran-pelanggaranku,’ dan Engkau mengampuni kesalahan karena dosaku” (Mazmur 32:5). Daud berani mengakui dosa-dosanya kepada Allah yang Maha Tahu dan Maha Pemurah. Di bagian lain, setelah Daud berdosa dengan menghitung kekuatan pasukan dan bangsanya yang besar sehingga ia meninggikan dirinya sendiri, ia pun bertobat dan berkata dengan penuh penyesalan, “Sangat susah hatiku, biarlah kiranya kita jatuh ke dalam tangan TUHAN, sebab besar kasih sayang-Nya; tetapi janganlah aku jatuh ke dalam tangan manusia” (2 Samuel 24:14). Kasih sayang Allah begitu besar, sebab ketika Dia menghukum Daud dengan konsekuensi-konsekuensi atas dosanya, itulah tanda kesetiaan dan kasih sayang Allah kepada Daud.
Kata Alkitab tentang Dosa
Alkitab mengajarkan bahwa dampak dosa yang terbesar adalah keterpisahan manusia dari Sang Sumber hidup. Dalam Alkitab, keterpisahan tersebut digambarkan dengan pengusiran dua insan pertama dari Taman Eden yang menjadi tempat tinggal mereka di hadapan Allah sebelum mereka berbuat dosa (Kejadian 3:23-24). Alkitab juga menyebutkan bahwa situasi antara Allah dan ciptaan-Nya yang terunggul itu kini merupakan suatu permusuhan atau perseteruan. Manusia tidak saja melanggar perintah, tetapi secara sadar dan rela telah memberontak kepada Pemegang otoritas tertinggi di jagad raya. Adam dan Hawa ingin “menjadi seperti Allah” (Kejadian 3:5), tetapi akibatnya mereka justru kehilangan kehidupan abadi yang semestinya mereka nikmati sebelum terjerat dosa.
Ketika Adam dan Hawa berdosa, seluruh alam semesta pun berubah. Tidak hanya mereka terpisah dari Allah, mereka juga terasing dari alam yang baik, sehingga untuk menerima hasilnya mereka harus mengusahakannya dengan jerih lelah. Selain itu, karena dosa telah merasuki kemurnian hubungan Adam dan Hawa, hubungan di antara mereka dan keturunan mereka pun sejak saat itu berubah. Timbullah perpecahan, tuduhan, kecurigaan, kebencian, perzinaan, kecurangan, pembunuhan, dan segala kejahatan lain di antara manusia dan bangsa-bangsa. Betapa mengenaskannya keadaan manusia, “tanpa pengharapan dan tanpa Allah di dalam dunia” (Efesus 2:12).
Alkitab juga menyatakan dosa dalam dua aspek: dosa perbuatan dan dosa kelalaian atau pembiaran. Dosa perbuatan adalah ketika kita melakukan sesuatu yang dilarang untuk dilakukan, sedangkan dosa kelalaian adalah ketika kita gagal melakukan sesuatu yang menjadi tanggung jawab kita. Dengan kata lain, dosa mempunyai dimensi positif dan negatif. Mungkin dosa perbuatan tidak sulit kita pahami dan bayangkan, tetapi dosa kelalaian juga merupakan hal penting yang tidak boleh diabaikan, seperti yang dikatakan dalam Yakobus 4:17, “Jadi jika seorang tahu bagaimana ia harus berbuat baik, tetapi ia tidak melakukannya, ia berdosa.”
Menurut para teolog, ada dua natur dosa. Yang pertama, dosa merupakan ketiadaan, kekurangan, atau kerusakan dari kebaikan. Dosa bukanlah substansi, zat, atau benda, melainkan suatu kondisi dari hilangnya kebaikan. Manusia yang berdosa tidak memiliki kekudusan dan kebenaran dalam dirinya. Yang kedua, dosa juga aktif dalam kerusakannya. Dosa memiliki kuasa yang menghancurkan mereka yang diperbudaknya. Manusia yang berada di bawah kuasa dosa memilih untuk menjauhi Allah dan mendekat kepada kebinasaan. Mereka tetap memiliki fungsi dan sifat manusiawi, tetapi alih-alih memakai diri mereka untuk memuliakan Allah Sang Sumber kehidupan, mereka justru mencari kemuliaan diri dan menempuh jalan kejahatan demi menyenangkan diri sendiri. Bukannya mencari yang sejati, yang baik, dan yang indah, manusia justru melihat kebohongan sebagai kebenaran, mengejar kejahatan sebagai kebaikan, dan menerima perbudakan sebagai kemerdekaan. Gambar dan rupa Allah pun rusak oleh dosa. Secara moral kita tidak lagi mempunyai kesanggupan untuk melakukan apa yang Allah kehendaki.
