Aryanto Wijaya
Sebagai anak muda berusia 20-an tahun, saya menikmati beragam transisi teknologi yang terjadi dalam dua dekade belakangan. Waktu SD dulu untuk meminta dijemput, saya akan pergi ke wartel atau telepon umum di pojokan gang, memasukkan sekeping logam supaya bisa bicara dengan mama. Atau, saya juga masih ingat betul bagaimana saya menulis surat dengan tulisan tangan pada kertas folio lalu dengan bahagia menggowes sepeda saya ke kantor pos, membeli perangko, mengirimkannya, dan menunggu hampir sebulan lebih untuk mendapat balasan.
Sekarang, semua proses itu terasa jadul dan kuno, seperti sebuah aktivitas dari zaman kerajaan. Padahal, dua puluhan tahun saja itu baru berlalu. Tetapi, sadar tidak sadar, selama rentang waktu singkat itulah perubahan masif sedang dan akan terus terjadi dalam kehidupan kita. Teknologi transportasi, komunikasi, pangan, hingga militer akan semakin maju.
Namun, di balik segala kekaguman kita akan kemajuan itu, terselip suatu pertanyaan besar: apakah kemajuan di segala bidang ini pada akhirnya akan merugikan kita?
Seperti yang baru-baru ini muncul, Chat GPT—sebuah kecerdasan buatan (artificial intelligence) yang bisa mengobrol dengan manusia dengan kata-kata yang terasa natural. Robot canggih ini merupakan inovasi dari OpenAI, sebuah lembaga riset di AS. Chat GPT saat ini masih dalam tahap uji coba, tetapi publik dibuat kagum akan kemutakhirannya.
Saya pun sempat mencoba menggunakan robot ini, dan memang hasilnya mengagumkan. Kita bisa mengetik pertanyaan dalam bahasa Indonesia ataupun Inggris. Jawaban yang diberikan pun rapi, tidak seperti hasil terjemahan Google Translate yang kadang terasa kaku. Apa saja pertanyaan kita, robot ini bisa memberikan responsnya. Tak cuma pertanyaan, perintah seperti membuat ringkasan khotbah, doa, pujian, hingga gombalan pun bisa dilakukannya.
Kekhawatiran pun muncul. Dengan hadirnya ChatGPT yang bisa luwes menjawab apa pun, apakah anak-anak sekolah akan jadi lebih malas dan plagiarisme akan merajalela? Karena tinggal mengetik sedikit pertanyaan atau keyword, maka satu makalah bisa selesai. Atau, pertanyaan lain yang lebih substansial: apakah kehadiran robot ini akan menggantikan peranan manusia dan menimbulkan kerugian besar yang belum bisa kita bayangkan hari ini?
Dua respons ekstrem
Menciptakan sesuatu, berinovasi untuk memudahkan hidup bukanlah hal yang aneh. Sejak dahulu manusia berupaya menjadikan kehidupan di bumi ini lebih nyaman. Tanpa upaya ini, kita tentu tidak akan menikmati naik pesawat terbang, operasi transplantasi jantung, modifikasi cuaca, juga membaca artikel ini dari layar ponsel kita. Semua yang kita nikmati hari ini adalah hasil kerja keras manusia dari masa-masa lampau yang terus disempurnakan dari generasi ke generasi.
Perkembangan teknologi pun selain memampukan kehidupan manusia jadi lebih baik, juga berkontribusi pada tersebarnya berita Injil dengan lebih mudah ke banyak orang. Pendek kata, kita semua mungkin mengamini bahwa kemajuan teknologi adalah yang baik bagi manusia dan berkenan bagi Tuhan.
Namun, dalam dunia yang telah jatuh ke dalam dosa, segala hal baik yang kita nikmati bisa saja tanpa kita sadari membuat kita lengah dan berpaling dari Tuhan. Bukan berarti produk-produk teknologi itu dosa, tetapi sifat kita dan cara kita mengaplikasikannyalah yang menjadi penentu.
Contoh sederhana adalah dengan adanya sepeda motor kita jadi lebih mudah bepergian. Kita bisa dengan mudah menjenguk teman yang sakit, mengantarkan makanan buat jemaat lansia yang tinggal sendirian, dan segudang hal baik lainnya. Tetapi, motor yang ‘baik’ ini pun bisa jadi pembunuh bila kita menggunakannya serampangan—kebut-kebutan di jalan, tidak pakai helm, melanggar rambu lalu lintas.
