Dhimas Anugrah

“Sebab kita tidak membawa sesuatu apa ke dalam dunia dan kita pun tidak dapat membawa apa-apa ke luar. Asal ada makanan dan pakaian, cukuplah.” 

(Rasul Paulus)

Hari-hari ini masyarakat kita mengenal istilah baru: “fleksing” (flexing). Sederhananya, fleksing berarti pamer. Orang yang gemar fleksing biasanya mempertontonkan barang mewah, isi saldo di rekeningnya, uang bertumpuk-tumpuk, pakaian mahal, makanan kelas bintang lima, jet pribadi, liburan ke luar negeri, tas mewah, mobil mewah, dan sederet barang mahal lainnya. Fleksing juga tidak melulu soal kekayaan dan harta, tetapi juga prestasi, pencapaian, keberhasilan, bahkan relasi romantika atau pernikahannya. Tidak sedikit orang sengaja melakukan fleksing ini di media sosial, baik sekadar untuk pamer maupun dengan motif kriminal untuk menipu penontonnya. 

Menurut seorang pakar bisnis, fleksing memang banyak digunakan sebagai strategi pemasaran demi menarik peminat. Belum lama ini publik dikagetkan dengan ditangkapnya seorang anak muda oleh pihak yang berwajib karena diduga melakukan penipuan berkedok investasi. Modus yang ia lakukan untuk menipu calon korbannya cukup halus, yaitu melalui fleksing atau menunjukkan “kekayaan” melalui media sosial, sehingga membangun kepercayaan para penontonnya yang juga ingin cepat kaya agar mereka tertarik “berinvestasi” pada bisnis-bisnis yang ia tawarkan. 

Mencari Akar Masalah

Fleksing dengan tujuan menipu orang lain tentu merupakan tindak kejahatan. Namun, bagaimana dengan fleksing yang motifnya “hanya” pamer? Dalam konteks ini, setidaknya pengamatan psikolog klinis Stefany Valentina yang dimuat Kompas.com (15/2/2022) bisa membantu kita. Menurutnya, alasan seseorang melakukan fleksing adalah karena ia merasa memiliki sesuatu yang ingin dibanggakan dan mau menunjukkannya kepada orang lain. Namun, bisa juga tindakannya didorong oleh perasaan insecurity atau kurang percaya diri karena kekurangan tertentu yang dimilikinya. Jadi, seseorang merasa butuh memamerkan pencapaian dan harta bendanya supaya perasaan kurang percaya diri tadi tertutupi. Praktik fleksing menunjukkan upaya pemasaran diri sendiri yang didasari oleh kebutuhan akan perhatian dan pengakuan dari pihak lain. Pamer menjadi salah satu bentuk pelarian dari kegundahan dan kekosongan jiwa seseorang.

Memiliki hasrat agar eksistensi dan kesetaraannya diakui di antara orang lain tentu wajar, tetapi akan menjadi masalah jika hasrat tersebut tidak terkendali hingga mendorong seseorang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan pengakuan itu.

Mengutip psikologi Yunani Klasik, penulis Francis Fukuyama mengatakan bahwa salah satu unsur jiwa manusia adalah thymos, yaitu kebutuhan untuk diakui orang lain, di luar keinginan untuk diakui derajatnya setara dengan yang lain (epithymia), dan keinginan diakui lebih hebat atau di atas yang lain (megalothymia). Memiliki hasrat agar eksistensi dan kesetaraannya diakui di antara orang lain tentu wajar, tetapi akan menjadi masalah jika hasrat tersebut tidak terkendali hingga mendorong seseorang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan pengakuan itu. Jika tidak dikendalikan dengan bijak, maka dorongan jiwa semacam ini akan membuat orang terjebak pada dosa kesombongan.

Kata “sombong” tentu tidak asing bagi kita, bahkan kata  “sombong”, “angkuh”, “tinggi hati” dan “congkak” disebutkan lebih dari 200 kali dalam Alkitab. Hampir dalam setiap penyebutannya, kata tersebut mengacu kepada perilaku atau sikap yang dibenci oleh Tuhan. Alkitab memberi tahu kita bahwa orang yang sombong adalah kekejian bagi Dia. “Setiap orang yang tinggi hati adalah kekejian bagi TUHAN; sungguh, ia tidak akan luput dari hukuman” (Amsal 16:5). Dari tujuh hal yang Tuhan benci, Kitab Suci menyebutkan “mata sombong” pada yang pertama dalam daftar (Amsal 6:17). Yesus sendiri membuat daftar tiga belas karakteristik dari mereka yang berada di luar perkenanan Allah, dengan kesombongan disebutkan sejajar dengan percabulan dan pembunuhan (Markus 7:20-23).

Fleksing = Dosa Kesombongan?

Kisah-kisah dalam Kitab Suci mengajak kita merenungkan kembali realitas ini. Di masa lalu, fleksing atau memamerkan kekayaan kepada orang lain yang berakar pada dosa kesombongan juga pernah dilakukan raja-raja pada zaman Perjanjian Lama. Misalnya, Raja Ahasyweros yang dikisahkan memamerkan kekayaan dan keindahan kerajaannya berhari-hari lamanya, sampai seratus delapan puluh hari. Bukan saja memamerkan kekayaannya, sang raja juga memamerkan kecantikan isterinya, yaitu ratu Wasti, meski ditolak oleh sang ratu (Ester 1). Pula Hizkia, raja Yehuda melakukan hal yang serupa. Ia memamerkan seluruh kekayaan dan kebesaran kerajaannya kepada utusan raja Babel. “Hizkia menyambut para utusan itu dan menunjukkan kepada mereka segala kekayaannya, yaitu emas dan perak, rempah-rempah dan minyak wangi, dan seluruh perlengkapan tentaranya. Tak ada sesuatu pun di istana dan di seluruh kerajaannya yang tidak diperlihatkannya kepada mereka” (2 Raja-Raja 20:13 BIS). Akibatnya, Hizkia ditegur nabi Yesaya, dan sang nabi menubuatkan bahwa segala kekayaan yang ada di dalam istana itu akan diangkut ke Babel (2 Raja-Raja 24:10-13; 2 Tawarikh 33:11; Daniel 1:1-3). 

