Oleh Agustinus Ryanto
Sebagai anak kandung semata wayang, papa sempat menaruh ekspektasi tinggi terhadap saya. Dia ingin saya kuliah di jurusan bisnis lalu bekerja sebagai businessman. Tapi, di kenyataan, saya malah memilih jurusan Jurnalistik dan berkarier sebagai pekerja kantoran di sebuah yayasan.
“Liat nih,” dia menunjuk pada karung-karung terigu ketika saya sedang menyikat gigi. “Karung-karung kotor ini bisa bikin kamu kuliah dan hasilnya lebih gede dari gaji bulanan kamu.”
“Wah, bagus dong! Puji Tuhan,” saya menimpali sambil tertawa. “Ini artinya, semua usaha kita itu diberkatin loh.”
Omelan sejenis itu bukan kalimat baru di telinga saya dan semakin menjadi-jadi saat Imlek tiba. Ketika saya mengepalkan tangan sambil mengucap “kiong hi”, papa memberi angpau disertai segudang wejangan yang isinya meminta saya banting setir pilihan karier selagi usia belum tiga puluh. Di hari lain, papa tetap tidak lupa membanding-bandingkan pilihan karier saya dengan pekerjaan lain yang menurutnya lebih menjanjikan. Meski awal-awal saya dongkol, tapi lama-lama terbiasa. Malahan, saya menganggap itu sebagai ungkapan kasih papa yang begitu peduli akan hari depan anaknya.
Sampai suatu ketika, papa mengalami kecelakaan yang mengakibatkan dia lumpuh. Selama satu bulan, kantor tempat saya bekerja mengizinkan saya untuk pulang dan bekerja dari rumah sakit. Saya menemani papa, membersihkan badannya, menyuapinya, hingga menyanyikan lagu-lagu buatnya sebelum tidur. Selepas dua minggu bersama, papa menangis ketika saya membersihkan kotorannya.
“Aduh, papa malu,” dia ucapkan kalimat ini terbata-bata. Gigi-giginya telah tanggal, pun matanya sembab. “Nggak seharusnya kamu ninggalin kerjaan cuma buat ngerawat papa. Papa udah jahat sama kamu…”
“Hushh… Ngomong apa toh?” saya membalas celotehnya. Tangan saya memeras waslap yang telah direndam air hangat, lalu mengusapkannya pada kulit papa yang telah banyak mengendur karena terlalu lama berbaring. “Aku nggak pernah mikir gitu kok pah. Justru karena kerjaan inilah, kita jadi punya banyak waktu bareng toh.”
Tanpa saya sadari, air mata saya ikut menetes. “Seandainya gajiku ratusan juta, besar kemungkinan aku nggak akan ada di sini, pah. Mungkin aku akan bayar orang lain aja karena pastinya kerjaan nggak bisa ditinggal.”
Saya kecup keningnya lalu berkata, “Jadi, mulai sekarang, boleh ya papa ikut bangga sama pilihan kerjaanku?”
Dia mengangguk lalu merentangkan kedua tangannya tanda ingin memeluk. Sambil terisak dia berucap, “Papa bangga sama kerjaan kamu. Kamu mungkin nggak kaya, tapi kamu diberkati!”
Hari itu, di sebuah bangsal rumah sakit, saya merasakan kehangatan yang sungguh berbeda ketika kata-kata berkat terlontar dari ucapan papa. Dua minggu setelahnya, papa pun dipanggil Tuhan. Dukacita dan rasa tak menyangka memang terasa mengguncang, tetapi sepeninggal papa, saya sungguh merasakan sukacita dalam pekerjaan saya.
***
Apa yang papa saya pernah pikirkan, bahwa karier dengan penghasilan yang besar akan membawa keamanan dan kenyamanan dalam hidup sejatinya adalah hal yang sangat wajar. Itu naluri alami manusia yang selalu menginginkan kehidupannya dan orang-orang terkasihnya lebih baik. Ada semacam konsensus tidak tertulis bahwa generasi yang akan datang harus lebih baik dari sebelumnya. Oleh karena itulah, orang tua umumnya akan berusaha sebaik mungkin (walau kadang ada yang terlalu mendikte) agar anaknya memiliki kehidupan yang lebih baik.
Alkitab menyajikan kepada kita banyak cerita tentang berkat. Dalam Perjanjian lama, kata Ibrani yang ditulis sebagai berkat adalah “bârak”, yang bermakna memuji, menyelamati, menyapa. Pada Kejadian 1:22, Allah memberkati makhluk ciptaan-Nya dan berfirman agar mereka semua berkembangbiak dan bertambah banyak. Bukan hanya Allah yang mengucapkan berkat.
