Dhimas Anugrah
Mendung gelap menyelimuti Jakarta. Aku bergegas memacu motorku ke arah Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Rekan kantorku, sempat mengingatkan, “Cepetan pulang, mau ujan gede lho. Tuh langit mendung gitu.”
Sampai di Jalan Panjang, hujan turun deras sekali. Di sisi kiri jalan ada Rumah Makan Sarang Oci. Ke situlah akhirnya aku menepi dan berteduh.
Tak sampai semenit berdiri di pinggir pintu rumah makan, “Kenapa aku ga sekalian makan aja di dalam,” pikirku. Aku pun makan sembari menunggu hujan berhenti.
Setelah hampir satu jam menunggu, hujan mulai reda. Aku beranjak pergi ke gereja, tapi tak sampai 20 menit, hujan turun lagi. Kupacu motorku, langsung masuk ke parkiran Blok M Plaza yang memang tak jauh dari situ.
Kemeja dan jaketku basah. Tak mungkin aku ikut Kebaktian Syukur Tutup Tahun di gereja dengan keadaan seperti ini. Aku “terpaksa” beli baju baru. Bukan baju mahal, yang penting layak dan nyaman dipakai ke gereja.
Hujan tak kunjung reda. Kebaktian kurang dari 40 menit lagi akan dimulai. Tak mungkin aku naik motor. Tanpa berpikir lama, kuinapkan motorku di sana dan pergi ke gereja menggunakan ojol.
Banjir Landa Jakarta
Keesokan harinya, ibu kota rupanya dilanda banjir. Kali ini banjirnya tak biasa. Badan Meteorologi menyebutkan bahwa hujan yang mengguyur Jakarta dan sekitarnya sejak malam tahun baru merupakan hujan terekstrem dalam kurun waktu satu dekade lebih.
Jalan Tendean, akses utama dari Mampang ke Blok M tertutup air sekitar setengah meter. Jalan ditutup. Jalan Sudirman depan kampus Unika Atmajaya dan Plaza Semanggi juga ditutup. Di banyak tempat di Jakarta akses ditutup. Tak cuma jalanan, permukiman warga juga terendam.
Aku naik ojol ke Blok M Plaza, mengambil motorku yang kutinggal bermalam di sana. Kami melewati jalan mobil roda empat di Sudirman.
Jakarta sepi. Tak banyak kendaraan yang tampak di jalanan.
Air menggenang di mana-mana. Banjir ini mungkin salah satu yang paling parah dalam sejarah Jakarta.
Aku berpikir, “Kenapa Jakarta sering dilanda banjir? Adakah solusi atas banjir di ibu kota?”
Aku yakin, slogan “Jakarta Bebas Banjir” bukanlah utopia. Suatu saat, aku optimis, Jakarta akan terhindar dari masalah yang sudah membelenggu berabad-abad ini.
Tapi, sementara angan itu menuju realitas, dalam ibadah pribadiku, aku terdorong mendoakan Pemerintah Provinsi DKI agar mendapat hikmat dan kecakapan mengantisipasi dan mengelola banjir. Menyikapi bencana seperti ini, kita punya pilihan untuk meresponsnya dengan beragam cara: apakah kita mengeluh, memaki, berusaha menunjuk jari siapa yang paling bersalah, atau fokus kepada penanggulangan bencana dan mendoakan mereka yang terlibat di dalamnya?
Sembari memantau keadaan, aku memilih untuk berdoa. Alasanku sederhana, aku teringat sabda Tuhan yang mendorong umat-Nya, “Usahakanlah kesejahteraan kota…, dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu.” (Yererima 29:7).
Aku juga mengajak Anda, pembaca sekalian, untuk berdoa bagi Jakarta. Kita berdoa agar bencana banjir yang membuka dekade baru ini dapat segera diatasi. Berdoalah kiranya pemerintah dan para pemangku kebijakan dapat menentukan langkah-langkah yang bijak, baik dalam proses evakuasi, mitigasi, juga antisipasi bencana ke depannya. Berdoalah pula untuk segenap tim evakuasi di lapangan yang harus berjibaku dengan medan yang sulit, kiranya mereka tetap kuat dan diberikan keselamatan. Juga bagi segenap korban banjir yang tentunya mengalami kerugian materil.
Mari, ulurkan tangan juga untuk membantu para pengungsi dan korban banjir lainnya sesuai dengan apa yang bisa kamu lakukan.
Di gereja kami, majelis jemaat membuka pintu bagi puluhan warga Wijaya Timur, yang tinggal di sekitar Kelurahan Petogogan, Kampung Sawah, dan Pulo Raya untuk mengungsi.
Semoga badai ini segera berlalu.
Semoga Tuhan menolong Pemprov DKI dan semua pihak terkait dalam mengatasi situasi ini.