*diceritakan kembali oleh Maria Goretti
“Mbaaak… aku selingkuh!”
Pengakuan itu disampaikan dengan cucuran airmata dan isak tangis histeris. Aku tertegun, syok. Ketika wanita yang sudah kuanggap sebagai adikku sendiri ini meneleponku karena ada hal yang ingin ia ceritakan, tak sedikitpun aku mengira bahwa masalahnya adalah ini.
Karena, sekilas, tak terlihat ada yang salah dengan pasangan suami-isteri ini. Bahkan, bisa dibilang mereka pasangan ideal. Kedua-duanya memiliki karier yang mapan dan bagus. Keadaan finansial mereka sangat baik. Rumah, ada. Mobil, tersedia. Kalaupun ada yang kurang (itu juga kalau bisa disebut kurang) adalah belum adanya buah hati hingga usia pernikahan yang sudah menginjak lebih dari satu dekade. Namun, berulang kali mereka berkata bahwa itu tidak menjadi masalah. Apalagi, baik orangtua maupun mertua pun tidak pernah mempermasalahkan.
Namun, siapa sangka, ternyata ada bara yang panas tengah melanda kehidupan pernikahan mereka. Sang isteri berselingkuh!
Kutanya pelan-pelan, “Sudah sejauh mana hubunganmu?”
Si wanita, sebut saja namanya Rina, tergagap menjawab, “Sudah jauh, Mbak. Dan sudah lama, sudah hampir setahun ini.”
Aku merasa seperti disiram air dingin. Kalau aku saja se-syok ini, lantas bagaimana dengan suaminya?
“Martin tahu?”
Rina mengangguk. “Tahu, Mbak. Martin tidak sengaja membaca isi hapeku…” Ia kembali meraung. “Dan.. dan.. Martin mau menceraikanku…”
Aku menghela napas, lalu kutanya: “Kamu sendiri, bagaimana?”
Rina menjawab dengan tangisan panjang. Kubiarkan ia menangis dulu sampai puas. Akhirnya ia menjawab, “Aku juga mau cerai saja Mbak… aku sudah nggak tahan sebenarnya hidup dengan dia… makanya aku selingkuh…”
***
Rina: Sudah lama aku memendam kesal pada Martin sebenarnya. Bukan, bukan karena hingga saat ini kami tidak dikaruniai anak. Tapi lebih karena sikap cueknya. Kemesraannya entah terbang ke mana. Kami bisa lho, berhari-hari hidup bersama tanpa interaksi. Ya, ngomong seadanya saja. Tapi tidak bertengkar juga. Hambar. Lalu, kenallah aku dengan Farid. Nah, dia ini berbeda 180 derajat dari suamiku. Orangnya hangat dan perhatian. Kami jadi dekat, dan makin dekat ketika kebetulan dipasangkan dalam satu tim yang oleh perusahaan kami ditugaskan sebagai konsultan di perusahaan klien di luar pulau. Berbulan-bulan bekerja bersama, diinapkan di mess karyawan, kami jadi kerap curhat tentang masalah rumah tangga. Rumah tangganya pun, menurutnya sudah tidak harmonis lagi. Kami jadi seperti saling menghibur. Kenyamanan timbul dari kedekatan. Kedekatan emosional lambat laun beranjak menjadi kedekatan fisik… Hubungan gelapku dengan Farid membuatku tak peduli lagi kalaupun Martin cuek. Toh aku sudah mendapatkan perhatian dari selingkuhanku…
***
Perceraian.
Kata yang biasanya menjadi akhir dari drama perselingkuhan. Sangat, sangat sedikit pernikahan yang bisa bertahan setelah melewati badai perselingkuhan. Bagaimana tidak, dikhianati oleh orang terdekat adalah pukulan paling telak yang sanggup meluluhlantakkan pertahanan diri siapa pun. Apalagi, bila perselingkuhan itu sudah melampaui batas selingkuh hati dan sudah melibatkan fisik. Rasa jijik terhadap pasangan kerap menjadi penghalang untuk rekonsiliasi. Di pihak yang berselingkuh, kerap juga terselip perasaan kotor dan tidak layak diterima lagi oleh pasangannya.
Dalam kasus Rina dan Martin pun sama. Sebagai lelaki, ego dan harga diri Martin sudah terjun bebas. Tak ada lagi yang tersisa. Jangankan menyentuh isterinya, melihatnya pun Martin sudah jijik.