Derek C. Schuurman, dalam tulisannya di Christian Scholar’s Review mengungkapkan bahwa ada dua respons ekstrem yang muncul di kalangan orang Kristen terkait kemajuan teknologi. Ekstrem pertama adalah optimisme berlebihan bahwa teknologi adalah jawaban mutlak atas segala permasalahan yang ada di dunia. Optimisme ini berangkat dari konsep yang menganggap segala persoalan di dunia hanyalah soal hal-hal teknis semata, sehingga kemunculan teknologi pasti bisa menyelesaikan semuanya. Namun, di sisi yang lain, respons ekstrem kedua memandang kemajuan teknologi dengan rasa takut dan putus asa, seolah semua ini adalah ancaman terhadap manusia.
Kita perlu melihat kembali apa yang Alkitab katakan tentang manusia. Teolog bernama Herman Bavinck berargumen bahwa “manusia itu tidak menyandang atau memiliki gambar Allah, tetapi… manusia itu sendirilah gambar dan rupa Allah.” Sebagai citra Allah, imago Dei, manusia memiliki keunikan yang tidak dapat tergantikan oleh produk teknologi manapun. Chat GPT mungkin dapat memberi kita jawaban atas segala pertanyaan atau media sosial membuat kita lebih mudah terhubung dengan siapa saja, tetapi tak ada satu pun teknologi yang dapat menggantikan dekapan hangat bagi seseorang yang bersedih ataupun kata-kata penguatan yang disampaikan dengan nada lembut sambil berlinang air mata bagi seorang sahabat. Kebijaksanaan, kasih, persahabatan adalah sekelumit nilai dan aksi yang otentik dimiliki manusia dan tidak dapat tergantikan oleh perangkat apa pun.
Terlepas dari natur keberdosaan manusia yang mungkin saja mengubah segala hal baik menjadi dosa, perkembangan teknologi adalah hal yang menarik yang bisa kita terus jelajahi dan kembangkan untuk menolong lebih banyak orang dalam cara-cara yang memuliakan Tuhan.
Dengan hadirnya ChatGPT, kita tentu dapat memaksimalkan pelayanan kita baik itu di dalam maupun di luar gereja. Tak ada lagi komplain berupa tak ada ide untuk menyusun renungan atau khotbah karena ChatGPT dapat memberi kita rujukan yang komprehensif, juga memberi kita jawaban yang dapat memperkaya perspektif kita. Atau, kita pun dapat mulai melatih keterampilan menulis artikel-artikel Kristen yang relevan, yang nyaman dibaca sekaligus berbobot untuk kita publikasikan pada media-media Kristiani yang kredibel. Contoh-contoh ini hanyalah sedikit sekali dari segudang cara yang bisa kita jelajahi untuk turut berselancar di atas teknologi, untuk menyampaikan pesan-pesan firman Allah bagi dunia. Alih-alih membuat kita takut atau menjadi malas, kemajuan teknologi seharusnya memotivasi kita untuk mengoptimalkan peranan kita dalam menjadi garam dan terang.
Kita sebagai orang-orang Kristen tidak perlu takut dan menutup diri, tetapi kita dapat bijaksana menggunakan dan menguji teknologi-teknologi yang ada sembari memohon hikmat dari Allah. Kita juga bisa ikut terlibat dalam diskusi-diskusi yang lebih luas seputar kemajuan zaman supaya kita memiliki lebih banyak wawasan tentang apa artinya menjadi manusia di tengah zaman yang terus berubah sembari berpegang pada hikmat dan sumber kasih sejati, yang tak pernah berubah sepanjang segala abad, yakni Tuhan kita, Yesus Kristus (Ibrani 13:8).
Dan yang tak kalah penting ialah kita perlu lebih berani bersuara tentang kebenaran-kebenaran firman Tuhan. Kemajuan teknologi membuat segala paham dan pengajaran dengan mudah ditemukan dan diserap oleh orang banyak. Namun, ini bukan berarti kita secara serampangan menyulut debat-debat destruktif dan antipati terhadap mereka yang berbeda pendapat.
Pemikiran-pemikiran kita, kontribusi-kontribusi kita, dan doa-doa kita adalah andil kita untuk membawa dan menghadirkan shalom bagi dunia
Saksikan Juga:
Iman dan Kecerdasan
Pernahkah iman Anda bertentangan dengan akal budi Anda? Terkadang kita tidak dapat memahami iman dengan pemikiran duniawi kita. Namun, sesungguhnya iman dan akal budi atau kecerdasan bekerja sama. Saksikan video ini untuk belajar tentang kedua hal tersebut lewat kisah Daud dan Goliat.
Pelayanan Our Daily Bread Ministries di Indonesia didukung terutama oleh persembahan kasih dari para pembaca, baik individu maupun gereja di Indonesia sendiri, yang memampukan kami untuk terus membawa hikmat Alkitab yang mengubahkan hidup kepada banyak orang di dalam negeri.