Dhimas Anugrah

“Secapek-capeknya kerja, lebih capek lagi nganggur.”

Kalimat di atas pernah saya dengar ketika seorang kawan bercerita tentang sulitnya mendapat pekerjaan. Sehari-hari hanya di rumah, melamar sana-sini dengan harap-harap cemas. Meski fisik tidak banyak beraktivitas, tapi hidup tanpa bekerja menjadikan keseharian terasa hampa, menguras emosi, dan memunculkan perasaan tidak berguna bagi orang-orang sekitar.

Terlepas dari banyak faktor yang membuat seseorang kesulitan dalam mencari atau menciptakan pekerjaan, kita sepakat bahwa bekerja adalah bagian penting dari kehidupan manusia. Almarhum ayah saya pernah berkata, “Jadi manusia harus produktif, rajin bekerja.” Pesan ini tertanam kuat dalam benak saya sehingga selepas lulus SMA saya pun terdorong mencari kerja sambilan sambil kuliah. Ketika ada tawaran untuk bermain musik, saya ambil pilihan itu. Di sela-sela studi saya bermain piano di hotel-hotel. Syukur pada Allah, oleh anugerah-Nya studi dan pekerjaan sambilan saya diberkati-Nya hingga saya dapat membiayai sendiri kuliah saya sampai jenjang S-2.

Pengalaman bekerja itu membuat saya memahami bahwa pekerjaan adalah cara Allah untuk memenuhi kebutuhan umat-Nya. Tapi, bukankah Tuhan Mahakuasa? Mengapa Dia tidak langsung saja memberikan kita berkat tanpa harus bersusah payah?

Sepanjang sejarah peradaban manusia, pekerjaan adalah bahasan yang tak lekang oleh waktu. Pada masa Yunani kuno dulu, Plato mengusulkan sistem spesialisasi tenaga kerja yang membagi orang-orang pada usia produktif ke dalam tiga strata ekonomi. Bagi Plato, sistem pembagian kerja akan memastikan tugas-tugas penting dikerjakan oleh orang yang kompeten. Lebih lampau dari zaman filosofi Yunani, Taurat juga menunjukkan pentingnya bekerja dalam kehidupan manusia.

Kerja bukanlah inisiatif manusia, melainkan Tuhan. Kitab Kejadian menginformasikan bahwa Tuhan sendiri adalah Allah yang bekerja.

Kerja bukanlah inisiatif manusia, melainkan Tuhan. Kitab Kejadian menginformasikan bahwa Tuhan sendiri adalah Allah yang bekerja. Dia menciptakan dunia dalam enam hari dan beristirahat pada hari ketujuh. Dia pun memerintahkan manusia untuk mengikuti teladan-Nya, yaitu untuk bekerja, produktif, dan menggunakan keterampilan (Kejadian 1:1-28). Sepanjang sejarah ketika manusia mengalami perkembangan peradaban, cara dan konsep kita bekerja pun berubah. Dari yang awalnya manusia berburu kemudian mengenal bercocok tanam, hingga menjadi manusia modern seperti sekarang ini.

Namun, pada zaman sekarang kita sepakat bahwa bekerja bukan cuma untuk “cari makan”. Ada banyak kebutuhan yang perlu dipenuhi dan semuanya butuh uang. Tak jarang, pekerjaan yang adalah teladan Allah pun berubah kita maknai sebagai suatu beban yang memberatkan. Sehingga tak jarang muncul keluhan dan rasa putus asa. Ingin tidak bekerja, ingin ongkang-ongkang kaki saja dan kaya raya.

Rasa lelah bekerja ini pernah direspons oleh Karl Marx, seorang pemikir pada abad-19 yang menganggap pekerjaan sebagai sumber keterasingan dan eksploitasi. Pemikir Jerman itu percaya bahwa di bawah sistem kapitalisme yang mencari untung sebesar-besarnya, pekerja hanya diperlakukan sebagai roda penggerak mesin. Sementara itu, pada abad-20 ada pemikir lain dari Prancis bernama Jean-Paul Sartre melihat pekerjaan bukan sekadar upaya meraih uang dan makan, tetapi juga menentukan identitas manusia dan menciptakan makna dalam hidupnya.