Rina, di lain pihak, bila awalnya takut dan menyesal karena ketahuan berselingkuh, belakangan menjadi marah karena teringat pada sikap Martin yang menurutnya menjadi pemicu ia selingkuh. “Martin orangnya keras, Mbak. Cuek. Nggak mesra sama sekali. Mana ada romantis-romantisnya dia. Jadi jangan heran kalau aku selingkuh dengan Farid. Farid beda banget Mbak… dia selalu memperlakukan aku dengan manis dan mesra…”
Klasik sebenarnya. Di saat muncul ketidakpuasan dalam sebuah hubungan pernikahan, pasangan yang tidak puas kerap mencari yang hilang itu dalam diri orang lain yang dianggapnya bisa memenuhi ekspektasinya.
Namun, sebagai kakak rohani, aku dan suami tentu tidak membiarkan mereka bercerai. Setidak-tidaknya, kami harus berusaha dulu. Maka, mediasi pun kami lakukan, tentunya mediasi yang harus sejalan dengan prinsip-prinsip pernikahan Kristen.
Prinsip utama pernikahan Kristen adalah tidak ada perceraian. Ini susah! Namun, perkataan Yesus jelas: “Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia” (Markus 10:9). Perceraian tidak pernah menjadi keinginan Allah, dan selalu merupakan hasil dari dosa.
Ketika prinsip ini kami sampaikan kepada mereka, kedua-duanya menolak. Kata Martin: “Yesus tidak tahu sakit dan malunya aku dikhianati isteri sendiri, Mbak. Aku juga tidak tahu lagi bagaimana bisa hidup bersama lagi dengannya. Melihatnya saja aku jijik, Mbak…”
Sementara itu, Rina berkata: “Nggak, Mbak. Dia sudah terlalu banyak menyakiti hatiku dengan kecuekannya. Aku tidak bisa kembali lagi padanya…”
Kengototan mereka, kami jawab dengan ajakan dengan menenangkan diri dulu dengan cara berpisah sementara waktu, tujuannya bukan untuk bercerai, tapi untuk berdoa, seperti kata firman: “Janganlah kamu saling menjauhi, kecuali dengan persetujuan bersama untuk sementara waktu, supaya kamu mendapat kesempatan untuk berdoa” (1 Korintus 7:5). Mereka setuju.
***
Dua minggu berlalu. Selama periode itu, aku dan suami berbagi tugas untuk mendoakan Rina dan Martin secara terpisah. Aku menghubungi Rina setiap hari, dan suamiku menghubungi Martin. Memompakan firman Tuhan terus-menerus setiap hari. Mengajak berdialog. Menanyakan perasaan mereka. Membagikan firman yang meski tampaknya mendarat di loh hati yang keras, namun tetap kami taburkan tanpa kenal lelah. Selama itu pula Rina dan Martin kami bentengi dari pengaruh luar yang ingin membelokkan kebenaran.
Aku dan suami juga berdoa, menguatkan diri sendiri untuk mempertahankan kebenaran. Sungguh bukan hal yang mudah. Kerap kali kami menangis bersama, memohon campur tangan Tuhan. Jujur, sempat terselip rasa lelah dan putus asa. Rasanya tidak mungkin mempertahankan pernikahan ini. Namun, sebagai konselor, kami juga tidak mungkin memberikan saran yang tidak sejalan dengan firman Tuhan. Dan dalam keyakinan kami, Tuhan tidak mungkin memberikan perintah tanpa Dia sendiri memberikan kekuatan untuk kami menjalaninya! Jadi, di saat hati rasanya ingin berteriak kepada Tuhan: sampai kapan kami bertahan, Tuhan? Sudahlah, biarkan saja mereka bercerai! Toh dua-duanya sudah menolak untuk bersatu lagi. Namun, selalu… di saat kami tiba di titik nadir itu, selalu kemudian muncul kekuatan baru untuk menaati firman, lebih kuat dari keinginan kami untuk menyerah. Tidak, pasti ada jalan!
