Bishop Emeritus Robert Solomon

Dunia sedang diguncang oleh pandemi COVID-19. Kita melihat tayangan berisi kekosongan di mana-mana, seakan-akan akhir zaman telah tiba.

“Aku telah melenyapkan bangsa-bangsa;
menara-menara penjuru mereka telah musnah.
Aku telah merusakkan jalan-jalannya,
sehingga tidak ada orang yang lewat.
Kota-kota mereka telah ditanduskan,
sehingga tidak ada orang dan tidak ada penduduk” (Zefanya 3:6)

Betapa kuatnya firman Tuhan ini berbicara pada zaman kita sekarang!

Jika Allah mengizinkan terjadinya peristiwa-peristiwa tersebut, tentu ada maksudnya—agar kita kembali kepada-Nya dengan lembah lembut dan rendah hati supaya kita dapat mencari perlindungan kepada-Nya (ay.12).

Dia mengasihi kita dan akan menggenapi maksud-Nya. Dia hadir bersama kita dalam masa-masa tersulit sekalipun.

“TUHAN Allahmu ada di antaramu
sebagai pahlawan yang memberi kemenangan.
Ia bergirang karena engkau dengan sukacita,
Ia membaharui engkau dalam kasih-Nya,
Ia bersorak-sorak karena engkau dengan sorak-sorai” (ay.17).

Inilah gambaran indah dari kasih Allah. Seperti ibu yang meninabobokan anaknya yang gelisah, Tuhan menghibur kita ketika kita merasa takut atau cemas. Allah pun tidak hanya menghibur tetapi juga bersorak-sorai karena anak-anak-Nya. Di sinilah kelembutan seorang ibu dipadukan dengan sukacita seorang ayah. Semua gambaran ini hendak menyatakan bagaimana Tuhan yang berdaulat penuh masih berkuasa atas tragedi yang sepertinya tak terkendali. Ketika pandemi berakhir (dan tidak ada yang tahu kapan), akan seperti apakah dunia ini? Kita dapat memikirkan apa pengaruhnya terhadap misi umat Tuhan di tengah dunia. Ada tiga area yang mungkin berpengaruh penting terhadap cara menjalankan misi pada masa pasca-pandemi.

Situasi Sosial Ekonomi

Salah satu kenyataan yang ditunjukkan pandemi COVID-19 ini adalah lemahnya sistem dan struktur sosial ekonomi secara umum. Kesulitan kaum miskin dan terpinggirkan semakin tampak, meskipun belum sepenuhnya terekspos oleh media. Mereka yang paling menderita dan terpengaruh oleh wabah ini adalah orang-orang yang berjuang menghidupi diri dari hari ke hari, yang tidak punya cukup tabungan dan yang selama ini sudah di ambang keterpurukan. Kini mereka semakin terdesak oleh pandemi dan segala dampaknya, lewat hilangnya pekerjaan maupun terbatasnya akses kepada bahan makanan dan pelayanan kesehatan.

Ketika kondisi membaik, tiba saatnya untuk membangun kembali dan memulihkan keadaan. Setiap orang, masyarakat, dan dunia ini butuh dipulihkan dari luka mendalam yang dialami dari peristiwa kehilangan orang terdekat, pekerjaan, maupun usaha. Kesenjangan sosial harus ditangani dan diperkecil. Perlu ada tindakan-tindakan yang tepat dari pemerintah dan lembaga-lembaga terkait untuk memperkuat ketahanan jaringan sosial ekonomi. Tidak ada orang yang seharusnya terpaksa hidup terus terpuruk, dan mereka patut ditopang dengan layak di masa krisis yang tidak terduga, yang pasti terjadi dari waktu ke waktu. Kondisi ekonomi global perlu diperbaiki agar mengindahkan keadilan dan belas kasihan.

Implikasinya terhadap misi adalah bahwa kita perlu meninjau kembali cara kita menghadapi kebutuhan dan kesenjangan sosial. Selain menyediakan bantuan (yang akan terus dibutuhkan), kita juga perlu menolong mengatasi masalah ketidakadilan struktural dan kronis, dengan mendukung perubahan yang berdampak nyata guna membantu kaum yang tidak berdaya dan kurang beruntung. Pelayanan kesehatan yang kurang menunjang di berbagai tempat perlu diperbaiki pula. Pekerjaan misi dalam bidang medis juga pasti sangat terpengaruh. Orang-orang Kristen yang menjadi pemikir, praktisi, dan aktivis perlu mencari cara untuk membangun ketahanan, keberlanjutan, dan ketangkasan dalam masyarakat, terutama di antara kaum miskin dan kurang beruntung.