Di Perjanjian Baru yang ditulis dalam bahasa Yunani, ada dua jenis kata “sombong” yang digunakan, tetapi memiliki makna yang sama. “Huperogkos” yang berarti “membengkak” atau “berlebihan” seperti dalam “kata-kata yang congkak” (2 Petrus 2:18; lihat juga Yudas 1:16). Yang lainnya adalah “phusiosis” yang berarti “jiwa yang membusung” (“keangkuhan” dalam 2 Korintus 12:20). Dua kata yang memuat kesan negatif tersebut selayaknya mendorong orang percaya menyadari bahwa menjadi sombong atau memiliki sikap angkuh sungguh bertentangan dengan kesalehan yang patut dimiliki orang beriman (baca 2 Petrus 1:5-7). Kesombongan tidak lebih dari sekadar demonstrasi rasa pentingnya diri sendiri (2 Timotius 3:2). Ini mirip dengan pola pikir “semuanya harus tentang aku, aku, dan aku.” 

Tantangan terbesar manusia tidak lain adalah dirinya sendiri.

Penginjil D. L. Moody pernah mendapat pertanyaan dari seorang jurnalis, “Siapakah orang yang memberi kesulitan paling besar dalam pelayanan Anda?” Moody menjawab, “Saya menemui kesulitan paling besar dengan D. L. Moody daripada dengan orang-orang mana pun yang masih hidup.” Pernyataan penginjil besar abad ke-19 itu mengingatkan kita bahwa tantangan terbesar manusia bukanlah setan atau roh-roh jahat, karena mereka sudah dikalahkan oleh Tuhan Yesus di kayu salib. Tantangan terbesar manusia tidak lain adalah dirinya sendiri. Bukankah tidak selalu mudah menahan diri dari memamerkan apa yang kita miliki? Ini termasuk prestasi di dalam pekerjaan, pelayanan, studi, dsb. Meski kita sudah percaya kepada Tuhan Yesus, sifat alamiah untuk berpusat pada diri sendiri masih melekat. Setiap orang beriman memiliki pergumulannya masing-masing untuk menghadapi keakuan ini. 

Lalu Bagaimana?

Praktik memamerkan apa yang kita miliki demi mendapat kekaguman dan pengakuan orang lain sulit disangkal sebagai buah kesombongan. Memang ada perasaan bangga ketika kita bisa mencapai suatu prestasi atau menyelesaikan suatu pekerjaan dengan baik. Namun, masalah muncul ketika hal itu membuat kita haus akan pujian dan kekaguman pihak lain. Tampaknya inilah jenis kesombongan yang dibenci Allah (Amsal 8:13). Pada gilirannya, kesombongan tersebut akan berimbas negatif pada orang itu sendiri, seperti yang dikatakan Amsal 16:18, “Kecongkakan mendahului kehancuran, dan tinggi hati mendahului kejatuhan.” 

Marilah kita mengambil waktu berdiam diri sejenak. Mari merenung dan melihat ke dalam batin kita sendiri, apakah selama ini juga ikut melakukan fleksing, baik secara sadar maupun tidak? Jika ya, kita diundang belajar mengubah diri. Bukan dengan kekuatan kita sendiri tentunya, tetapi dengan memohon tuntunan Roh Kudus. Mengubah kecenderungan dan kebiasaan fleksing mungkin saja tidak mudah, tetapi layak diusahakan terus-menerus.

Kita diajak belajar hidup ugahari atau menahan diri. Kita perlu mengelola hasrat untuk pamer, sehingga kita menjadi orang yang tampil tidak berlebihan. Belajar ugahari berarti hidup sederhana (1 Timotius 6:7-8), dengan membeli barang sesuai kegunaan, yang sesuai kebutuhan kita, bukan demi prestise, apalagi untuk dipamer-pamerkan. Dengan mengembangkan rasa empati terhadap mereka yang berkekurangan, mungkin dana kita dapat berguna untuk membantu mereka (Galatia 6:2). Kita tidak lagi terjebak pada kompetisi meningkatkan level kemewahan dan memamer-mamerkannya, tetapi secara sadar rela hidup sederhana dan berkarakter Kristen, seperti yang diteladankan Yesus Kristus sendiri (1 Yohanes 2:6).


Baca Juga:

Uang: Mengapa Rasanya Tak Pernah Cukup?

Ada berbagai cara pandang berbeda tentang uang dan kaitannya dengan hidup manusia. Namun, di balik semua itu, isu yang paling dalam sebenarnya bukan soal uang itu sendiri, melainkan kehausan jiwa manusia. Buklet ini mengupas akar masalah di balik uang sekaligus solusinya.


Pelayanan Our Daily Bread Ministries di Indonesia didukung terutama oleh persembahan kasih dari para pembaca, baik individu maupun gereja di Indonesia sendiri, yang memampukan kami untuk terus membawa hikmat Alkitab yang mengubahkan hidup kepada banyak orang di dalam negeri.