***
Martin: Awal mengetahui perselingkuhan ini, hatiku sakit dan harga diriku sebagai lelaki hancur. Malu, malu sekali. Rasa malu itu juga yang membuatku memendam sendiri masalah ini, tidak memberitahukannya kepada keluargaku. Nanti dululah. Aku perlu menenangkan diri dulu. Untunglah kami berdua punya kakak rohani, sepasang suami-isteri yang khusus melayani pasutri. Kami sepakat membawa masalah ini ke mereka. Sebenarnya bukan mau mencari solusi, karena kami sudah sepakat mau bercerai. Hanya ingin melepaskan beban batin saja sebenarnya dengan bercerita kepada mereka. Namun, tak disangka ternyata kedua kakak rohani kami ini keras dan tegas menolak kami bercerai. Mereka malah dengan sabar berusaha menyatukan kami. Tapi kami menolak dan menolak terus. Upaya mediasi pun gagal, karena kami sudah sama-sama sakit. Akhirnya, mereka meminta kami berdiam diri dulu dan berpisah sementara waktu (catat: sementara waktu) untuk berdoa. Selama masa itu, aku memilih kost di tempat lain, sementara Rina tetap di rumah. Sebisa mungkin kami menyembunyikan masalah ini dari orang lain, terutama orangtua. Karena, kalau sampai keluarga tahu dan ikut campur, bakal lebih runyam lagi. Dalam kurun waktu yang gelap itu, kakak rohani kami terus mendoakan dan mendampingi kami setiap hari. Setiap kali pula, mereka mengingatkan kami tentang prinsip-prinsip kebenaran firman Tuhan. Di tengah kehancuran hati dan ketidaktahuan harus melakukan apa, ada desakan lembut untuk berserah saja pada kehendak Tuhan. Aku juga diingatkan bahwa kehendak-Nya adalah agar aku mengampuni Rina dan mengasihinya tanpa syarat, seperti Yesus, yang sudah mengampuni kita selagi kita masih berdosa (Roma 5:8). Kasih yang menerima kita tanpa syarat. Aku begitu tersentuh oleh firman itu. Aku malu mendengarnya, tapi juga takut. Mampukah aku melakukan hal yang sama?
***
Keyakinan kami, bahwa Tuhan tak mungkin memberikan perintah tanpa Dia memampukan kita melakukannya, terbukti. Kami saksi dari betapa hidup dan berkuasanya firman Allah. Di minggu kedua masa pendampingan, tiba-tiba saja, Martin datang kepada kami dan berkata kalau ia sudah lelah merasakan sakit, bahwa ia ingin pulih. Ia siap untuk berserah, menundukkan diri pada kehendak Tuhan. Sungguh kami bersukacita mendengarnya. Kami bimbing dia berdoa untuk menyerahkan semua sakit hati, harga diri yang hancur, dan kemarahannya kepada Tuhan. Namun, prosesnya ternyata tidak mudah. Awalnya, mulut Martin bungkam, terkunci, tak sanggup mengucapkan kata mengampuni dan berserah pada kehendak Tuhan. Tapi kami dengan sabar terus mendorongnya dalam doa, dan akhirnya, diiringi raungan keras, ia menangis dan menyerahkan semuanya kepada Tuhan.
***
Martin: Tidak mudah menyerah pada kehendak Tuhan. Apalagi egoku kerap kali menghalangi. Dan, bayangan-bayangan tentang Rina dengan lelaki itu, membuatku jijik. Tapi aku lelah terus-menerus dihantui bayangan itu. Aku mau pulih, aku mau sembuh! Namun, sungguh berat proses penaklukan diri pada kehendak Tuhan itu, hampir saja aku menyerah dan mundur, tidak jadi mengampuni. Kukatakan pada Tuhan: kalau sesakit ini rasanya Tuhan, aku tidak sanggup! Tapi pegang tanganku Tuhan, tolong aku Tuhan! Itu terus kuteriakkan dalam hatiku. Tiba-tiba, aku seperti mendapat kekuatan, dan sambil meraung kulepaskan semua beban sakit hati itu dan kuserahkan kepada Tuhan. Ajaib! Seketika itu juga aku merasa plong, aku seperti dicemplungkan ke dalam air yang sejuk mendinginkan. Semua pikiran kotor dan kejijikan lenyap. Aku ingat waktu itu membatin: rupanya ini Tuhan, yang Kausebut sebagai damai sejahtera yang melampaui segala akal… (Filipi 4:7).
