Oleh Dhimas Anugrah

Beberapa waktu lalu, saya menghadiri pemberkatan pernikahan seorang kawan wanita di sebuah gereja. Matanya berkaca-kaca. Ia berdiri di samping altar, mengucap janji setia kepada pria yang selama ini ia doakan dengan setia. Di dekat saya, sahabatnya yang lain ikut menitikkan air mata. Bukan karena iri atau duka, tetapi karena sukacita.

Kami para sahabat mengenal persis perjalanan sang pengantin hingga bisa sampai pada titik ini. Ia mengalami luka dari cinta yang pernah gagal sebelumnya, harapan yang hampir pupus, dan doa yang terus ia panjatkan dalam malam yang terasa panjang. Maka, ketika hari pernikahannya tiba, bukan hanya ia yang bersyukur dan bahagia, tetapi para sahabatnya juga.

Pengalaman ini kemudian membawa saya pada suatu perenungan: sukacita bisa hadir bukan karena kita yang memilikinya, tetapi karena kita belajar bersukacita bersama orang lain yang bersukacita. Bahasa Jerman punya istilah khusus untuk menjelaskan perasaan ini: freudenfreude, yang secara literal berarti “kegembiraan atas kebahagiaan orang lain.” Jenis bahagia ini lahir bukan dari kepentingan, bukan pula dari perasaan yang dibuat-buat, melainkan murni dari cinta dan empati yang dalam.

Jika kita lihat dunia tempat kita tinggal, rasanya konsep freudenfreude terdengar asing, atau bahkan mustahil. Kita lebih sering menjadikan hidup seperti persaingan dan perlombaan tak berujung, sehingga ketika seseorang mencapai satu titik atau pencapaian tertentu, alih-alih ikut senang, kita malah jadi iri dan merasa gagal.

Namun, konsep freudenfreude sejatinya bukanlah barang baru. Iman Kristen yang kita anut dengan jelas menanamkan semangat ini. Ketika Rasul Paulus menulis, “Bersukacitalah dengan orang yang bersukacita” (Roma 12:15), ia sedang memberikan fondasi bagi hidup bersama dalam cinta kasih, bukan sekadar lip-service. Sebagai satu tubuh Kristus, sukacita satu orang percaya adalah sukacita bersama seluruh umat Tuhan. Kebahagiaan orang lain menjadi undangan untuk merayakan kasih yang bekerja di tengah kita.

Mengapa Fredenfreude Tidak Mudah

Meski kita tahu bersukacita atas keberhasilan orang lain adalah hal yang baik, tetap saja tidak mudah melakukannya. Ada sesuatu dalam diri kita yang langsung bereaksi saat melihat orang lain mendapat yang kita inginkan. Bisa jadi muncul rasa tidak cukup, pertanyaan “kenapa bukan aku?”, atau kecurigaan bahwa hidup ini sedang tidak adil. Kita pun jadi sulit membedakan antara rasa kecewa yang manusiawi dan hati yang enggan bersukacita bagi orang lain.

Banyak kajian psikologi menyebutkan bahwa orang dengan harga diri rendah atau hati yang mudah merasa terancam akan lebih sulit merasakan freudenfreude. Budaya media sosial memperparah hal ini. Setiap pencapaian orang lain bisa terasa seperti pengingat akan kegagalan diri sendiri. Namun, Alkitab menunjukkan bahwa kesulitan kita untuk bersukacita atas keberhasilan orang lain bukan sekadar kelemahan emosional, melainkan cerminan dari hati manusia yang telah jatuh ke dalam dosa (Kejadian 6:5; Roma 3:10-20).

Ketika kita tahu bahwa identitas kita diteguhkan dalam Kristus—bukan oleh prestasi atau validasi dunia—kita dibebaskan untuk mengasihi.

Dosa membuat kita terjebak dalam kecenderungan membandingkan, bersaing, dan berpusat pada diri sendiri. Kita gagal mencintai karena lupa bahwa hidup kita pun adalah anugerah. Namun, di sinilah Injil bekerja. Ketika kita tahu bahwa identitas kita diteguhkan dalam Kristus—bukan oleh prestasi atau validasi dunia—kita dibebaskan untuk mengasihi. Kita pun bisa belajar bersukacita karena kasih Allah yang lebih dulu memuaskan hati kita. Inilah freudenfreude sejati: sukacita yang mengalir dari hati yang telah disentuh kasih-Nya (Roma 12:15; Filipi 2:1-4; Galatia 5:22-23).

Freudenfreude Adalah Bukti dari Hati yang Digerakkan Kasih

Freudenfreude, kegembiraan atas kebahagiaan orang lain, pada akhirnya menyingkapkan satu pertanyaan mendalam: Untuk siapa kita hidup? Dan kepada siapa kita memberi tempat dalam sukacita kita? Jika kita percaya bahwa manusia diciptakan bukan hanya untuk diri sendiri, melainkan bagi Allah dan sesama, maka sukacita sejati seharusnya tidak berhenti pada kita saja. Sukacita itu harus mengalir keluar—melimpah, menyentuh, dan mengundang orang lain untuk ikut merayakannya.

