Oleh : Marlia Kusuma Dewi
Pagi itu terasa tak tertahankan bagi Abe, embun pagi yang biasanya menyegarkan jiwa seakan dengan sengaja ingin membekukan kulit. Gelapnya dini hari bukan lagi saat-saat tenang baginya, tetapi suatu bayang kegelapan yang menyesakkan dada. Dari mana datangnya debaran jantung segegap ini? “Anak yang kukasihi, yang untuknya aku rela mati, kenapa . . . kenapa harus ia yang musti kuserahkan?” jeritnya dalam hati.
Tega? . . . bukan . . . bukan kata itu yang layak disematkan untuknya. Abe tahu kalau diminta untuk tega, ia pasti tidak akan tega. Nekad? . . . jika kata ini lebih tepat, tetapi kenapa hatinya begitu membara akan cinta kepada Sang Khalik sampai ia harus menyerahkan anak satu-satunya atas permintaan-Nya.
“Duh!! Hati ini tak sanggup, “tangannya begitu gemetar sambil memunguti kayu-kayu dan mengikatnya erat-erat. Pisau . . . ya . . . semua harus dilakukan dengan cepat . . . jangan sampai anakku merasa kesakitan terlalu lama. Hatinya semakin tercabik-cabik seraya memilih pisau terbaiknya. Apalagi api . . . ya . . . dengan gundah ia meraih benda apa pun yang dirasanya bakal bisa menciptakan api. Semua sudah siap, kecuali hatinya sendiri.
“Is . . . anakku . . . ayo kita pergi ke bukit dan memberikan korban untuk Allah yang kita sembah.” Is . . . anak terkasihnya membuka mata . . . betapa indah mata itu . . . ingin sekali ia bisa menatap mata itu seribu tahun lagi . . . ingin rasanya ia berlama-lama menikmati tangan hangat Is yang keluar dari balik selimutnya. “Tuhan, haruskah dia? Haruskah Is anakku terkasih yang sedang Kau minta? Adakah sesuatu yang lain selain anak terkasihku ini?” ratapnya dalam diam.
***
Sahabat ODB, cuplikan narasi dramatis di atas adalah penggambaran yang mengarahkan kita pada sejarah yang ditulis dalam Kejadian 22:1-18. Abe mengarah pada Abraham dan Is mengarah pada Ishak. Dua tokoh penting dalam perjalanan iman yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Mungkin kita pernah bertanya-tanya, mengapa Abraham rela menyerahkan anak tunggalnya kepada Allah, Sang Pemberi anak itu sendiri? Mengapa Abraham tidak berusaha berargumen? Bukankah katanya Allah akan membuatnya memiliki keturunan yang memenuhi bumi? Namun, mengapa satu-satunya anaknya harus dipersembahkan sebagai korban? Justru Ishaklah satu-satunya cara dan sosok paling logis bagi Abraham untuk melanjutkan keturunannya.
Kendati Alkitab tidak menuliskan detail bagaimana gulatan perasaan Abraham, tetapi kita bisa menerka bahwa dua hari perjalanan dari tempat tinggalnya ke salah satu gunung di tanah Moria yang ditunjuk Tuhan adalah waktu yang cukup lama untuk Abraham bisa membuat pertimbangan-pertimbangan “masuk akal”. Bisa saja ia memakainya untuk berdiskusi dengan Ishak guna mencari jalan keluar yang terbaik bagi Allah (jika memang perintah ini bermasalah) dan manusia (karena keberatan-keberatan hati nurani). Kemudian mereka bisa mengambil keputusan “bijak” untuk berputar balik menjauhi gunung Moria dan berlari ke pelukan Sara. Namun, lagi-lagi kita menemukan fakta mengejutkan bahwa baik Abraham maupun Ishak, keduanya bersepakat untuk teguh melakukan perintah Allah, tidak menyimpang ke kiri dan ke kanan.
Ketaatan Abraham dibarengi dengan keyakinan imannya yang teguh pada Allah. Hal ini tersirat dari dua pernyataannya:
- Tuhan akan menyediakan
“Allah yang akan menyediakan anak domba untuk korban bakaran bagi-Nya, anakku.” (Kej. 22:8)Jawaban Abraham ini sarat dengan keteguhan iman bahwa Tuhan sanggup menyediakan. Bahkan Abraham secara spesifik menyebutkan “anak domba”. Dia yakin Allah sanggup melakukan segala sesuatu, bahkan yang mustahil sekalipun. Pengenalan Abraham akan karakter Allah membuatnya yakin bahwa Allah tidak akan melakukan suatu tindakan yang melawan diri-Nya sendiri. Abraham tahu Allah pasti akan menggenapi janji-Nya bahwa keturunannya akan menjadi seperti bintang di langit banyaknya. Abraham belum bisa melihat keajaiban yang akan Tuhan buat nantinya, tetapi ia mempercayai hati Allah yang tidak pernah berbuat jahat padanya.