Rina: Aku terkejut ketika Martin tiba-tiba datang dan mengajak kami bersatu kembali. Jujur, selama beberapa hari dalam masa menyendiri, dalam doaku bersama kakak rohani, aku merasakan adanya keinginan untuk memperbaiki pernikahanku. Tapi aku sudah menodai ranjang pernikahan kami. Aku tidak yakin Martin mau dan bisa mengampuni aku. Jadi ketika dia datang, aku ragu. Benarkah ini? Sanggupkah kami melewati episode kelam ini tanpa melihat lagi ke belakang? Tapi kata Martin, ia sudah mengampuniku dan siap mencintaiku tanpa syarat, seperti Yesus sudah mengampuni dia dan mengasihinya tanpa syarat. Ia mengajakku melakukan hal yang sama. Dan kemudian, dalam doa pertobatan kami yang dipimpin oleh kakak-kakak rohani, kami sepakat menaklukkan diri pada firman, dan memohon kepada Tuhan agar memampukan kami menjadi pelaku firman itu. Hasilnya sungguh ajaib! Ketika kita sungguh-sungguh mau ikut Tuhan dan berserah kepada-Nya, Dia akan memampukan. Apa yang tidak mungkin, menjadi mungkin. Ini kami alami sendiri. Mukjizat-Nya bagi kami adalah perubahan hati yang serta-merta: semua sakit, amarah, kebencian–hilang lenyap, berganti menjadi kerinduan untuk memulai kembali semuanya dari awal lagi.
***
Kisah Martin dan Rina mungkin hanya segelintir dari sekian banyak kasus perselingkuhan yang berakhir bahagia. Banyak yang tidak percaya kisah ini benar-benar terjadi. Rata-rata meragukan bahwa pernikahan dapat selamat melewati badai perselingkuhan yang sudah ternodai. Memang, secara manusia, pasangan (terutama suami) sulit menerima kembali pasangannya bila perselingkuhan tersebut sudah mencemari tempat tidur. Namun, sulit bukan berarti tidak mungkin. Jangan lupakan faktor Allah sebagai penentu. Mukjizat-Nya tetap hadir bagi manusia yang percaya dan berserah penuh kepada-Nya. Kami menjadi saksi bagaimana mukjizat itu tetap terjadi hingga hari ini. Pengampunan dan penerimaan total, yang berujung pada pemulihan total, adalah mukjizat yang dialami oleh Martin dan Rina.
Dalam kasus ini, baik Martin maupun Rina, sama-sama bertobat. Martin tidak menyalahkan isterinya, tetapi menyalahkan dirinya sendiri yang lalai memelihara pernikahannya. Rina pun demikian; ia tidak lagi menyalahkan sikap Martin yang cuek, tetapi mengakui bahwa jalan keluar yang dicarinya dengan berselingkuh adalah murni kesalahannya. Kesadaran bahwa semua manusia telah berdosa, sangatlah penting. Mengapa? Karena saat itulah, mereka berhenti menghakimi dan menyadari bahwa mereka sendirilah yang harus berubah.
Saat ini, peristiwa tersebut sudah berlalu lebih dari lima tahun, dan pernikahan mereka semakin kokoh. Martin dan Rina kini aktif melayani sebagai majelis di salah satu sinode gereja besar, dan kerap menyaksikan mukjizat yang mereka alami ini kepada pasutri lain yang sedang mengalami masalah untuk tidak cepat-cepat menyerah. Karena dalam Yesus, selalu ada pengharapan.
“Buluh yang patah terkulai tidak akan diputuskan-Nya, dan sumbu yang pudar nyalanya tidak akan dipadamkan-Nya, sampai Ia menjadikan hukum itu menang” (Matius 12:20).
Baca juga:
Apa yang Dijanjikan Pernikahan
Setiap orang memasuki mahligai pernikahan dengan serangkaian pengharapan—menikmati kebahagiaan, rasa aman, keintiman, dan perhatian yang diidamkan. Bacalah buklet ini untuk menerima hikmat Alkitab yang berharga untuk menolong Anda mengobarkan kembali janji pernikahan yang pernah Anda ikrarkan.
Pelayanan Our Daily Bread Ministries di Indonesia didukung terutama oleh persembahan kasih dari para pembaca, baik individu maupun gereja di Indonesia sendiri, yang memampukan kami untuk terus membawa hikmat Alkitab yang mengubahkan hidup kepada banyak orang di dalam negeri.