Oleh Daniel Ryan Day 

Saya pernah mendengar seorang investor berkata bahwa kita dapat melatih tubuh kita untuk tidur hanya empat jam setiap malam. Kala itu ia tengah menjelaskan dedikasi dan etos kerja yang ia harapkan dari para pengusaha yang menerima investasinya. Saya tahu, beliau bukan satu-satunya yang menganjurkan hal ini. Atasan pertama saya setelah saya lulus kuliah juga terlihat enggan beristirahat. Lamanya ia bekerja sungguh mencengangkan. Suatu kali, saya mengomentari berapa lama ia bekerja, dan ia menjawab, “Kita bisa tidur kalau sudah mati.”

Buat kita, orang-orang itu mungkin tidak masuk akal, tetapi berapa banyak dari kita yang selalu merasa “sibuk”? Berapa banyak yang merasa terus dikejar waktu? Berapa banyak dari kita perlu kopi untuk bangun dan bekerja? Berapa banyak dari kita merasa tidak punya cukup waktu untuk semua yang harus kita kerjakan? Berapa banyak dari kita sulit mengingat hal apa yang sebenarnya kita nikmati? Rasanya bukan cuma saya yang merasakan semua itu!

Sebaliknya, berapa banyak dari kita merasa segar dan tenteram karena cukup beristirahat? Kapan terakhir kali Anda merasa puas dapat tidur siang, atau tidur sampai lelap di malam hari? Apakah Anda sering merasa punya waktu ekstra? Tidak? Saya pun begitu!

Kelelahan yang gawat terjadi ketika kita bekerja lebih lama daripada yang seharusnya, dalam periode yang terlalu lama pula.

Ruth Haley Barton, ahli dan penulis dalam hal praktik pertumbuhan rohani, menjelaskan perbedaan antara “kelelahan yang baik” dan “kelelahan yang gawat.” Kelelahan yang baik dialami ketika kita puas bekerja seharian, lalu pulang ke rumah untuk beristirahat dan memulihkan diri, lalu kembali lagi dalam keadaan segar dan siap menyambut hari baru. Kelelahan yang baik menjaga siklus yang sehat antara aktivitas bekerja, istirahat, dan kembali bekerja. Kelelahan yang baik itu berarti kita berjalan sesuai dengan maksud Allah menciptakan kita.

Kelelahan yang gawat terjadi ketika kita bekerja lebih lama daripada yang seharusnya, dalam periode yang terlalu lama pula. Kelelahan yang gawat adalah ketika kita tak pernah mendapatkan cukup tidur untuk segar kembali. Kita berlari dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain, lalu ke pekerjaan lain lagi, dan tak pernah mendapat waktu pemulihan yang kita butuhkan, baik untuk merayakan selesainya pekerjaan tadi dan beristirahat untuk menyambut pekerjaan yang selanjutnya. Menurut Ruth, gejala-gejala dari kelelahan yang gawat itu antara lain:

1. mudah gusar
2. terjebak dalam kemarahan atau kesedihan
3. mengejar pelarian seperti tidak henti-hentinya menonton atau minum-minum
4. tak mampu beristirahat meski punya waktu
5. sikap sinis atau selalu merasa tidak tenang
6. tidak mampu melakukan hal-hal mendasar seperti mandi atau memenuhi janji
7. takut tidak bisa berhenti jika menangis

Saya mendengar Ruth menjelaskan gejala-gejala ini pertama kalinya saat saya mengikuti retret yang ia bawakan. Saya ada di sana karena saya merasa sangat lelah (burnout) dalam hidup. Tempat saya bekerja menuntut lebih dari saya selama masa pandemi Covid, saya juga sedang menggembalakan sebuah jemaat baru, serta ditambah lagi peran saya sebagai suami dan ayah. Lebih parah lagi, saya baru menyadari kecanduan saya untuk selalu menolong orang dan selalu mengiyakan siapa saja. 

