Oleh Aryanto Wijaya
Bila gemar berselancar di media sosial, mungkin meme yang membandingkan bagaimana Bekasi dengan dataran tinggi Bandung pernah muncul di beranda.
Kota Bekasi yang secara geografis ada di pesisir utara Jawa dengan elevasi 0-2 meter di atas permukaan laut dibandingkan dengan Bandung yang elevasinya 700 meter. Bekasi dijadikan lelucon sebagai kota gersang yang “mataharinya dobel”, dan Bandung disanjung seperti sebuah “kulkas yang dingin”.
Namun, yang namanya meme bukanlah kebenaran seutuhnya, meskipun soal beda suhu udara antara dua tempat ini ada benarnya juga. Franz Wilhelm Junghuhn, seorang romantikus dan ahli geografi pada abad 19 membagi habitat dalam iklim tropis berdasarkan ketinggian. Setiap kenaikan 100 meter, suhu udara akan turun sekitar 0,6 derajat. Sederhananya, makin tinggi suatu tempat, makin sejuk pula suhunya. Pada abad lalu ketika dunia belum sepadat sekarang, teori ini bisa diterapkan dengan tepat. Tapi, pada hari-hari ini ketika wilayah kita semakin padat dan udara telah tercemar, teori ini tidak lagi mutlak.
Sebagai warga Bandung yang bekerja di Jakarta, saya dan sebagian besar rekan seperantauan kurang setuju dengan klaim dari para wisatawan yang gemar memuji kota kami yang sejuk dan hijau. Iya, dingin kalau naik ke Kawah Putih di Gunung Patuha atau ke Tangkuban Parahu. Tapi, kalau di kota? Suhunya tidak jauh beda dengan Jakarta, sama-sama hareudang!
Data dari BMKG mencatat rata-rata suhu kota Bandung pada tahun 1975 adalah 22,6 derajat celcius. Namun, pada 2020, alias 45 tahun setelahnya, suhu rata-rata melonjak hingga 3 derajat! Angka ini mungkin terkesan kecil, tapi dampaknya signifikan, terlebih bila siang hari nan terik. Warga kota yang dulu hidup nyaman-nyaman saja tanpa AC, sekarang jadi mulai mempertimbangkan untuk membeli pendingin ruangan. Meskipun udara dalam ruangan jadi sejuk, tapi penggunaan AC tidaklah tanpa dampak lingkungan. Ini baru fenomena yang terjadi di kota Bandung, belum daerah-daerah lain yang merasakan dampak yang lebih parah.
Membicarakan isu lingkungan hidup tidak cukup bila hanya mengandalkan perasaan dan pengamatan sekilas. Kita perlu berangkat dari data dan mencermatinya dengan saksama. Data dari Copernicus Climate Change Service (C3S) Uni Eropa mencatat pada Februari 2023 hingga Januari 2024 rata-rata global mengalami kenaikan suhu sebesar 1,52 derajat celcius. Kenaikan suhu berarti pula berubahnya tatanan iklim yang telah terbentuk selama berabad-abad. Maka, tidak heran saat ini kita bisa menyaksikan fenomena alam yang dulu agaknya terkesan janggal, seperti: hujan lebat pada bulan yang biasanya dulu kemarau, angin puting beliung yang mirip tornado yang menghancurkan rumah di Rancaekek, waduk-waduk yang ketinggian airnya menyusut drastis, dan sebagainya.
Iman Kita Tidak Abai dengan Masalah Bumi
Ketika perubahan iklim menghasilkan bencana yang bisa kita saksikan dengan mata kepala kita sendiri, bagaimana iman yang kita anut mempengaruhi persepsi kita? Apakah kita menjadi orang yang pasrah, seolah semua ini adalah suratan takdir dan tak ada yang bisa melawannya? Apakah kita jadi orang yang denial, merasa perubahan alam ini hanyalah hal pengalihan isu? Apakah kita menjadi orang yang over-reaktif dan khawatir berlebihan merasa kebinasaan tinggal sejengkal lagi? Atau, didasari kasih kepada Allah, kita mulai berdoa dan melakukan tindakan-tindakan sederhana?