Internet dan Teknologi Komunikasi

Pandemi ini telah menjadikan peran Internet dan teknologi komunikasi sangat menonjol. Gereja-gereja di seluruh dunia menutup kebaktian dan pelayanan mereka di gedung dan memindahkannya ke dunia maya, dengan menyiarkan kebaktian serta melakukan pelayanan mereka melalui berbagai aplikasi di Internet, seperti Youtube dan Zoom. Pemakaian media online dan sosial yang semakin meningkat (dan hal yang baru bagi banyak gereja) akan tetap dipertahankan gereja di masa mendatang. Menarik juga melihat lebih banyak orang menghadiri kebaktian yang disiarkan langsung daripada yang hadir di pertemuan ibadah di gereja selama ini.
Implikasinya terhadap misi adalah bahwa gereja dan lembaga misi perlu mengembangkan metode baru dalam mengerjakan pelayanan misi. Mereka dapat menjangkau lebih banyak dan lebih luas, dan mempunyai kesempatan untuk menyesuaikan metodenya. Ini bukan berarti pelayanan tatap muka tidak lagi dibutuhkan atau akan tergantikan. Namun, kini kita mempunyai sarana baru untuk melakukannya.

Kebutuhan Rohani

Selama pandemi berlangsung, banyak orang dibawa untuk merenungkan kembali makna, dasar, dan arah hidup yang mereka tempuh selama ini, serta hal-hal apa yang paling berarti bagi mereka. Mereka mungkin telah mengalami kecemasan, termasuk rasa takut pada kematian. Maksud saya adalah banyak orang yang secara diam-diam digerakkan oleh Roh Kudus, sehingga hati mereka menjadi tanah yang subur untuk ditanami benih firman Tuhan.

Setelah pandemi berlalu, ada kesempatan besar untuk melayani orang-orang yang hati dan pikirannya telah disiapkan Roh itu dengan pemberitaan Injil Yesus Kristus. Apa yang dikatakan Tuhan Yesus 2.000 tahun lalu masih relevan hingga hari ini, bahkan sampai hari-hari mendatang. Yesus berkata kepada murid-murid-Nya, “Tuaian memang banyak” (Lukas 10:2). Dia juga berkata, “Lihatlah sekelilingmu dan pandanglah ladang-ladang yang sudah menguning dan matang untuk dituai” (Yohanes 4:35). Karena banyaknya jiwa yang bisa dituai, Tuhan juga berkata, “Karena itu mintalah kepada Tuan yang empunya tuaian, supaya Ia mengirimkan pekerja-pekerja untuk tuaian itu” (Lukas 10:2).

Pandemi ini telah menciptakan rasa urgensi dalam diri orang-orang percaya. Saya mengenal anak-anak muda yang berpikir ulang tentang apa yang hendak mereka lakukan dengan hidup mereka. Dengan segala pertimbangan yang mereka miliki, kita berdoa agar ada banyak saksi, penginjil, dan misionaris baru yang akan menyerahkan diri mereka untuk mengabarkan Injil dengan segera dan terus terang kepada dunia yang sangat membutuhkan keselamatan dan sedang menuju kebinasaan.

Baik dunia maupun gereja harus menolak godaan untuk kembali kepada kenyamanan dan status lama yang selama ini melenakan mereka. Kita harus melangkah melampaui batas-batas gereja kita. Gereja-gereja lokal dibawa untuk memikirkan siapa sesama mereka yang sesungguhnya. Di Singapura, ada gereja-gereja yang membuka gedung mereka untuk didiami oleh para pekerja migran yang tidak mempunyai tempat tinggal dan melayani kaum miskin lewat berbagai tindakan yang murah hati dan penuh belas kasihan. Ini perkembangan yang positif, dan semoga akan tetap berlangsung bahkan semakin berkembang. Ketika gereja-gereja merasakan kebutuhan yang besar dari dunia di sekitar mereka, mereka akan semakin mampu melihat ladang tuaian yang sudah matang, dan ada banyak orang yang pergi melayani dunia yang sangat membutuhkan kasih dan kebenaran Kristus saat ini juga. Gereja yang terus beriman dan percaya di tengah maraknya kematian pasti mempunyai kabar baik untuk diberitakan dan ditunjukkan kepada dunia yang dibelenggu ketakutan terhadap maut. Semua ini karena kita menyembah dan mengikuti Tuhan yang telah menaklukkan dosa dan kematian—dua masalah terbesar yang dihadapi manusia berdosa.

Pekerjaan misi pasti akan mengalami berbagai perubahan sembari kita meninjau dan memperbarui motivasi serta metode kita dalam melakukannya. Namun demikian, kabar baik tentang Injil Yesus Kristus harus terus diberitakan dengan terus terang dan meyakinkan.


Renungan ini pertama kali ditayangkan oleh Singapore Centre for Global Missions (SCGM), dan telah mendapat izin untuk diterbitkan ulang.

Jika Anda diberkati melalui materi-materi ini dan ingin melihat lebih banyak orang diberkati, Anda dapat juga mendukung pelayanan kami.