Oleh Aryanto Wijaya
“Ayo kita healing, bestie…”
Kalimat ini sering muncul sebagai backsound dari video-video di Instagram Reels. Biasanya video itu berisi cuplikan perjalanan wisata alam atau liburan ke tempat-tempat wisata lainnya. “Healing” pada masa sekarang jadi kata gaul yang asyik diucapkan. Namun, alih-alih dimaknai literal sebagai “penyembuhan,” healing menjadi sekadar liburan atau jalan-jalan.
Sebenarnya jika kita tidak mau pusing-pusing amat berpikir, tidak ada yang salah dengan mengasosiasikan healing sebagai pelesir, toh manfaat yang nanti diharap pasca beria-ria adalah sukacita, senang, dan syukur-syukur sembuh dari segala “sakit.” Saya pun sering mengucap healing dalam guyonan bersama teman-teman sebaya, “Healing dulu lah, biar tetep waras kau…”
Namun, jika kita telisik lebih serius, sungguhkah healing berupa pelesir menghadirkan kesembuhan yang sebenarnya?
Saya rasa banyak dari kita akan menjawab “tidak.” Kata healing yang bermakna denotatif sebagai sembuh atau pulih diartikan secara detail oleh KBBI sebagai menjadi sehat kembali, menjadi baik, atau kembali seperti semula. Healing pada masa kini telah tereduksi nilainya menjadi sekadar hiburan, yang sebenarnya lebih bersifat sebagai pengalihan daripada pengobatan. Semisal, pergi healing ke gunung di hari Minggu tidak seratus persen membuat orang bersemangat kerja atau kuliah di hari Senin. Malah, bisa jadi sebelum Senin datang karena terjebak macet di jalan atau uang mendadak ludes, niatan healing itu sudah berubah menjadi pening. Liburan memang membantu, tetapi ia bukan pengobatan utama. Liburan dan hiburan berstatus sebagai terapi komplementer atau pelengkap yang mendukung proses healing itu sendiri.
Healing yang tidak membuat pening
Sekitar dua bulan lalu, saya mengalami dukacita yang bagi saya sendiri tergolong berat. Selama satu bulan saya mendampingi ayah di rumah sakit, tapi tanpa pernah berpikir ada penyakit fatal yang kelak merenggut nyawanya. “Tuhan, usia papa masih belum enam dekade. Sembuhkanlah dia, izinkan dia untuk kembali ke aktivitasnya seperti sedia kala,” begitu doaku setiap hari. Sembari menyuapinya makan, membersihkan kotorannya, atau kala mendekap tubuhnya, doa yang sama selalu kunaikkan.
Bermula dari jatuh yang mengakibatkan patah tulang, timbul aneka penyakit lain yang menggerogoti organ tubuhnya. Semua terjadi begitu cepat, hanya dalam sebulan kurang sehari. Diagnosis yang terakhir dokter berikan adalah ayah saya terkena disentri. Namun, siapa sangka, lima hari pasca diagnosis itu diberikan, papa dilarikan ke ICU, tidak sadarkan diri, dan meninggal dunia. Dokter baru menemukan bahwa selama ini terdapat autoimun pada ususnya yang tak terdeteksi.
Saya tidak pernah menyangka dan menyiapkan diri untuk kepergian papa. Saya tak pernah mendengar ada kisah tentang orang yang mengalami disentri lalu meninggal. Tetapi, inilah realitasnya. Kepergian papa menyisakan ruang hampa di hati, sekaligus kelelahan yang luar biasa baik fisik maupun mental. Selama satu bulan itu saya tak bisa kerja, makan tak teratur, pun tidur hanya satu hingga tiga jam saja dalam sehari.
Setelah semua proses kedukaan selesai, barulah saya bisa mulai kembali menata hidup pada ritme yang normal. Namun, akibat kelelahan fisik itu sakit gerd yang sejak dulu saya derita kembali kambuh ditambah lagi dengan penyesalan mendalam, overthinking, jantung selalu berdebar kencang, dan sulit tidur.
Solusi yang diperlukan: saya butuh healing.