Alhasil, saya pun merasa kewalahan, lelah, cemas, dan ingin menyerah saja. Terkadang saya berkhayal melakukan sesuatu, baik di gereja maupun di pekerjaan, yang akan membuat saya dipecat. Saat tidur malam, mimpi saya berganti-ganti antara kemarahan yang intens dan serangan panik. Semua keadaan itu membawa saya kepada retret pertama saya bersama Ruth. Di hari pertama, ketika ia menjelaskan gejala-gejala kelelahan yang gawat, saya menuliskan setiap poin sembari mengangguk-angguk dan merasakan sakitnya menyadari semua ini. Kata-kata Ruth menyuarakan kelelahan dan keputusasaan ekstrem yang saya rasakan. Saya mengalami kelelahan yang gawat, dan seiring waktu, saya menemukan ada cukup banyak orang yang hidup tertatih-tatih seperti saya juga. 

Ini bukanlah yang Allah inginkan bagi kita. 

Dalam Mazmur 127:1-2, pemazmur menulis, “Kalau bukan Allah yang mendirikan rumah, sia-sialah pekerjaan tukang yang mendirikannya. Kalau bukan Allah yang melindungi kota, para penjaga tidak ada gunanya. Engkau tidak perlu membanting tulang dan memeras keringat dari pagi buta sampai larut malam karena takut kelaparan; sesungguhnya Allah ingin agar orang-orang yang dikasihi-Nya mendapat istirahat yang layak” (FAYH).

Di sini pemazmur menggambarkan dua aspek hidup yang cukup membuat stres, yang dapat kita rasakan juga. Pertama, mendirikan rumah. Mungkin sebagian besar dari kita tak pernah mendirikan rumah, tetapi kita dapat merasakan betapa pusingnya menemukan tempat tinggal dan kemudian merawatnya. Ada saja yang rusak. Memperbaikinya pun mahal. Kalau pun kita mengontrak rumah, biayanya terbilang mahal dan bisa jadi terus meningkat. Belum lagi tagihan listrik yang melambung tidak terduga. Ditambah lagi urusan membuang sampah dan biaya pemeliharaan lingkungan. Mempunyai atau mengontrak rumah memang bisa membuat stres.

Dengan kata lain, mengambil waktu untuk beristirahat dan memulihkan diri adalah tindakan yang mempercayai Allah.

Yang kedua, urusan melindungi kota. Boleh jadi Anda belum pernah ditugasi untuk menjaga kota semalam suntuk, sembari berharap tak ada musuh datang menyerang. Namun, tentu Anda pernah merasa takut. Mungkin adakalanya hidup menjadi kacau dan berjalan di luar kendali Anda. Mungkin Anda terjaga semalaman karena stres: teguran dari atasan di kantor, ujian sulit yang menjelang, diagnosis yang mengerikan, atau hubungan cinta yang kandas. Mungkin rasanya seperti menatap jauh ke dalam kegelapan, dengan waswas membayangkan apakah sesuatu yang buruk akan terjadi.

Dalam kedua situasi tersebut, sang pemazmur memulai dengan, “kalau bukan Allah.” Ini bukan berarti kita diam saja dan tidak berbuat apa-apa. Frasa “kalau bukan Allah” tidak berarti, “Diam saja dan biarkan Tuhan membangun rumah Anda.” Jika Anda berbuat demikian, rumah itu tidak akan pernah berdiri. Sebaliknya, pemazmur mengajak kita untuk mempercayai dan mengandalkan Allah, selagi kita mengerjakan apa yang Dia mau kita lakukan. Ia tidak mau kita “memeras keringat dari pagi buta sampai larut malam karena takut kelaparan,” yang berarti kita terus-menerus sibuk supaya semuanya tercapai dengan kekuatan kita sendiri. Ia mau kita mempercayai Allah dan menikmati istirahat serta pemulihan yang Dia tawarkan. Kata yang diterjemahkan sebagai “istirahat” dapat juga diterjemahkan sebagai “tidur,” dan perkataan “Allah ingin agar orang-orang yang dikasihi-Nya mendapat istirahat yang layak” juga dapat diterjemahkan, “TUHAN menyediakannya bagi mereka yang dikasihi-Nya, sementara mereka sedang tidur” (BIMK). Dengan kata lain, mengambil waktu untuk beristirahat dan memulihkan diri adalah tindakan yang mempercayai Allah. Kita menyadari bahwa kita telah bekerja sebaik-baiknya dalam batasan yang Allah beri, dan kemudian menyerahkan hasil pekerjaan itu ke dalam tangan-Nya. 

