Aryanto Wijaya
Pernahkah Anda membayangkan jika Tuhan mengaruniakan Anda hidup dengan usia lebih dari tujuh dekade?
Mungkin yang terlintas di benak Anda ialah melewatkan hari di rumah yang tenang bersama pasangan atau hewan peliharaan, lalu kunjungan anak dan cucu kala liburan sekolah yang menambah kehangatan usia senjakala. Meskipun usia senja berarti menurunnya fungsi-fungsi tubuh, tetapi semakin menua usia seseorang diidentikkan pula dengan tumbuhnya kebijaksanaan.
Lahir, eksis, dan bertumbuh layaknya siklus kehidupan seorang manusia juga merupakan salah satu sifat dari suatu entitas bernama negara. Platon, seorang filsuf Yunani Kuno, menyatakan bahwa negara ibarat suatu tubuh yang berevolusi. Negara modern lahir dari proses perjuangan dan kesepakatan, dan pada bulan Agustus ini kita dengan ucapan syukur memperingati Hari Jadi ke-77 tahun negara kita, Indonesia.
Dari krisis ke krisis
Momen ketika Indonesia secara resmi berdiri dan berdaulat tidaklah terjadi pada keadaan yang adem ayem. Berkali-kali, negeri ini mengalami perubahan kekuasaan yang turut disertai konflik-konflik berdarah. Setelah sejarah kerajaan yang panjang, kita mengalami periode kolonialisme yang diakhiri dengan kekalahan Jepang pada Perang Dunia II. Periode ini dimanfaatkan para founding fathers untuk memproklamasikan sebuah republik baru ke kancah dunia yang diberi nama Indonesia, sebuah negeri yang dibangun atas dasar kesepakatan untuk hidup bersama di tengah perbedaan.
Tentu akan jadi sebuah artikel yang panjang jika kita menyebutkan satu per satu konflik dan krisis yang pernah menghantam negeri ini. Tujuh dekade setelah 1945, kita pun masih dihadapkan dengan berbagai krisis. Kita menghadapi pandemi mematikan dua tahun terakhir, dan diperburuk dengan konflik geopolitik yang mengakibatkan inflasi. Ini belum lagi ditambah masalah-masalah domestik seperti intoleransi, korupsi, pelanggaran HAM, hingga isu lingkungan hidup yang masih menjadi benang pelik untuk diurai.
Dalam lensa Kristen, krisis bukanlah sesuatu yang harus kita nihilkan kehadirannya, sebab krisis memang adalah bagian dari hidup. Tetapi, iman Kristen memanggil kita untuk “bangkit, menjadi teranglah, sebab terangmu datang, dan kemuliaan TUHAN terbit atasmu” (Yesaya 60:1).
Ayat ini ditulis sebagai panggilan Allah kepada umat-Nya yang saat itu hidup dalam pembuangan. Mereka dipanggil untuk bangkit kembali sebab Tuhan meletakkan visi akan masa depan Yerusalem yang akan dipenuhi kemakmuran, terang, dan kejayaan. Hidup di pembuangan menjadikan bangsa Israel tidak merdeka. Mereka diperlakukan sebagai warga kelas dua yang tak dapat menikmati kebebasan. Namun, Allah tidak menghendaki umat-Nya terus berada dalam keterpurukan sehingga melalui perantaraan para nabi, Allah terus memanggil umat-Nya untuk hidup benar agar berkat-Nya dapat terus mereka nikmati.
Pertanyaannya bagi kita di masa kini: Apakah seruan itu juga menjadi panggilan bagi kita? Bagaimana kita harus bangkit?
Konteks kehidupan kita di masa sekarang tentulah jauh berbeda dari keadaan zaman Israel kuno. Tetapi, Allah yang dahulu menyertai Israel adalah Allah yang juga menyertai kita sampai kepada hari ini. Melalui kelahiran, kematian, dan kebangkitan Yesus Kristus kita diingatkan kembali bahwa penggenapan keselamatan telah dinyatakan dan kita telah dijadikan warga Kerajaan Allah. Namun, ini tidak berarti kita mengabaikan kehidupan sosial kita di dunia. Ke dalam dunia yang penuh penderitaan inilah kita diutus untuk membawa terang (Matius 28:19) dan hidup taat sebagai warga negara (Matius 22:21; Yeremia 29:7).
Bangkit menjadi terang dimulai pertama kali dengan menyadari bahwa pertolongan kita setiap waktu ada pada Tuhan, dan kita adalah warga kerajaan-Nya yang dipanggil untuk hidup kudus dan memberi dampak bagi dunia. Pemahaman ini akan menolong kita untuk mencintai negara dimulai dari aspek yang paling sederhana. Dengan pertolongan Roh Kudus, ketika kita berjuang untuk hidup saleh, kita akan menunjukkan teladan bagi dunia di sekitar kita. Hidup saleh tak hanya berkutat pada aspek personal seperti rajin berdoa dan tekun membaca Alkitab, tetapi mewujud pula dalam aktivitas sosial kita seperti belajar disiplin saat berlalu lintas, menolak tindakan suap, peduli akan isu lingkungan hidup, juga memperjuangkan dan menolong mereka yang lemah.
Semua tindakan ini mungkin terlihat kecil dampaknya, tetapi bayangkanlah jika sepuluh persen populasi orang Kristen di negeri ini hidup dengan sungguh-sungguh. Ibarat garam yang cuma sejumput mampu menjadikan nikmat seisi panci, demikian jugalah dengan orang Kristen apabila mereka sungguh menghidupi panggilannya sebagai garam dunia.
Kita tak tahu krisis apa yang kelak menghantam, pun kita tak tahu bagaimana keadaan negeri kita di tahun-tahun mendatang. Tetapi yang selalu kita tahu: kita dipanggil untuk menjadi berkat bagi negeri kita.
Kiranya catatan kecil ini menolong kita untuk memaknai hari peringatan kemerdekaan Indonesia sebagai momen untuk hidup benar dan kudus bagi Allah dan bagi sesama anak bangsa.
Selamat ulang tahun ke-77, Republik Indonesia!
PULIH LEBIH CEPAT, BANGKIT LEBIH KUAT!
Pelayanan Our Daily Bread Ministries di Indonesia didukung terutama oleh persembahan kasih dari para pembaca, baik individu maupun gereja di Indonesia sendiri, yang memampukan kami untuk terus membawa hikmat Alkitab yang mengubahkan hidup kepada banyak orang di dalam negeri.