Oleh Aryanto Wijaya
Ketika sedang naik pesawat dari Jakarta, perjalanan yang semula hening berubah riuh. Seorang balita yang duduk di sebelah kanan saya menangis hampir sepanjang durasi penerbangan. Semakin lama semakin keras dan tidak berhenti sampai pintu pesawat dibuka di bandara tujuan.
Meskipun agak terganggu, saya memaklumi kejadian itu. Namanya juga balita. Saya justru tertarik untuk mengamati lebih lanjut. Ketika para penumpang lain mulai resah, ayahnya dengan tenang menepuk-nepuk punggung anaknya. Pramugari mencoba membantu dengan memberi jus apel, tapi anak itu tak mau. Dalam tangis kerasnya, dia berulang kali mengucapkan satu kata yang sama kepada bapaknya: “takut”. Sampai pesawat berhenti dan pintu dihubungkan dengan garbarata, kata ‘takut’ itu terus terucap.
Saya melihat wajah-wajah kesal penumpang lain dan sedikit mendengar pembicaraan mereka mengomentari kejadian tadi. Ada yang bilang orang tuanya kurang tanggap, anaknya terlalu rewel, dan sebagainya. Di bandara tujuan, sambil menunggu penerbangan selanjutnya, saya membuka buku jurnal dan menuliskan apa yang barusan terjadi. Satu kata terus terngiang di benak saya, kata sederhana yang berulang kali diucapkan si balita tadi: takut.
Mempercayai Perasaan
Bila kita pernah menyelidiki sekelumit tentang ilmu psikologi ada sebuah konsep menarik bernama The Atlas of Emotions—peta yang menggambarkan betapa luasnya spektrum perasaan manusia. Perasaan pada dasarnya adalah respons alami terhadap apa yang kita alami. Ia valid, layak diakui, dan memang bagian dari kemanusiaan kita. Namun, perasaan jarang berdiri sendiri. Selalu ada hal-hal lain yang menyertainya: pikiran, pengalaman masa lalu, imajinasi, kekhawatiran. Karena itu, perasaan yang muncul tidak selalu menggambarkan kenyataan dengan utuh.
Balita yang menangis di pesawat tadi mungkin merasa takut karena itu kali pertamanya terbang: telinga yang berdengung, suara mesin yang bising, aroma kabin yang asing, dan begitu banyak orang tak dikenal di sekitarnya. Wajar kalau ia merasa takut. Perasaannya sungguh valid. Tapi, apakah ketakutannya menggambarkan realitas sepenuhnya? Tidak juga. Pesawat yang ia naiki baik-baik saja, terbang stabil, dan akhirnya mendarat dengan selamat. Orang-orang di sekitarnya tidak berniat menyakitinya. Ia pun berada dalam pelukan ayahnya yang setia menenangkan, menepuk punggungnya lembut.
Namun, karena ia masih balita, ia belum mampu memisahkan antara rasa takut yang muncul di hati dan kenyataan yang sebenarnya aman. Baginya, perasaan itu adalah kebenaran mutlak. Ia percaya penuh pada apa yang dirasakannya meskipun kenyataannya tidaklah demikian.
Saya merasa tangisan balita itu adalah cara Tuhan mengajar saya dengan lembut tentang bagaimana seharusnya saya mengelola ketakutan. Beberapa hari terakhir ini, pikiran saya dipenuhi banyak kecemasan: tentang masa depan yang belum jelas, pasangan hidup, kesehatan orang tua, dan hal-hal lain yang sulit saya kendalikan. Ketakutan itu nyata, valid. Masa depan memang masih tersembunyi di balik kabut waktu. Tak ada kepastian yang bisa saya genggam sejak sekarang.
Namun, persis seperti si balita tadi, saya lupa satu hal penting: sebenarnya saya ini ada dalam pelukan Bapa Surgawi. Saya dikelilingi oleh tangan-Nya yang kuat dan penuh kasih, tangan yang menopang dan menuntun. Saya aman, meski hati saya sering berkata sebaliknya.
Ketika Fokus Bergeser
Diombang-ambingkan oleh perasaan ternyata bukan hanya pengalaman saya saja. Petrus—murid Yesus yang dikenal berani, yang bahkan berkata rela mati bagi Gurunya—pernah gentar juga.
Suatu malam di danau Galilea, ketika Yesus berjalan di atas air, Petrus meminta izin untuk datang kepada-Nya. Yesus mempersilakan, dan Petrus pun melangkah keluar dari perahu. Untuk beberapa saat, ia berhasil berjalan di atas air.
Tetapi ketika dirasanya tiupan angin yang kencang, fokus Petrus terpecah. Ia mulai melihat besarnya badai, bukan lagi sosok Yesus di hadapannya. Alkitab mencatat: “Tetapi ketika dirasanya tiupan angin, takutlah ia dan mulai tenggelam lalu berteriak: ‘Tuhan, tolonglah aku!’” (Matius 14:30). Perasaan takut yang muncul di hatinya mengalahkan imannya, dan seketika itu juga ia mulai tenggelam.