Pdt. Prof. Emanuel Gerrit Singgih menuliskan satu resensi tentang buku “Sacred Nature” karya Karen Armstrong. Resensi ini saya baca ketika saya sedang duduk mendinginkan diri di bawah naungan pohon beringin. Karen Armstrong berpandangan bahwa wawasan dunia Barat modern (yang di dalamnya mencakup tradisi Kristiani sebab kekristenan sejak abad-4 berkembang di Eropa) tidak menganggap alam sebagai ilahi. Atau, alam dipandang semata-mata hanya objek. Pandangan ini agak berbeda dengan wawasan dunia timur, di mana agama-agama yang lahir dan berkembang di sini umumnya lebih menghormati alam, memelihara mitos-mitos, bahkan memujanya. Alam dianggap sakral dan supranatural sehingga manusia dituntut untuk menghormatinya. Contoh sederhananya bisa kita temukan bila bepergian ke daerah seperti Bali atau daerah lain di mana kepercayaan lokal dipelihara. Semisal, pohon-pohon besar disuguhkan sesajen dan tindakan pengrusakan terhadapnya dianggap sebagai keburukan yang mendatangkan karma.
Namun, apakah itu berarti iman Kristen tidak menghargai alam dan cenderung mengabaikannya?
Di sinilah bahasan kita menjadi lebih menarik. Sepanjang hidup saya sebagai seorang Kristen, memang saya akui jarang sekali topik mengenai lingkungan hidup disiarkan dari atas mimbar atau pun peribadatan komunal. Ini bisa jadi masukan bagi kita semua. Namun, ini bukan berarti iman kita merendahkan alam. Kita menghargai alam semesta sebagai ciptaan karya Tuhan yang agung (Kejadian 1:1), bahkan pemazmur begitu jelas menggambarkan karakter Allah yang mewujud dalam lanskap-lanskap alam dan ciptaan (Mazmur 19:2; Matius 6:26 ).
Ketika Allah menciptakan manusia sebagai ciptaan yang berkuasa atas alam semesta, Allah tidak pernah bermaksud agar manusia sewenang-wenang atas segala ciptaan-Nya yang lain. Kata “berkuasa” diambil dari kata bahasa Ibrani “רָדָה râdâh”. Alkitab berbahasa Inggris versi KJV dan NRSV menggunakan padanan kata “dominion”, sedangkan NIV “rule”. Makna denotatif dari dua kata berbahasa Inggris ini adalah mengatur. “Mengatur” yang dimaksud di sini bukanlah semacam titah untuk mengeksploitasi bumi habis-habisan, tetapi perlu disandingkan pula dengan ayat sebelumnya yang menyatakan bahwa manusia diciptakan menurut gambar Allah (Kejadian 1:27). Sehingga, makna yang tepat dari perintah “berkuasa” ini adalah kita mengemban tugas dari Allah sebagai ciptaan yang dicipta menurut citra Allah. Alm. Pdt. Purboyo W. Susilaradeya menegaskan lebih lanjut, demikian:
“‘Menguasai’ hanya boleh terjadi sesuai maksud Allah atas segenap ciptaan-Nya, yaitu kita mesti ‘menghidupi semua makhluk’ dan dipertanggungjawabkan kepada-Nya.”
Kembali pada ulasan Karen Armstrong yang menyatakan bahwa iman Kristiani memandang alam hanya sebagai objek semata dan membandingkannya dengan tradisi dari Timur, kita bisa berkata bahwa alam semesta dan lingkungan hidup memang adalah objek, ciptaan Allah. Namun, ini bukan objek yang dicipta tanpa maksud dan tujuan. Rasul Paulus menuliskan, “…segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia” (Kolose 1:16). Allah memanggil kita untuk menatalayani objek ini dengan bertanggung jawab dan sepenuh hati yang didasari atas kasih kita kepada Dia yang adalah Sang Pencipta. Bahkan, dalam Perjanjian Baru ketika Yesus mengajarkan “Doa Bapa Kami”, salah satu penggalan kalimatnya berbunyi, “Jadilah kehendak-Mu di atas bumi seperti di dalam surga.”