- Tunggulah di sini sampai kami kembali kepadamu
Kata Abraham kepada kedua bujangnya itu: “Tinggallah kamu di sini dengan keledai ini; aku beserta anak ini akan pergi ke sana; kami akan sembahyang, sesudah itu kami kembali kepadamu.” (Kej. 22:5)Lagi-lagi Abraham mengutarakan keteguhan imannya. Kalau yang tadi kepada Ishak, yang ini kepada dua orang bujangnya. Abraham memastikan kepada mereka bahwa ia pasti akan kembali bersama Ishak. Tentunya hal ini menentramkan hati kedua bujang itu, karena sama seperti Ishak, mungkin mereka juga bertanya-tanya dalam hati, “Di mana domba persembahannya, mungkinkah Abraham lupa?”
Jadi, apakah yang disingkapkan melalui peristiwa di gunung Moria itu? Banyak orang meyakini bahwa tanah Moria tersebut merupakan lokasi Bait Suci di Yerusalem dibangun ribuan tahun kemudian, dengan Yesus disalibkan di luar tembok kota Yerusalem (2 Taw. 3; Ibr. 13:11-12). Perintah Allah kepada Abraham untuk mengorbankan Ishak seolah merupakan cerminan akan rencana agung Allah dalam menyelamatkan manusia berdosa melalui Yesus Kristus. Bapa Surgawi sendiri melakukan apa yang dimintanya dari Abraham (Yoh. 3:16; Rm. 3:24-25; 8:32).
Bedanya adalah Ishak digantikan dengan anak domba untuk persembahan. Namun Yesus, Anak Domba Allah tak tergantikan oleh apa pun bahkan oleh siapa pun. Karena tak ada apa pun bahkan seorang pun yang begitu, suci, tak bercacat, tak bernoda, yang memenuhi syarat untuk menjadi persembahan korban penebusan dosa.
Yesus rela menanggung penderitaan terdalam yang pernah dialami manusia. Dia juga menanggung bantahan yang begitu hebat terhadap diri-Nya dari orang-orang yang sebelumnya menyanjung Dia, “Hosana, diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan,” tetapi yang kemudian berteriak-teriak beringas, “Salibkan Dia, salibkan Dia!” (lih. Yoh. 12:13; Luk. 23:21).
Yesus disangkali bukan hanya oleh Petrus, murid-Nya, tetapi juga oleh orang-orang yang pernah diberi-Nya makan saat mereka lapar. Yesus dikhianati bukan hanya oleh Yudas, murid kepercayaan-Nya, tetapi juga oleh orang-orang yang melihat sendiri mukjizat-mukjizat yang dilakukan-Nya, oleh mereka yang mengerti Kitab Suci dan menantikan Mesias, yang sebenarnya sudah datang di hadapan mereka. Maka dalam kesedihan akan semua bentuk penyangkalan, pengkhianatan dan derita yang ditanggung-Nya, Yesus berseru, “Ya Bapa, ampunilah mereka karena mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Luk. 23:34).
Saya dan Anda termasuk dalam golongan orang-orang yang “tidak tahu apa yang kita perbuat”, terus-menerus jatuh bangun dalam mengekang dosa yang kerap menyeruak membabi buta dalam hidup kita. Mungkin kita pernah merasa begitu lelah berusaha untuk hidup benar di tengah banyaknya pemikiran-pemikiran pembenaran diri untuk hal-hal yang jelas-jelas salah. Kita mencoba menutupi kejahatan dengan mengutip dalil-dalil Alkitab demi mengurangi bisikan hati nurani yang kerap dipakai Roh Kudus untuk mengingatkan kita.
Kita ikut andil dalam penyaliban Kristus. Namun, meski kejadian penyaliban itu telah berlangsung ribuan tahun lalu, tetapi dampak penyaliban itu terus terjadi selama bumi masih ada, selama masih ada manusia yang hidup, sebelum Yesus datang kedua kali. Dialah korban sempurna yang telah menggantikan hukuman kita atas dosa, meskipun sebenarnya kita lebih layak dihukum. Berbahagialah kita semua yang telah mengalami penebusan Kristus.
Terpujilah Tuhan kita, Yesus Kristus!