Oleh Pdt. Bungaran Gultom
“Ya ampun, cuma segitu doang itungan amat sih?!”
Ekspresi di atas mungkin muncul di benak, atau bahkan terucap saat kita mengomentari seseorang yang menurut kita ‘pelit’. Namun, apa sih sebenarnya ‘pelit’ itu? Apakah murni sebagai seorang yang enggan memberi uang? Atau, adakah sesuatu yang menarik yang bisa kita kulik dari terminologi ini?
KBBI mengartikan “pelit” sebagai kikir, orang yang enggan memberi sedekah, atau orang yang terlampau hemat (kata benda). Pemaknaan ini menunjukkan bahwa pelit merupakan sifat buruk. Alkitab juga banyak memberi nasihat agar kita tidak memelihara sifat kikir. Contohnya, Paulus menulis bahwa orang kikir tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah (1 Korintus 6:10), karena dalam pengertian dari akar kata bahasa Yunani, yang dimaksud dengan kikir adalah memegang (menginginkan) lebih banyak, yaitu bersemangat untuk mendapatkan sesuatu yang lebih dan lebih lagi. Di sini nyata ada kecenderungan menjadi rakus, tamak, juga Amsal 11:25, “siapa banyak memberi berkat, diberi kelimpahan…” Sehingga, jelaslah bagi kita bahwa pelit dan kikir bukanlah sifat yang berkenan bagi Allah.
Namun, mari kita coba telaah lebih dalam. Lawan dari kikir dan pelit adalah kemurahan hati. Tetapi, apakah dengan menjadi Kristen seseorang otomatis menjadi murah hati seperti Tuhan Yesus? Tentu tidak. Kemurahan hati adalah sifat baik yang perlu kita latih dan upayakan dengan meneladani Kristus. Jika kita gagal melakukannya, di sinilah terjadi kontradiksi. Iman Kristen dan kemurahan hati layaknya dua sisi koin yang tak terpisahkan. Izinkan saya menjelaskan bagian ini dengan lebih detail.
Alkitab dengan lugas menjelaskan kepada kita bahwa inti iman Kristen adalah kasih karunia Allah yang lahir dari kemurahan Allah. Ada dua istilah yang kerap disebut, khususnya dalam tulisan Paulus yakni: kasih karunia dan rahmat Allah (Efesus 2:8; Ibr 4:16); Kasih karunia berarti kita menerima apa yang seharusnya tidak layak kita terima, sedangkan rahmat berarti kita diluputkan dari sesuatu yang seharusnya kita terima. Itulah inti kasih karunia dan rahmat. Keselamatan yang diterima orang percaya adalah kombinasi dari keduanya. Kita adalah orang berdosa yang tidak layak menerima keselamatan oleh karena dosa kita tetapi oleh rahmat-Nya diluputkan dari murka Allah yang semestinya memenjarakan kita dalam hukuman kekal yang takkan pernah rampung.
Ajaibnya, alih-alih menerima hukuman yang menakutkan, kita semua yang adalah para pendosa malah diganjar anugerah keselamatan. Anugerah ini tak cuma bicara soal hidup kekal di surga kelak, tetapi juga bicara soal keadaan kita masa kini. Dalam anugerah-Nya, Allah menghendaki umat-Nya hidup dalam damai sejahtera (Yeremia 29:11), dan juga berbahagia (Yes 30:18; Ams 20:21). Namun, damai dan bahagia yang Dia maksud tidaklah serupa dengan apa yang dunia ini konsepkan. Damai sejahtera dan kebahagiaan versi Allah bukan bicara soal ketiadaan derita, tetapi dalam derita sekalipun, Dia hadir… dan kehadiran-Nya itulah yang memampukan seseorang berbahagia dan damai seperti yang pemazmur katakan, “Inilah penghiburanku dalam sengsaraku, bahwa janji-Mu menghidupkan aku” (Mazmur 119:50).
Janji-janji Allah berbicara juga soal kemurahan hati-Nya. Namun, seringkali kita terbiasa mengasosiasikan kemurahan hati dengan materi atau uang. Ini tidaklah salah—sebab memberi materi memang salah satu wujud kemurahan hati—tetapi tidak lengkap. Kemurahan hati yang sempurna telah diperlihatkan oleh Kristus yang menyerahkan diri-Nya untuk kepentingan manusia. Penyerahan diri untuk kepentingan orang lain itulah yang kemudian membuat kemurahan hati menjadi sebuah peristiwa Ilahi, walaupun tindakan kemurahan hati kita tampaknya kecil dan sederhana. Senyum yang tulus, kalimat yang menguatkan, doa yang dinaikkan untuk orang lain adalah contoh sederhana wujud kemurahan Allah dalam diri orang percaya. Walaupun tentu saja dalam hal-hal tertentu kemurahan hati dalam bentuk persembahan uang sangat diperlukan.
Teladan sebuah jemaat miskin
Dari sekian banyak kebajikan yang tertulis tentang buah Roh Kudus dalam Galatia 5:22-23, kemurahan layaknya buah yang memberi kesegaran bagi siapapun, apalagi jika tindakan kemurahan tersebut lahir dari situasi hidup yang sebenarnya tidak terlalu mendukung.
