Oleh Agustinus Ryanto
Perjalanan selalu menyajikan banyak cerita. Salah satu perjalanan yang terkenang selamanya dalam memori adalah ketika saya melakukan perjalanan sebagai backpacker ke Aceh Tengah.
Kala itu, saya terkatung-katung di kota kecil yang terletak di pegunungan Gayo. Hari sudah malam dan hujan turun, tapi saya masih tidak tahu harus bermalam di mana karena penginapan yang sesuai budget ternyata tidak ada. Beruntung, ada seorang polisi yang berbaik hati menawarkan kediamannya untuk saya bermalam. Saat tiba di rumahnya, rupanya keluarga bapak polisi ini memberikan lebih dari sekadar tumpangan. Mereka memberi saya pinjaman motor, uang saku, dan kehangatan keluarga. Tak cuma itu, anak bungsu mereka pun diutusnya untuk menemani saya menjelajahi danau. Semua kebaikan ini begitu menyentuh hati. Namun, ada kabar duka yang tak pernah disangka. Setahun setelah kunjungan itu, si bungsu yang menemani saya meninggal dunia. Dia tenggelam di danau saat merayakan ulang tahunnya dengan berenang bersama teman-temannya.
Diliputi rasa duka yang mendalam, kakak laki-lakinya menuliskan kutipan di media sosialnya: “Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Berbahagialah mereka yang mati muda.”
Kutipan ini terasa menohok, tetapi tidak asing buat saya. Itu ditulis oleh Soe Hok Gie, seorang aktivis dan mahasiswa yang meninggal di Gunung Semeru pada tahun 1969.
Pada mulanya, apa yang Soe Hok Gie tuliskan terasa quotable dan mengandung kebenaran buat saya. Dunia yang kita jalani sebagai orang dewasa adalah dunia yang jungkir balik dari masa kanak-kanak kita. Semakin tinggi usia dan bertambah tanggung jawab, kita melihat rupa-rupa kesusahan yang menggelayuti setiap orang. Tak ada satu pun manusia yang kebal dari masalah. Nahasnya, ada orang-orang, atau bahkan kita sendiri, yang merasa beban hidup terlalu berat untuk ditanggung sehingga timbullah pertanyaan: untuk apa hidup bila cuma buat menderita? Tidakkah mati jadi lebih baik?
Saat melewati masa transisi dari remaja menuju dewasa, berulang kali saya mengamini pertanyaan dan pernyataan di atas. Dilahirkan di keluarga disfungsional membuat saya mengalami luka psikis yang sulit hilang dan terbawa sampai usia dewasa. Saya pernah ingin mati saja sebab masa depan seolah suram dan beban hidup terasa mustahil ditanggung. Namun, pelan-pelan, oleh pertolongan Tuhan yang mewujud lewat komunitas dan bimbingan rohani, saya dituntun untuk melihat ada sisi lain dari beratnya kehidupan yang perlu saya lihat dan jalani.
Perspektif Alternatif yang Lebih Pasti
Pada posisi sekarang saya bisa melihat kehidupan dari sudut pandang yang lebih luas: kehidupan kita bukanlah nasib sial atau pun kesalahan. Memang, pandangan baru ini tidaklah mengubah realita bahwa dunia ini dipenuhi banyak kengerian dan kesusahan, tetapi ini menolong saya untuk beralih dari kaca mata pesimistik kepada kaca mata Ilahi.
Bila dunia mengatakan penderitaan adalah jalan buntu sehingga mengakhiri hidup adalah satu-satunya solusi, firman Tuhan menyajikan perspektif lain yang membawa kita tak cuma menjalani hidup, tetapi menikmatinya dan bahkan menjumpai satu Pribadi yang jauh lebih baik daripada hidup itu sendiri, yakni Tuhan Yesus Kristus.
Tuhan Yesus mengetahui dan mengenal bahwa “di dunia ini, kamu pasti menderita. Tetapi kuatkanlah hatimu, karena Aku sudah mengalahkan dunia ini” (Yoh. 16:33 TSI).
Perkataan Tuhan Yesus ini menarik untuk dicermati. Pada frasa pertama, Dia menegaskan bahwa penderitaan adalah keniscayaan, sebab ini adalah upah dari dosa (Rm. 6:23), tetapi pada frasa kedua, Dia memberikan suatu jaminan yang lebih kuat daripada keniscayaan itu sendiri, yakni Dia telah menang atas dosa, yang berarti pula Dia telah menang atas segala penderitaan. Kemenangan Yesus adalah rancangan sempurna dari Allah yang membuat Kristus yang tak mengenal dosa menjadi dosa karena kita, supaya di dalam Dia kita dibenarkan oleh Allah (2 Kor. 5:21).