Tetapi, healing macam apa? Apakah dengan kembali mengajukan cuti lalu berlibur ke pantai? Apakah dengan membenamkan diri di balik selimut sembari menonton Netflix?
Otak saya menjawab: healing yang sungguhan healing… healing yang hasilnya bukan membuat kepala pening.
Healing Sejati
Oke, dengan tenang saya coba menavigasi mau dibawa ke mana hidup ini pasca kedukaan. Pertama, untuk mengatasi sakit gerd di lambung, saya bertemu dokter internis (ahli penyakit dalam) dan melakukan check-up pada bagian abdomen. Hasilnya: asam lambung jumlahnya sangat banyak sehingga diperlukan sejumlah obat, dan diwajibkan untuk tidur cukup, berpantang makan, serta berolahraga.
Kedua, untuk mengatasi trauma akibat kedukaan, saya menjumpai konselor. Dalam tiap sesi konseling, saya tidak sekadar curhat, tetapi dibantu menemukan akar masalah dan penyelesaiannya. Meski terkesan sepele, stres yang tidak dikendalikan dapat memicu produksi hormon kortisol yang berlebihan, yang kelak berdampak pada timbulnya sakit psikosomatik: keluhan fisik yang timbul karena dipengaruhi pikiran atau emosi.
Healing yang sesungguhnya terjadi ketika kita bersedia mendengarkan diri sendiri lebih dulu. Menavigasi apa yang salah atau mana yang terluka, lalu mencari pertolongan profesional untuk meraih kesembuhan.
Kisah-kisah tentang orang-orang yang mencari healing juga tersaji dalam Alkitab. Di Perjanjian Lama kita mengenal kisah tentang Naaman yang tercatat dalam 2 Raja-raja 5:1-27. Naaman adalah seorang panglima dari Raja Aram. Panglima bukanlah jabatan rendahan, dia adalah orang penting dalam sebuah monarki. Suatu ketika, Naaman terkena sakit kusta. Dia mencari-cari kesembuhan ke banyak tempat tetapi membuahkan hasil nihil. Sampai suatu kali, seorang pelayan istrinya memberi saran untuk Naaman pergi ke Israel dan menemui Elisa.
Singkat cerita, Naaman mengikuti saran itu dan tibalah dia di Israel. Namun, dia sempat kecewa. Pikirnya, Elisa akan menyembuhkannya dengan cara-cara spektakuler seperti menyentuh kulitnya lalu seketika sembuhlah kusta itu… tapi, Elisa malah menyuruhnya mandi ke sungai Yordan. Hati Naaman pun panas. Mungkin jika bisa kita improvisasi dia akan berkata, “Yang bener aja? Jauh-jauh ke Israel disuruh mandi di kali? Di negeri gue lebih banyak kali yang lebih bening kalee!”
Tetapi, para pegawai Naaman datang dan memberinya saran. “Seandainya nabi itu menyuruh perkara yang sukar kepadamu, bukankah bapak akan melakukannya? Apalagi sekarang, ia hanya berkata kepadamu: Mandilah dan engkau akan menjadi tahir” (ayat 13). Naaman mengikuti saran itu dan tahirlah dia.
Kisah Naaman sungguh menarik. Bagaimana bisa seorang panglima dari Aram mau menerima masukan istri yang telah dibisikkan pelayannya untuk mencari kesembuhan di Israel? Padahal Israel adalah musuh dari negerinya sendiri (2 Raja-raja 6:8-23).
Berkat ketaatan itulah Naaman akhirnya sembuh. Tak hanya mengalami penyembuhan fisik, perjalanannya ke Israel juga membukakan mata Naaman akan Allah yang berbeda dari ilah yang dia sembah di negeri asalnya. Pada ayat 15 tercatat kekaguman Naaman atas kedahsyatan kuasa Allah Israel, “Sekarang aku tahu, bahwa di seluruh bumi tidak ada Allah kecuali di Israel.”