Dalam 2 Korintus 8:1-24 Paulus terang-terangan memuji jemaat Makedonia karena mereka mendesak untuk terlibat memberikan persembahan kasih kepada jemaat di Yerusalem. Di ayat 2, kita membaca, “Selagi dicobai dengan berat dalam pelbagai penderitaan, sukacita mereka meluap dan meskipun mereka sangat miskin, namun mereka kaya dalam kemurahan.” Jemaat Makedonia digambarkan Paulus dengan dua kata “penderitaan” dan “miskin”. Mereka adalah jemaat yang mengalami tekanan luar biasa karena imannya kepada Kristus. Tetapi, di tengah keterbatasan yang seharusnya membuat mereka menutup diri, mereka malah menunjukkan kemurahan hati. Alasan mereka adalah: mengambil bagian dalam persembahan berupa uang kepada orang-orang kudus merupakan kasih karunia!
Berapa banyak di antara kita yang berpikir bahwa salah satu wujud dari kasih karunia adalah memberi? Bukankah sebagian besar dari kita justru berpikir bahwa kasih karunia itu adalah soal menerima, berarti aku menerima sesuatu? Pemikiran jemaat Makedonia yang begitu dewasa dalam pelayanan kasih ini menggugah kita bertanya: apa kunci yang menggerakkan jemaat di Makedonia begitu murah hati di tengah keterbatasan mereka?
Ikhlas
Ikhlas dalam KBBI berarti bersih hati, tulus. Kita melakukan sesuatu atau memberikan sesuatu tanpa keterpaksaan, tetapi dengan kerelaan. Itu bagian penting dari ketulusan. Tapi, dalam pemikiran Paulus, ketulusan sejatinya lahir dari pengenalan akan kasih karunia Tuhan kita Yesus Kristus yang oleh karena kita menjadi miskin sekalipun Dia kaya, supaya kita kaya oleh karena kemiskinan-Nya (2 Kor 8:9). Jika memandang penderitaan salib dan tragedi kematian-Nya yang memilukan, adakah lagi sosok yang lebih miskin daripada Kristus? Kenapa Dia bersedia menanggalkan semua kekayaan-Nya sebagai Anak Allah dan dengan ikhlas memiskinkan diri-Nya sendiri? Sulit untuk memahami jalan pikiran Allah yang teramat agung ini, meskipun dalam Alkitab kita tahu jawabannya: kasih. Ikhlas adalah ekspresi kasih dan kasih adalah wujud iman yang paling tinggi. Beriman kepada Kristus tanpa memberi dengan tulus, sulit untuk disebut perwujudan kasih karena iman.
Kita di masa kini hidup di zaman yang jauh berbeda dari keadaan jemaat Makedonia. Dunia kita secara de facto lebih makmur dari abad-abad yang lampau, kendati kemakmuran itu masih timpang dan tak dapat dinikmati oleh semua lapisan sosial. Dalam waktu-waktu dekat ini kita menyaksikan sendiri bagaimana keadaan dunia bergejolak: pandemi dan perang yang mendorong terjadinya inflasi yang dikhawatirkan menyulut juga krisis ekonomi. Sejumlah pengamat memprediksi akan banyak muncul kemiskinan ekstrim di berbagai belahan dunia bahkan di negara-negara yang selama ini dianggap memiliki fundamen ekonomi yang kuat.
Khawatirkah kita? Sangat mungkin untuk khawatir.
Namun, mari bayangkan sebuah keadaan ketika semua orang percaya membiasakan diri untuk membangun budaya memberi dengan ikhlas. Dimulai dari lingkungan terdekat yang barangkali selama ini luput dari perhatian. Tidak harus selalu dalam sebuah gerakan yang sifatnya besar atau dalam lingkup organisasional. Kita bisa memulainya dari diri sendiri. Mungkin ini terkesan klise dan berdampak kecil, tetapi ingatlah bahwa nominal satu juta pun terdiri dari nominal-nominal kecil yang dikumpulkan hingga besar.
Kita bisa mulai bermurah hati dengan berdoa: “Tuhan, tunjukkanlah bagiku siapa orang yang Engkau ingin untuk aku berjumpa dan menolongnya. Tuntunlah aku juga agar ketika aku menolongnya, aku melakukannya dalam cara yang berkenan bagi-Mu dan memberikan manfaat bagi dirinya.”
Entah itu nanti berupa kita menyalurkan donasi melalui lembaga-lembaga Kristen, mengantar makanan kepada seorang teman yang sedang lemah tubuhnya, mengajak bicara dan menemani kawan lama yang tengah kesepian akibat kehilangan, semua tindakan kecil ini kendati tidak mengubah dunia secara universal pastilah mengubah dunia seseorang menjadi lebih hangat.
Bunda Teresa pernah berkata demikian: “Tidak semua orang dapat melakukan tindakan-tindakan besar, tetapi semua orang dapat melakukan tindakan kecil dengan kasih yang besar.”
Tampak jelaslah di sini bahwa yang paling utama dari segala tindakan dan motivasi kita adalah: kasih.
Kiranya kasih Tuhan Yesus dan pertolongan Roh Kudus menggerakkan kita untuk bermurah hati, hari ini, esok, dan seterusnya sampai Tuhan menyatakan tugas dan pelayanan kita di dunia telah paripurna.
Baca Juga:
Uang: Mengapa Rasanya Tak Pernah Cukup?
Ada berbagai cara pandang berbeda tentang uang dan kaitannya dengan hidup manusia. Namun, di balik semua itu, isu yang paling dalam sebenarnya bukan soal uang itu sendiri, melainkan kehausan jiwa manusia. Buklet ini mengupas akar masalah di balik uang sekaligus solusinya.
Pelayanan Our Daily Bread Ministries di Indonesia didukung terutama oleh persembahan kasih dari para pembaca, baik individu maupun gereja di Indonesia sendiri, yang memampukan kami untuk terus membawa hikmat Alkitab yang mengubahkan hidup kepada banyak orang di dalam negeri.