Bukan dalam bagian itu saja Alkitab berbicara tentang istirahat sebagai anugerah Allah. Pada mulanya, ketika Allah menciptakan langit dan bumi, Dia beristirahat dari semua pekerjaan-Nya di hari Sabat dan mengundang umat-Nya untuk melakukan hal yang sama. Lebih dari itu, Dia memerintahkan mereka untuk beristirahat. Sabat berarti kita beristirahat dengan mensyukuri cara Allah bekerja bersama umat-Nya. Sabat berarti mengakui bahwa para pria, wanita, dan Allah telah bekerja bersama sepanjang minggu yang telah berlalu, dan akan mampu memulai minggu yang baru dengan berhenti sejenak untuk merayakan apa yang telah dicapai, dengan berpesta dan beristirahat. Itulah pemikiran yang sangat bertolak belakang dengan apa yang lazim pada zaman itu, bahkan hingga masa kini. Sabat juga mengandung maksud yang indah dari perintah Allah, yakni sebuah undangan bagi kita untuk menikmati hidup yang lebih utuh dan kaya.

Yesus juga mengundang kita beristirahat ketika Dia berkata, “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan (istirahat) kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Ku pun ringan” (Matius 11:28-30).

Sahabat, inilah kerinduan hati Allah bagi kita: agar kita beristirahat dan mendapatkan kelegaan. Jika Anda dan saya merasa berbeban berat atau sangat lelah, mungkin kita perlu berhenti dan meminta Allah menolong kita untuk menyadari apakah kita memang sudah terlalu banyak memikul beban yang tidak seharusnya kita tanggung.

Batasan-batasan juga adalah karunia Allah bagi kita karena Dia layak dipercaya dengan segenap diri kita.

Terakhir, Allah menciptakan tubuh kita dengan batasan-batasan berupa kegiatan fisik sehari-hari, seperti tidur, makan, minum, atau buang hajat. Coba pikirkan berapa lama aktivitas-aktivitas tersebut menyita waktu kita. Allah bisa saja membuat kita sebagai makhluk yang memperoleh tenaganya kembali lewat cahaya matahari atau cukup dengan berjalan kaki, tetapi Dia justru mengaruniakan kita makanan yang lezat sebagai sumber energi. Makanan yang perlu disiapkan dan perlu waktu juga untuk dikonsumsi. Dia juga merancang kita untuk tidur selama delapan hingga sembilan jam (bahkan lebih, menurut sejumlah ahli) setiap hari. Sang pemazmur dan Tuhan Yesus sama-sama menyatakan bahwa istirahat adalah karunia Allah bagi kita.

Batasan-batasan juga adalah karunia Allah bagi kita karena Dia layak dipercaya dengan segenap diri kita. Sebenarnya, memang itulah arti istirahat: kepercayaan. Kita percaya bahwa selagi kita tidur, Allah masih dapat memberkati kita. Kita percaya bahwa dengan beristirahat pada hari Sabat, Allah akan menolong kita menyelesaikan pekerjaan kita selama 5-6 hari berikutnya. Kita percaya bahwa kita memuliakan Allah dengan memenuhi kebutuhan tubuh kita, dan itu juga berarti kita memelihara bait Roh Kudus yang Dia karuniakan, tempat Dia berdiam. 

Satu hal penting yang perlu saya katakan tentang tidur sebagai karunia Allah: Rasanya pemazmur tidak mengatakan bahwa mereka yang mengidap insomnia—atau yang tidak cukup tidur karena tanggung jawab atau mengurus anak-anak—tidak dikasihi Allah, atau bahwa mereka tidak mempercayai Allah. Dari pengenalan saya akan Tuhan Yesus, saya yakin Dia tidak akan menghukum siapa pun yang merasa kewalahan memikul beban hidup. Jika itu yang Anda alami, saya turut prihatin. Hidup terasa lebih sulit ketika kita sulit tidur dan memikul banyak beban pikiran. Memang ini tidak menyelesaikan masalah, tetapi intinya bukanlah soal tidur. Intinya, Allah mengundang kita semua untuk mempercayai Dia secara penuh. Orang-orang yang sulit tidur tetap dapat menerima undangan tersebut dengan mempercayakan diri mereka kepada-Nya dalam keadaan terjaga sekalipun.