Kesembuhan Naaman—melalui perantaraan Elisa—sejatinya datang dari Allah, sebab Allah Sang Khalik Pencipta Langit dan Bumi adalah Allah yang memberikan kesembuhan (Yeremia 33:6). Lebih dari sekadar kesembuhan badani, Allah juga menawarkan pada kita kesembuhan sejati berupa keselamatan dari maut yang adalah buah dosa. Untuk meraih kesembuhan itu, syaratnya hanya satu: kita bersedia menerima anugerah-Nya yang diberikan-Nya melalui pengorbanan Yesus Kristus.
Memaknai Ulang Rasa Sakit
Tubuh kita diciptakan Allah dengan unik, salah satunya adalah kemampuan untuk merasakan sakit. Sakit yang kita alami sebenarnya adalah sebuah tanda akan adanya sesuatu yang tidak beres. Seandainya tubuh seseorang tidak punya saraf yang dapat mengirim sinyal rasa sakit ke otak, maka seseorang tidak akan sadar apabila kulitnya melepuh saat tersiram air panas.
Dalam artikel yang menanggapi kematian Chester Bennington, penulisnya mengutip sebuah kalimat dari buku Where is God When It Hurts:
“Secara harfiah, sakit itu memang tidak enak. Rasa sakit itu mampu memaksa kita untuk menjauhkan tangan dari kompor yang panas. Namun, justru sakit itulah yang sejatinya mampu menghindarkan kita dari kehancuran. Hanya, kita cenderung untuk mengabaikan peringatan, kecuali peringatan itu amat memaksa.”
Segala kesakitan yang kita alami adalah sinyal tegas bahwa kita senantiasa membutuhkan pertolongan dari Sang Tabib Agung. Di tengah dunia yang telah jatuh ke dalam dosa, tak ada sosok yang mampu menolong kita dengan pasti selain daripada Allah sendiri.
“Ah masa sih? Buktinya aku tetap saja sakit badannya…” Mungkin Anda berpikir seperti ini dan sangsi untuk datang pada Allah. Tubuh kita yang fana telah rusak oleh dosa, sehingga segala kelemahan tubuh adalah keniscayaan. Tetapi, kita dapat percaya bahwa jika Allah berkehendak untuk menjadikan seseorang sembuh, maka itu mudah bagi-Nya seperti membalikkan telapak tangan. Namun, apabila Dia mengizinkan sakit tersebut harus kita tanggung lebih lama, tentu Tuhan punya maksud dan maksud-Nya selalu baik. Jadilah kehendak-Nya di bumi seperti di surga.
Sakit gerd dan trauma yang hinggap di tubuh saya belum sepenuhnya sembuh, tetapi dengan pertolongan Tuhan yang mewujud melalui obat-obatan, konseling, juga hikmat untuk merawat tubuh, saya tahu saya sedang berada di jalan menuju healing yang benar. Dengan menerima, percaya, dan taat pada Yesus Kristus, kita semua beroleh akses kepada Sang Sumber Pemulihan itu.
Hari ini, saat Anda membaca tulisan ini, apabila ada bagian-bagian dari jiwa ataupun tubuh Anda yang sedang lemah, kiranya Allah melembutkan hati Anda untuk datang kepada-Nya, sebab Allah menyembuhkan orang-orang yang patah hati dan membalut luka-luka mereka (Mazmur 147:3). Tuhan adalah sumber air hidup bagi kita (Yeremia 2:13).
Terpujilah Allah, kini dan sepanjang segala masa.
Baca Juga:
Mari Menjaga Kesehatan Mental
Pertanyaan “Bagaimana kabarmu?” tidak selalu mudah dijawab. Adakalanya kita sendiri tidak tahu pasti keadaan diri kita. Kiranya materi-materi yang tersedia dalam situs di bawah ini dapat menolong Anda atau siapa saja yang membutuhkan pertolongan Tuhan untuk menjaga kesehatan mental.
Pelayanan Our Daily Bread Ministries di Indonesia didukung terutama oleh persembahan kasih dari para pembaca, baik individu maupun gereja di Indonesia sendiri, yang memampukan kami untuk terus membawa hikmat Alkitab yang mengubahkan hidup kepada banyak orang di dalam negeri.