Ketakutan Petrus membuat jarak air yang membentang di antara dia dan Yesus seolah tak terseberangi. Padahal kenyataannya, Yesus tetap ada di sana. Ia berdiri di atas air, memegang kendali penuh atas angin dan ombak. Tetapi karena fokus Petrus berpindah dari Yesus ke tiupan angin, ketakutan itu menjadi kebenaran versinya sendiri. Bukan kenyataan sejati yang ia percayai, melainkan perasaan yang menyesatkannya.
Melihat Petrus mulai tenggelam, Alkitab mencatat: “Segera Yesus mengulurkan tangan-Nya, memegang dia dan berkata: ‘Hai orang yang kurang percaya, mengapa engkau bimbang?’ Lalu mereka naik ke perahu dan angin pun redalah” (Matius 14:31-32).
Betapa menghiburkan respons Yesus ini. Dia tidak membiarkan Petrus karam dalam kegelisahan dan ketakutan. Segera tangan-Nya terulur, memegang erat, menyelamatkan. Bahkan dalam kelemahan iman Petrus, kasih dan kuasa Yesus tetap bekerja memulihkan.
Kisah Petrus adalah cermin dari hidup kita juga. Dalam keseharian, tanpa sadar kita sering diliputi kekhawatiran tentang hari esok. Melihat berita di layar ponsel tentang krisis, bencana, gejolak dunia, atau akan masalah pribadi kita sendiri, hati kita mudah gentar. Ada dorongan kuat untuk segera menyelamatkan diri, mengatur segalanya menurut cara kita sendiri, seolah-olah hidup ini tergantung penuh pada usaha kita.
Padahal, firman Allah memberi jaminan yang pasti: kita ada dalam genggaman-Nya, disertai oleh-Nya sampai kepada akhir zaman. Yesus sendiri berkata, “Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman” (Matius 28:20). Tak ada satu musim pun dalam hidup ini yang dilewati di luar pemeliharaan-Nya. Sekalipun iman kita goyah, tangan-Nya tak pernah melepaskan kita.
Mengelola Rasa Takut
Psikologi modern memberi kita pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana mengelola emosi. Perasaan kita memang perlu divalidasi. Kita boleh mengaku takut, cemas, kecewa karena itu bagian dari keunikan kita sebagai manusia. Tapi, validasi bukan berarti kita harus menuruti semua rasa itu. Emosi yang diakui tetap perlu diolah, bukan diikuti secara impulsif.
Anak kecil tadi butuh mendengar suara ayahnya yang menenangkan: “Kamu aman, Nak. Papa di sini.” Begitu pun kita perlu mendengar suara Bapa lewat firman-Nya.
Bapa selalu berkata, “Jangan takut, sebab Aku menyertai engkau…” (Yesaya 41:10). Bayangkan jika balita itu mampu mengerti bahwa ia sebenarnya aman dalam dekapan ayahnya. Mungkin perjalanannya akan terasa berbeda. Ia bisa menikmati manisnya jus apel, melihat gugusan awan dari balik jendela, bahkan ikut bertepuk tangan saat roda pesawat menyentuh landasan.
Mungkin hari-hari ini saya dan Anda pun masih menyimpan takut. Tapi, mari kita akui saja itu di hadapan Bapa. Dan, biarkan hati kita percaya kepada firman-Nya yang kekal bahwa kita adalah anak-anak-Nya (Roma 8:16), selalu aman, selalu cukup dalam penyertaan-Nya (Ibrani 13:5b).
Kiranya kita dapat menikmati hari-hari hidup ini sebagai perjalanan yang hangat dan manis. Bukan karena badai dan kelam tak pernah ada, melainkan karena kita tahu: Allah beserta kita, selalu.
Saksikan Juga:
Kesepian di Usia Muda: Alone vs Lonely
Kesepian bisa hadir di hidup siapa saja, tanpa mengenal usia, jenis kelamin, status sosial, bahkan keimanan seseorang. Riset BBC menunjukkan dalam surveynya bahwa 40% responden yang berada di kelompok usia 16-24 tahun mengakui diri kesepian.
Ketika kita bergumul dengan perasaan kesepian, apa yang harus kita lakukan? Adakah solusi ampuh untuk menang dari perasaan ini? Mari jelajahi lebih lanjut topik tentang Kesepian di Usia Muda: Alone vs Lonely, bersama Septiana Iskandar dari Lifespring Counseling & Care Center!
Pelayanan Our Daily Bread Ministries di Indonesia didukung terutama oleh persembahan kasih dari para pembaca, baik individu maupun gereja di Indonesia sendiri, yang memampukan kami untuk terus membawa hikmat Alkitab yang mengubahkan hidup kepada banyak orang di dalam negeri.