Kita mungkin dapat belajar dari psikologi kontemporer yang mengajak kita melatih sikap ini lewat langkah-langkah sederhana. Cathy Chambliss dan timnya, misalnya, memperkenalkan dua konsep menarik: bragitude dan SHOY (Sharing Joy). Bragitude adalah ketika kita membagikan keberhasilan pribadi dengan rasa syukur, bukan untuk pamer dan sombong, tetapi sebagai ucapan terima kasih bagi orang-orang yang mendukung kita. Sedangkan SHOY adalah ketulusan untuk ikut merayakan pencapaian orang lain, bukan basa-basi, tetapi kegembiraan yang lahir dari hati yang terbuka. Keduanya membantu kita membentuk respons aktif terhadap sukacita sesama.

Namun, sukacita semacam ini bukan sekadar kebiasaan yang asal kita paksa lakukan maka sikap  hati bisa berubah. Ini soal arah hidup. Saya teringat pada Lukas 15, ketika Yesus menceritakan tiga perumpamaan yang menyorot jenis sukacita yang tidak disimpan sendiri dan ditutup-tutupi, tetapi dibagikan. Sang gembala memanggil tetangganya, “Bersukacitalah bersama aku.” Sang perempuan yang menemukan kembali dirhamnya juga memanggil orang sekitarnya. Dan, sang ayah? Ia berlari menyambut anaknya, lalu mengadakan pesta besar.

Mereka semua mempraktikkan SHOY bukan karena diajarkan teori psikologi, tetapi karena hati mereka digerakkan oleh kasih. Mereka tidak hanya bersukacita, tetapi juga ingin orang lain ikut merasakannya. Dan jika kita perhatikan, ada unsur bragitude juga di sana: bukan kesombongan, tetapi pengakuan tulus bahwa apa yang mereka terima adalah anugerah.

Jadi, Bagaimana Kita Bisa Bersukacita bagi Orang Lain?

Namun, mungkin kita bertanya-tanya: Bagaimana bisa bersukacita atas keberhasilan orang lain, kalau hati kita sendiri sedang bergumul? Mungkin ada masa-masa ketika kita sedang terpuruk, tetapi orang lain justru melesat. Di saat seperti itu, kabar baik dari orang lain bisa terasa seperti gema dari doa kita yang belum dijawab. Rasanya menyesakkan dada. Dan, kita pun menyadari bahwa bukan hanya sulit ikut bergembira, tetapi kadang juga sulit mengakui bahwa kita sedang terluka.

Injil tidak menutup-nutupi realitas ini. Justru, di sanalah Injil bekerja. Tuhan Yesus tidak menawarkan tips agar kita “merasa lebih baik,” melainkan mengundang kita untuk mengalami kelahiran baru. Bukan hanya perubahan sikap, tetapi perubahan pusat gravitasi hidup: dari ego diri sendiri, kepada Kristus, Sang Hidup itu sendiri. 

Kita dimampukan bersukacita bersama orang lain bukan karena hati kita besar, tetapi karena hati kita telah disentuh oleh kasih yang lebih besar.

Kita dimampukan bersukacita bersama orang lain bukan karena hati kita besar, tetapi karena hati kita telah disentuh oleh kasih yang lebih besar. Di momen-momen sederhana, ketika kita meneteskan air mata haru karena seorang teman akhirnya berhasil, meski kita sendiri masih menunggu, di sanalah freudenfreude menjadi kesaksian yang bermakna kuat. Itulah pujian dalam hati yang memuliakan Allah, Sang Sumber segala sukacita.


Baca Juga:

Schadenfreude: Sukacita yang Salah Alamat

Pernahkah Anda merasa puas, ketika orang yang sombong akhirnya jatuh? Atau, merasa lega saat saingan Anda gagal? Ada rasa puas yang sulit dijelaskan, saat orang lain, apalagi yang pernah menyakiti kita, mengalami kegagalan. Itulah yang disebut orang “schadenfreude.”

Schadenfreude mungkin terasa wajar. Namun, mengapa kita bisa bersukacita atas penderitaan orang lain? Apakah itu tanda keadilan … atau luka batin yang belum pulih? Lalu, apakah sukacita seperti itu sesuai dengan hati Kristus?


Pelayanan Our Daily Bread Ministries di Indonesia didukung terutama oleh persembahan kasih dari para pembaca, baik individu maupun gereja di Indonesia sendiri, yang memampukan kami untuk terus membawa hikmat Alkitab yang mengubahkan hidup kepada banyak orang di dalam negeri.