Ketika Ishak telah lanjut umurnya dan bersiap menghadapi kematian, dia memperkatakan berkat atas Yakub, “Allah akan memberikan kepadamu embun yang dari langit dan tanah-tanah gemuk di bumi dan gandum serta anggur berlimpah-limpah…” (Kejadian 27:28-29). Berkat dari Ishak ini seharusnya diberikan pada Esau yang sulung, namun malah dirampas oleh Yakub dengan tipu daya yang diinisiasi Ribka. Alhasil, saudara kembar ini pun berseteru. Esau yang tak terima menangis dengan suara keras lalu bertanya, “Hanya berkat yang satu itukah yang ada padamu, Ayah? Berkatilah aku ini juga, Ayah!” (ayat 38).
Sebagaimana Esau, mungkin kita pun pernah kecewa ketika Tuhan seolah tidak menurunkan berkat-Nya. Kita gagal dalam upaya masuk kampus idaman, bekerja pada bidang atau tempat yang jauh dari harapan, jatuh-bangun dalam menjalin relasi, ataupun hidup terasa morat-marit dengan segudang penderitaan. Kita lantas melihat kehidupan kita sebagai hidup yang jauh dari diberkati. Tetapi, mari kita telisik lebih dalam makna tentang berkat. Melansir dari Gotquestions, dapat disimpulkan bahwa berkat adalah pernyataan kehendak yang baik dan kebahagiaan bagi pendengarnya, dan kondisi di mana semua ucapan baik itu terpenuhi.
Allah menciptakan dunia dengan begitu baik. Dia ingin agar segala ciptaan mengalami kemakmuran dan kedamaian, tetapi segala rancangan baik itu hancur tatkala dosa masuk dalam dunia. Apakah ketika dunia telah rusak maka berkat pun sirna? Tidak. Allah tetap menjanjikan dan memberikan berkat. Allah ingin memulihkan perkenanan-Nya atas umat-Nya.
Pada Perjanjian Baru, kita dituntun pada suatu konsep berkat yang baru, yang melampaui segala berkat yang tampak jasmani. Efesus 1:3 dengan tegas mengatakan, “Terpujilah Allah dan Bapa Tuhan kita Yesus Kristus yang dalam Kristus telah mengaruniakan kepada kita segala berkat rohani di dalam sorga”. Perhatikan frasa yang dicetak miring. Segala berkat rohani telah dikaruniakan bagi kita di dalam Kristus. Jika kita baca lebih lanjut pasal pertama dalam surat Efesus, Rasul Paulus memberi kita sekilas gambaran dahsyat tentang hidup dalam Kristus, yaitu:
- Kita dijadikan kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya (ayat 4)
- Kita diangkat menjadi anak-anak-Nya dalam keluarga kerajaan-Nya (ayat 5)
- Kita dianugerahi hadiah istimewa berupa pengampunan dosa dan kasih karunia-Nya yang berlimpah (ayat 7-8)
- Kita dikaruniakan Roh Kudus yang tinggal di dalam kita, memimpin kita dan menguatkan kita (ayat 13)
Allah telah memberikan berkat terbesar berupa hidup baru dan pengampunan yang bisa kita dapatkan dalam Yesus Kristus. Ini bukan berarti berkat jasmani menjadi tidak penting, tetapi berkat rohani yang kita terima mencakup juga berkat-berkat lahiriah yang dilimpahkan-Nya bagi kebaikan kita dan kemuliaan-Nya (Matius 6:25-34).
***
Sepeninggal papa, tahun baru Imlek dalam keluarga terasa lebih sunyi. Tak ada lagi pula angpau yang diberikan sebagai balasan dari ucapan “kiong hi”. Namun, itu tak jadi soal sebab ucapan yang bermakna “selamat sejahtera” atau “selamat menjadi kaya” itu sejatinya telah kita terima di dalam Kristus.
Berkat apa yang Anda mohonkan dari Allah hari ini?
Carilah Pribadi-Nya lebih dulu, carilah Kristus, carilah kerajaan Allah, maka segalanya akan ditambahkan kepadamu (Matius 6:33).
Teman Jelajah “Kitab Efesus”
Pelajari lebih jauh tentang berkat-berkat rohani yang dikaruniakan Allah kepada anak-anak-Nya dengan buku Teman Jelajah “Kitab Efesus”!
Pelayanan Our Daily Bread Ministries di Indonesia didukung terutama oleh persembahan kasih dari para pembaca, baik individu maupun gereja di Indonesia sendiri, yang memampukan kami untuk terus membawa hikmat Alkitab yang mengubahkan hidup kepada banyak orang di dalam negeri.