Yesus mengajari kita agar kita memohon kehendak Allah di dalam surga turut dinyatakan pula di atas bumi. Artinya, pedoman hidup kita bukanlah kehendak kita sendiri, tetapi kehendak Allah. Dalam kaitannya dengan lingkungan hidup, kehendak Allah adalah Dia mau kita bertanggung jawab mengelola ciptaan-Nya untuk mendatangkan kemuliaan bagi-Nya dan membawa kebaikan bagi kita, sehingga sejatinya tak ada ruang sedikit pun bagi kita untuk merusak dan memperlakukan lingkungan hidup kita dengan ugal-ugalan.
***
Selepas bahasan panjang ini, apakah praktik iman kita mampu menjadikan bumi ini lebih baik?
Jawabannya: bisa! Dalam kaitannya dengan lingkungan hidup, kita bisa memandang kerusakan yang terjadi sebagai buah dari kejatuhan manusia dalam dosa. Namun, sikap kita tidak berhenti hanya sampai memaklumi, “sudah rusak, ya sudah.” Kita bisa perluas cara pandang kita, bahwa dalam panggilan Allah untuk kita “berkuasa” atas alam, itu tidak sebatas memanfaatkannya untuk kepentingan kita semata. Alam adalah cerminan kemuliaan-Nya yang juga memberitakan pekerjaan tangan-Nya (Mazmur 19:2). Kematian dan kebangkitan Tuhan Yesus telah memberikan kita pemulihan yang saat ini telah kita rasakan, meskipun belum sepenuhnya. Dalam masa-masa inilah kita dipanggil bukan untuk diam, berpasrah, apalagi mengutuki, tetapi mengupayakan kesejahteraan kota tempat kita tinggal (Yeremia 29:7). Sejahtera tak cuma tentang kondisi manusia, tetapi juga mencakup keadaan sekitarnya.
Rusaknya tatanan iklim hari ini adalah buah dari masifnya kerusakan yang dipupuk dalam dekade demi dekade ke belakang. Kita mungkin sangsi, bilakah ikhtiar kita untuk hidup lebih bertanggung jawab terhadap alam akan memberi dampak berarti atau tidak. Namun, satu tindakan kecil tetaplah jauh lebih berharga daripada berdiam diri atau mengutuki ribuan kali.
Dimulai dari yang sederhana: berhemat air dengan mematikan keran saat menyikat gigi, lebih banyak berjalan kaki bila tujuannya masih bisa dijangkau tanpa kendaraan, mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, dan banyak lainnya.
Bila semua ini dilakukan dengan sepenuh hati, Tuhanlah yang akan memberkatinya. Dan, bayangkanlah bila tindakan ini konsisten dilakukan oleh jutaan orang Kristen di seluruh dunia, tidakkah ada ribuan liter air yang lebih dihemat, jutaan metrik ton dan sampah plastik yang bisa dikurangi hingga kenaikan suhu global pun dapat diperlambat?
Yuk! Dimulai dari diri kita sendiri untuk melakukan apa yang baik.
Saksikan tayangan ini:
Memelihara Ciptaan
Apakah Anda merasakan sukacita, ketika Anda melihat keindahan alam? Ternyata, itu pula yang dirasakan Allah. Dalam Kejadian 1, Dia tidak hanya menciptakan dunia, tetapi juga bersukacita atas apa yang telah dijadikan-Nya.
Bagaimana kasih-Nya kepada dunia ini mempengaruhi cara kita memelihara alam ciptaan-Nya? Saksikan video ini, untuk menghayati hikmat dan wawasan alkitabiah tentang mengelola bumi kita.
Pelayanan Our Daily Bread Ministries di Indonesia didukung terutama oleh persembahan kasih dari para pembaca, baik individu maupun gereja di Indonesia sendiri, yang memampukan kami untuk terus membawa hikmat Alkitab yang mengubahkan hidup kepada banyak orang di dalam negeri.