Oleh Dhimas Anugrah

Beberapa waktu lalu, ada sekelompok orang pecinta transportasi darat menjajal perjalanan yang tidak biasa. Mereka menaiki sebuah bus reguler yang dioperasikan oleh perusahaan otobus asal Sumatra Utara. Trayek dari bus ini tidak tanggung-tanggung! Dari Medan ke Jember, jarak tempuhnya 2.839 kilometer dan durasi perjalanannya nyaris 5 hari. 

Ketika cerita perjalanan mereka diunggah ke media sosial, respons beragam pun muncul. Ada yang geleng-geleng kepala, “Mending naik pesawat sih! Harga beda dikit, tapi jauh lebih cepet!” Ada yang antusias dan ingin mencoba juga. Namun, ada satu yang menarik perhatian saya. 

“Jarak segitu kalau kita bandingin, itu lebih jauh daripada jarak Amsterdam (Belanda) ke Moskow (Rusia) yang 2.400an kilometer. Di sana (Eropa) jarak segitu udah bisa pindah-pindah negara, di sini (Indonesia), masih tetep dong di satu negara.” 

Komentar itu mengandung fakta. Indonesia memang sungguhlah luas. Trayek bus Medan ke Jember PP hanya mencakup dua pulau utama, sedangkan secara keseluruhan negeri kita memiliki lima pulau utama, dan aneka pulau lainnya yang jumlahnya mencapai 17 ribu! Luasnya geografi Indonesia juga berkaitan erat dengan keberagaman suku dan budayanya. Statistik mencatat ada lebih dari 1.300 suku dan 700 bahasa yang dituturkan setiap harinya. 

Angka-angka ini pada satu sisi terkesan fantastis dan menggembirakan, bahwa sungguh kita dikaruniai negeri nan luas dan beragam. Tetapi, pada sisi lainnya, pikiran saya berselancar jauh. Di balik buaian akan agungnya Indonesia, apakah segudang perbedaan ini akan tetap menjadikan kita langgeng sebagai suatu bangsa sampai masa-masa selanjutnya? 

Indonesia sebagai entitas bangsa yang bersatu secara de iure dan de facto barulah muncul pada abad 20, ketika bibit nasionalisme tumbuh seiring dengan perubahan politik di masa Hindia-Belanda. Pada abad-abad sebelumnya, wilayah-wilayah Indonesia yang beragam dan memiliki bahasa serta budayanya masing-masing tidaklah bersatu. Sejarah mencatat pernah terjadi pertikaian hebat pada daerah-daerah di Nusantara. Semisal, pada tahun 1404 ada Perang Paregreg, konflik berdarah ketika para penguasa Majapahit di barat dan timur bertarung memperebutkan hegemoni. Ada pula peristiwa Geger Pacinan di tahun 1740, ketika orang-orang Tionghoa dipersekusi oleh pihak Belanda. Juga pada masa modern, sebelum milenium kedua, kita menyaksikan bagaimana konflik seperti di Maluku ataupun Sampit menghancurkan harmoni kehidupan. 

Perbedaan adalah keindahan, tetapi pada tiap lapisan zaman, kita pun melihat bahwa seringkali atas nama “perbedaan,” konflik mengerikan pun terjadi. Bagaimana dengan masa sekarang? Setelah daerah-daerah yang dipenuhi perbedaan ini bersepakat menjadi satu di bawah atap bernama Indonesia, apakah harmoni akan lebih terjaga? 

Untuk menjawabnya, saya mengajak Anda untuk kembali pada Alkitab. 

Allah berkenan dan memberi rahmat dalam perbedaan 

Perbedaan suku, bahasa, agama, dan ras sejatinya adalah realitas yang mencerminkan keagungan Tuhan. Ini bukanlah suatu kebetulan semata, sebab ketika Allah menciptakan dunia, Dia menciptakan segala sesuatu baik adanya (Kejadian 1:21,25). Namun, kejatuhan manusia ke dalam dosa merusak segala tatanan dan rancangan baik yang semula Allah tetapkan. Karena dosa, terbitlah kebencian, iri dengki, dan segala perasaan negatif dalam diri manusia yang melawan Allah. 

Eksposisi dari John Piper menawarkan pemaparan teologis historis yang menarik. Pada Perjanjian Lama kita melihat bagaimana dosa membuat manusia menjadi sombong dan melawan Allah. Setelah peristiwa Air Bah, pada Kejadian 9:19, tertulis demikian, “Mereka itulah ketiga anak Nuh dan dari merekalah tersebar semua penduduk bumi.” Di ayat ini istilah yang digunakan adalah “penduduk bumi.” Belum teridentifikasi bangsa ataupun etnis. Semua orang di bumi berasal dari keturunan Nuh. Barulah kemudian, di akhir Kejadian 10 digambarkan silsilah keturunan-keturunannya dan mulai muncul istilah “bangsa.” “Itulah segala kaum anak-anak Nuh menurut keturunan mereka, menurut bangsa mereka. Dari mereka itulah terpencar bangsa-bangsa di bumi setelah air bah itu” (Kejadian 10:32). 