Bekerja sebagai cara kita menghormati Allah

Apa yang Alkitab katakan tentang bekerja? Dalam Perjanjian Baru kita membaca “Apa pun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia. Kamu tahu, bahwa dari Tuhanlah kamu akan menerima bagian yang ditentukan bagimu sebagai upah” (Kolose 3:23-24, penekanan oleh penulis). Meski ayat ini adalah nasihat Paulus kepada para budak Kristen abad pertama Masehi, tapi konsep yang ia sampaikan berlaku bagi semua orang percaya yang bekerja: “bekerjalah seolah-olah kita sedang melayani Tuhan sendiri.”

Tidak ada pekerjaan yang tak penting dilakukan ketika kita melayani Dia. Semua pekerjaan yang tidak melawan hukum positif adalah suci di hadapan Tuhan.

Paulus menasihati orang Kristen untuk bekerja dengan “sepenuh hati” (Yunani: ek psyches, artinya “dari jiwa”), ini menyiratkan gagasan tentang antusiasme dan semangat dalam bekerja. Ayat ini mendorong kita sebagai umat Kristiani bekerja dengan sepenuh hati. Kita melayani Dia melalui pekerjaan kita. Tidak ada pekerjaan yang tak penting dilakukan ketika kita melayani Dia. Semua pekerjaan yang tidak melawan hukum positif adalah suci di hadapan Tuhan. Dia ingin kita melayani-Nya dengan sepenuh hati, cakap, dan rajin dalam pekerjaan sesuai talenta kita masing-masing.

Menurut ayat berikutnya, imbalan utama kita ada pada Allah, bukan pada manusia yang kita layani dalam waktu yang singkat. Melalui ayat ini kita diajak memahami bahwa pekerjaan bukan sekadar tentang mendapatkan gaji atau memenuhi kewajiban duniawi, sebaliknya kita dipanggil untuk memandang pekerjaan sebagai pelayanan kepada Tuhan. Tentu, ini tidak berarti kita mengabaikan kesejahteraan yang pantas kita dapatkan atau berikan selama bekerja di dunia. Tapi, melampaui pemikiran Marx yang hanya melihat pada kesejahteraan pekerja dan filosofi Sartre yang melihat pekerjaan sebagai cara menciptakan makna hidup, Alkitab mengingatkan kita pada etos kerja Kristen yang berfokus kepada Allah. Memuliakan Dia (1 Korintus 10:31).

Filosofi kerja Kristiani sederhana, yaitu bekerja tidak hanya untuk memuaskan diri sendiri, atasan atau pimpinan, tetapi juga untuk memuliakan Tuhan. Jika bekerja itu untuk menghormati Tuhan, maka kita akan terdorong melakukan pekerjaannya dengan cakap dan tekun. Amsal 10:4 mengatakan, “Tangan yang lamban membuat miskin, tetapi tangan orang rajin menjadikan kaya.” Dalam tafsir sederhana, nats ini mengajak setiap kita menjadi anggota masyarakat yang rajin, bertanggung jawab, dan produktif. Dengan bekerja, kita juga berkontribusi bagi kebaikan bersama. Apakah kita bekerja di kantor, pabrik, sawah, wirausaha, di bidang olahraga, militer, keamanan, praktisi hukum, dokter, rohaniwan, atau lainnya, kita didorong untuk melakukan yang terbaik, sepenuh hati, karena pekerjaan kita adalah pelayanan kita kepada Allah.


Baca Juga:

Aku Takut Di-PHK

Dengan ketidakstabilan ekonomi dan lingkungan kerja saat ini, banyak dari kita yang menghadapi ancaman kehilangan pekerjaan. Siapa yang bisa menolong kita dan memberikan jaminan serta penghiburan, yang selalu hadir untuk menolong dan memelihara kita?


Pelayanan Our Daily Bread Ministries di Indonesia didukung terutama oleh persembahan kasih dari para pembaca, baik individu maupun gereja di Indonesia sendiri, yang memampukan kami untuk terus membawa hikmat Alkitab yang mengubahkan hidup kepada banyak orang di dalam negeri.