Di tengah kondisi keluarga saya yang broken dan merusak jati diri saya, rupanya anugerah Allah menemui saya sehingga saya bisa mengenal Tuhan Yesus dan menerima-Nya sebagai Juruselamat. Pengenalan akan pribadi Tuhan Yesus inilah yang menolong saya melihat bahwa perspektif Kristiani mengenai penderitaan di dunia ini bukanlah sesuatu yang utopis, tetapi realistis! Penderitaan itu tidak dinihilkan, tetapi dikalahkan oleh karena Yesus Kristus.
Kalahnya dosa dan penderitaan di dalam kuasa Yesus memampukan kita perkasa menghadapinya, sebab sejak kita menerima Kristus, kita menjadi ciptaan baru (2 Kor. 5:17). Sebagai ciptaan baru, kekuatan kita berasal dari Kristus yang memampukan kita menanggung segala sesuatu (Flp. 4:13).
Undangan untuk Memilih dan Menikmati Hidup
Selagi kita ada di dalam dunia, penderitaan dan kesusahan adalah bagian yang akan selalu ada bersama kita. Penderitaan itu akan lepas seutuhnya saat kita tiba pada langit dan bumi yang baru, yang Allah sediakan kelak bagi anak-anak-Nya yang mengasihi Dia (Why. 21:3-4).
Hari ini, mungkin ada di antara kita yang sulit memahami makna di balik beratnya penderitaan yang kita tanggung, atau kita bertanya-tanya: mengapa ada orang yang lebih menderita daripada yang lain? Kita mungkin tidak tahu jawabannya. Robert Solomon dalam artikelnya menulis demikian: daripada menyibukkan diri mencari jawaban, lebih baik kita memberikan kasih dan pengertian kita. Mereka yang merasa “terpilih” untuk lebih menderita daripada orang-orang lain, harus berhenti membanding-bandingkan diri dengan orang lain, dan mengasihani diri sendiri.
Ketika Petrus bertanya kepada Yesus tentang Yohanes, “Tuhan, apakah yang akan terjadi dengan dia ini?” (Yoh. 21:22), Yesus menjawab, “Itu bukan urusanmu. Tetapi engkau: ikutlah Aku” (ay. 23). Tiap murid mempunyai jalan hidupnya sendiri-sendiri, yang dipilih dengan hati-hati oleh Allah berdasarkan hikmat dan kasih-Nya.
Sekarang kita diundang untuk melihat kesulitan hidup bukan dari sudut pandang kita sendiri, tetapi dari sudut pandang Ilahi: bahwa di dalam kelemahan ada kasih karunia yang menjadikan sempurna (2 Kor. 12:9-10); bahwa Allah di dalam Kristus yang menjanjikan Roh Penolong bagi kita ada beserta kita senantiasa sampai kepada akhir zaman (Mat. 28:20); bahwa dalam perjalanan sampai kepada akhir itu kita disertai laksana sekawanan domba yang dijaga betul oleh gembalanya (Mzm. 23:1-6).
Kesadaran dan pengetahuan bahwa Allah hadir bersama kita inilah yang akan menolong kita melihat hidup bukan sebagai kesialan dan kelahiran bukan sebuah bencana, tetapi sebuah perjalanan agar jiwa kita memuliakan Tuhan dan bergembira karena Allah Juruselamat kita (Luk. 1:46-47).
Tabik!
Dengarkan Juga:
Beriman di Titik Nadir
Penderitaan adalah bagian dalam hidup, dan seringkali penderitaan itu menghujam kita sampai ke titik nadir. Kita menangis, kita meratap, kita menanti pengharapan yang seolah tak kunjung datang.
Bagaimana kita bisa beriman di titik nadir? Apa yang dapat kita pelajari tentang Tuhan, yang katanya Mahabaik itu, dari titik ini?
Pelayanan Our Daily Bread Ministries di Indonesia didukung terutama oleh persembahan kasih dari para pembaca, baik individu maupun gereja di Indonesia sendiri, yang memampukan kami untuk terus membawa hikmat Alkitab yang mengubahkan hidup kepada banyak orang di dalam negeri.