Dari nats tersebut tampak jelas bahwa keturunan dari anak-anak Nuh menghasilkan bangsa-bangsa yang berbeda, tetapi bangsa di sini bukanlah entitas politik, melainkan sebuah kesatuan yang terdiri dari ikatan keluarga ataupun etnis yang tersebar ke seluruh dunia. Namun, pada Kejadian 11, secara mengejutkan muncul kisah Menara Babel, ketika manusia memberontak terhadap Allah dengan membangun menara yang seolah puncaknya hendak mencapai surga dan untuk nama mereka sendiri. Di sinilah kita melihat penyebab langsung dari keanekaragaman bahasa bangsa-bangsa yang tersebar di berbagai tempat. Menara Babel menjadi upaya manusia untuk melawan Allah, sehingga Allah “mengacaubalaukan bahasa mereka di sana, sehingga mereka tidak dapat lagi saling mengerti bahasa mereka. Demikianlah mereka diserakkan TUHAN dari sana ke seluruh bumi” (Kejadian 11:7). 

Pada Perjanjian Baru, Rasul Paulus memberikan perspektif tentang bagaimana kita menghadapi keberagaman. Ketika Paulus menghadapi para pecinta kebijaksanaan di Atena, dia mengatakan, “Dari satu orang saja Ia telah menjadikan seluruh umat manusia untuk mendiami seluruh muka bumi dan Ia telah menentukan musim-musim bagi mereka dan batas-batas kediaman mereka, supaya mereka mencari Allah…” (Kisah Para Rasul 17:26-27). Lewat perkataannya, Paulus menegaskan kepada orang-orang Atena yang cerdas, bahwa Allahlah yang menciptakan semua umat manusia dengan beragam etnisitasnya.

Perspektif yang Alkitab berikan adalah pesan yang tegas bahwa Allah menerima keragaman bangsa-bangsa dan semua setara di mata-Nya. Tidak seharusnya kita menyerang orang lain atas dasar perbedaan suku, agama, bahasa, atau lainnya. Saat kita menyadari realitas ini, kita bisa belajar dan bertumbuh sebagai individu yang merupakan bagian dari masyarakat. Sebagai orang Kristen, melalui interaksi dengan orang-orang yang berbeda suku dan agama, kita dapat memperluas wawasan dan pemahaman kita tentang dunia di sekitar kita, sekaligus dapat menerima dan memanusiakan sesama kita sebagai manusia yang menyandang citra Allah.

Kita dipanggil untuk hidup damai di dalam kasih 

Dalam Perjanjian Lama, ketika komunitas Yahudi hidup di Babel, di antara orang-orang yang tidak satu suku atau seagama dengan mereka, Allah memerintahkan mereka agar mengusahakan kesejahteraan tempat di mana mereka tinggal dan berdoa untuk kota atau negara itu kepada Tuhan, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraan mereka juga (Yeremia 29:7).

Guru Agung kita Yesus Kristus pernah mengatakan, “Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah” (Matius 5:9). Ini merupakan pesan bagi umat Kristiani agar membawa cinta kasih dan damai kepada seluruh umat manusia, terutama di lingkungan di mana kita berada. 

Ketika dunia semakin mementingkan diri sendiri, perintah Kristus untuk “mengasihi sesama” ini menjadi pesan yang kuat bagi orang percaya di Indonesia untuk menyebarkan cinta kasih, dan bukan benci. Melalui tindakan cinta kasih yang nyata terhadap sesama, kita dapat menjadi perwujudan kasih Kristus yang indah bagi mereka yang berbeda keyakinan agama dan suku dengan kita. Pula, dengan cara ini kita dapat membangun hubungan yang lebih baik dan mengurangi ketegangan yang mungkin terjadi karena perbedaan. 

Dalam dunia yang telah jatuh ke dalam dosa, mungkin konflik atau gesekan bisa saja terjadi. Tetapi, kita diundang untuk teguh pada panggilan kita mengasihi dan membawa damai, sehingga dengan iman kita mampu berdoa dan berupaya agar atap besar yang menaungi ribuan pulau dan ratusan suku bangsa bersama Indonesia ini tetap tegak, tidak doyong seiring usia yang bertambah. 

Catatan:
Kutipan teks Alkitab di artikel ini terambil dari Alkitab Terjemahan Baru Edisi 2 (TB2).


Kunjungi:

Halaman Kemerdekaan

Pada bulan kemerdekaan ini, ODB Indonesia mengajak Anda untuk menyimak beragam konten untuk menuntun kita merefleksikan kemerdekaan Indonesia dalam spiritualitas dan kehidupan kita sehari-hari.


Pelayanan Our Daily Bread Ministries di Indonesia didukung terutama oleh persembahan kasih dari para pembaca, baik individu maupun gereja di Indonesia sendiri, yang memampukan kami untuk terus membawa hikmat Alkitab yang mengubahkan hidup kepada banyak orang di dalam negeri.