Jawaban bagi Masalah Dosa
Dosa bukan hal yang remeh dan sekadar membuat Allah tersinggung. Dosa berarti kita secara sadar melanggar perintah Allah dan sikap itu keluar dari hati yang memberontak kepada Dia. Yakobus menulis tentang hati manusia dengan keinginan yang memikat dan menyeretnya, sehingga “apabila keinginan itu telah dibuahi, ia melahirkan dosa; dan apabila dosa itu sudah matang, ia melahirkan maut” (1:15). Maut adalah konsekuensi utama dari dosa, dan jawaban bagi dosa dan konsekuensinya tidak bisa datang dari diri manusia sendiri, karena manusia tidak cukup kudus dan tidak sanggup menghasilkan kebenaran yang menghapuskan dosa itu. Kita telah lahir di dalam keberdosaan yang merusak seluruh aspek hidup ini sebagai keturunan Adam dan Hawa, nenek moyang kita yang pertama. Hanya anugerah Allah di dalam kabar baik-Nya (Injil) yang sanggup mengenyahkan dosa dari hati manusia. Hanya Roh Allah yang kudus yang mampu menyucikan diri manusia dari noda dosa.
Roh Allah dan firman Tuhan menerangi hati kita, sehingga kita bisa melihat kelamnya dosa yang mengikat dan memperbudak kita. Kita ingat bagaimana si anak bungsu yang telah pergi dan kehilangan segalanya di negeri yang jauh itu “menyadari keadaannya” (Lukas 15:17), dan itu membuatnya ingin kembali ke rumah bapanya. Kesadaran akan dosa itulah karya Roh Allah. Roh itu harus datang untuk melahirbarukan manusia berdosa, sehingga kuasa dan ikatan dosa dipatahkan, dan kita sungguh-sungguh merdeka (Roma 6:18; Yohanes 8:36)! Hanya Yesus Kristus yang bisa menebus kita dari lumpur dosa dan lubang kubur dengan darah-Nya yang kudus dan tercurah di salib!
Karya seni kintsugi memperlihatkan kekurangan sebagai suatu hal yang baik, bahkan konon orang-orang sengaja menghancurkan keramik milik mereka agar dapat ditambal kembali dengan sentuhan garis-garis emas yang membuatnya makin indah. Manusia secara sadar menghancurkan diri mereka ketika memberontak dan berdosa kepada Allah yang kudus. Namun, manusia tidak dapat memperbaiki diri mereka sendiri. Syukurlah, Allah dalam kasih dan kuasa-Nya tetap memandang manusia berharga di mata-Nya, dan Dia rindu menebus serta memulihkan apa yang telah rusak itu, bukan “dengan perak atau emas, melainkan dengan darah yang mahal, yaitu darah Kristus” (1 Petrus 1:18-19). Kini saatnya bagi kita untuk memperlihatkan kepada dunia karya pemulihan yang telah diperbuat Kristus melalui kesungguhan hidup dan pelayanan kita.
Jiwaku lama menjerit,
dipasung dosa yang seram.
Surya-Mu bagiku terbit;
penjaraku pun benderang.
Terbukalah pasunganku;
‘ku bangkit dan mengikut-Mu.
(Wesley, 1738)
Dengarkan Juga:
Lepas dari Jerat Dosa Seksual
Dosa seksual itu seperti jerat yang terus menarik kita untuk terbenam semakin dalam. Semakin kita berusaha lepas, semakin kuat pula godaannya. Atau, ketika kita telah terjebak terlalu dalam, mungkin kita pun merasa begitu kotor dan tak layak untuk dimaafkan Tuhan.
Namun, harapan masih ada. Apabila Anda sedang bergumul dengan dosa ini, biarlah firman Tuhan menjadi sumber kekuatan dan tuntunan hidup Anda. Temukan inspirasi dari firman Tuhan yang akan menolong Anda untuk hidup kudus bagi-Nya dari Podcast KaMu, persembahan dari WarungSaTeKaMu.org.
Pelayanan Our Daily Bread Ministries di Indonesia didukung terutama oleh persembahan kasih dari para pembaca, baik individu maupun gereja di Indonesia sendiri, yang memampukan kami untuk terus membawa hikmat Alkitab yang mengubahkan hidup kepada banyak orang di dalam negeri.