Namun, masih ada satu hal lagi. Saya memulai tulisan ini dengan cerita saya yang mengalami kelelahan yang gawat. Andai saja saya dapat berkata bahwa saya telah berhasil pulih, dan sekarang hidup tenang dan cukup beristirahat setiap waktu. Sayangnya, sejumlah kebiasaan yang telah membuat saya kelelahan gawat itu masih ada. Saya masih terlalu sering mengiyakan berbagai hal dan adakalanya masih mengalami mimpi-mimpi penuh amarah. Ada masanya saya kurang tidur karena anak-anak yang terus terjaga. Belum lagi, saya masih mengikuti ritme tubuh yang tidak sehat dan yang sudah berlangsung selama bertahun-tahun. Kebiasaan baru yang dipelajari 18 bulan terakhir tidak akan begitu saja mengubah kebiasaan lama yang sudah menahun.

Namun, saya sedang menempuh perjalanan untuk mempercayai Allah dengan batasan-batasan saya, dan menuruti undangan-Nya untuk beristirahat. Jadi, apa pencapaian terbesar saya? Berhasil menjadwalkan apa yang saya sebut B.D.T. (Beristirahat Dalam Tuhan) dua kali dalam satu minggu. Apa yang saya lakukan? Biasanya saya bangun tidur lebih siang, menyeduh kopi, lalu hanya duduk diam bersama Allah di kursi yang nyaman, di luar rumah, atau di dekat suatu perairan selama kurang lebih satu jam. Tujuannya adalah untuk meneguhkan hati dalam kepercayaan bahwa Allah mengasihi saya, bukan karena apa yang saya lakukan atau capai, tetapi hanya karena saya ini anak-Nya. Saya pikir, apa yang biasanya orangtua inginkan dari anak-anaknya? Waktu bersama mereka. Rasanya Allah pun menginginkannya.

Pencapaian besar saya yang kedua? Saya mulai peka manakala saya terlalu sering mengiyakan orang-orang. Saya mengingat-ingat gejala-gejala dari kelelahan yang gawat, bahkan menambahkan beberapa hal yang semakin membantu saya. Kapan saya jadi sinis? Saya menggunakan waktu B.D.T. dengan meminta Allah agar menunjukkan dalam hal apa saja saya memaksakan diri. Namun, sekali lagi, saya masih bergumul dan belajar untuk semakin mempercayai Allah. Saya harap, ini menjadi sebuah undangan bagi Anda agar kita bersama dapat beristirahat dan percaya penuh dalam Allah, Pribadi yang dapat dipercaya.

Jadi, bagaimana jika Anda mengambil waktu untuk tidur sejenak saat ini? Allah ingin orang-orang yang dikasihi-Nya mendapat istirahat yang layak. Mungkin Anda ingin tidur lebih awal malam ini? Kiranya Allah berkenan. Lalu, bagaimana jika Anda tidak sengaja terlelap di gereja? Dengan bercanda, katakan saja kepada pendeta (dan siapa pun yang menatap Anda dengan curiga) bahwa Anda sedang beristirahat sesuai dengan perintah firman Tuhan.

Diterjemahkan dari artikel yang terbit pertama kalinya di reclaimtoday.org. Reclaim Today® adalah bagian dari Our Daily Bread Ministries.

Dengarkan Juga:

Renungan Malam

Mari menutup setiap malam dengan memfokuskan kembali hati dan pikiran Anda kepada Allah dan firman-Nya, sumber kedamaian sejati. Temukan kelegaan dan pembaruan melalui podcast yang berisi doa, bacaan Alkitab, dan penguatan iman ini.


Pelayanan Our Daily Bread Ministries di Indonesia didukung terutama oleh persembahan kasih dari para pembaca, baik individu maupun gereja di Indonesia sendiri, yang memampukan kami untuk terus membawa hikmat Alkitab yang mengubahkan hidup kepada banyak orang di dalam negeri.