Dhimas Anugrah

Melingkar, tidak ada ujungnya, lambang kesetiaan. Itulah makna yang sering orang ungkapkan dari sebuah cincin. Tapi, bagaimana dengan istilah “cincin api”? 

“Cincin api” adalah sebuah istilah sekaligus realitas yang kita semua hadapi. Ada barisan pegunungan berapi aktif yang melingkar, seolah membentuk cincin… dan negeri kita Indonesia termasuk ke dalam wilayah cincin api tersebut. Melansir dari The Statesman, posisi geografis inilah yang menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara paling rawan bencana, sebab kebanyakan gempa dan 75 persen aktivitas gunung berapi terjadi di wilayah cincin api. 

Maka, tak ayal berita soal bencana alam berupa gempa dan letusan gunung berapi menjadi informasi yang tak asing di telinga kita. Pada hari Sabtu, 4 Desember 2021, Gunung Semeru di Jawa Timur meletus secara mendadak. Letusan ini memuntahkan aliran lahar dan abu vulkanik yang mengubur dusun, menghancurkan jembatan dan sarana infrastruktur lainnya di kabupaten Lumajang. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merilis jumlah korban jiwa mencapai 14 orang, dan lebih dari 1.300 orang mengungsi. 

Merengkuh kerapuhan

Terlepas dari upaya mitigasi dan kemutakhiran teknologi dalam mengantisipasi bencana, alam raya sebenarnya menunjukkan pada kita bahwa ada hal-hal yang tak mampu dikendalikan oleh manusia. Seorang sastrawan Indonesia menuliskan esai pendek berjudul “Fragile.” Isinya menguraikan tentang ketidakberdayaan manusia menghadapi bencana yang di luar kontrolnya. Ia benar. Banyaknya capaian dan prestasi manusia dalam penemuan di berbagai bidang tidak serta merta menghilangkan realitas hakiki umat manusia: ciptaan yang rapuh. 

Seorang filsuf wanita pernah mengatakan, “Kita tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan kerapuhan kita sendiri, kecuali menyembunyikannya atau berpura-pura itu tidak ada.” Pernyataan ini penting untuk direnungkan, dan mendorong kita secara terus terang mengakui kerapuhan kita dan terus bersandar kepada Allah Sang Pencipta.

Manusia akan layu seperti rumput, tetapi Tuhan tidak, Dia tetap sama dari zaman ke zaman. Setiap generasi mendapati Tuhan sama seperti generasi sebelumnya.

Dalam Mazmur 90 kita mendapati suatu doa yang Roh Allah ilhamkan pada Musa. Renungan dalam mazmur ini mengarahkan perhatian kita kepada Allah—Tuhan yang kekal, yang tidak pernah mati— dan manusia, makhluk yang rapuh seperti diri Musa sendiri. Manusia akan layu seperti rumput, tetapi Tuhan tidak, Dia tetap sama dari zaman ke zaman. Setiap generasi mendapati Tuhan sama seperti generasi sebelumnya. 

Setidaknya,  dalam 12 ayat pertama mazmur ini memuat tiga kebenaran dasar, yaitu tentang kekekalan Allah (90:1-2), kerapuhan manusia (90:3-8), dan singkatnya hidup (90:9-12). Ayat 3 dan 4 memberitahu kita betapa rapuhnya kehidupan manusia. “Engkau mengembalikan manusia kepada debu, dan berkata, Kembalilah, hai anak-anak manusia! Sebab di mata-Mu seribu tahun sama seperti hari kemarin, apabila berlalu, atau seperti suatu giliran jaga di waktu malam.” 

Kata “debu” (ayat 3), dalam bahasa Ibrani secara harfiah dapat dipahami bahwa dalam rencana Tuhan, tubuh kita pada akhirnya akan berubah menjadi debu. Bukankah dalam kenyataannya juga demikian? Kita dengan mudah diingatkan akan hal ini setiap kali melihat bencana yang menelan begitu banyak korban, maupun ketika kita menghadiri acara-acara pemakaman. Orang-orang yang kita kenal, maupun tokoh publik yang populer pun, suatu saat akan mengalami kematian. 

Dalam Mazmur 90:4 kita juga diberitahu bahwa manusia itu fana, tetapi Tuhan tidak. Sebab Dia adalah Allah yang kekal, tidak terikat ruang dan waktu. Seperti suatu mimpi yang bisa hadir di malam hari, tetapi dengan cepat bisa menghilang seiring dengan merekahnya cahaya pagi, demikianlah cepatnya hidup manusia. Harold S. Martin, seorang penafsir Alkitab mengatakan, hidup manusia tidak seperti pohon besar, tetapi hanya seperti sepotong rumput yang halus. “Kita mungkin membanggakan kebugaran tubuh kita yang baik, tenaga yang kuat, dan umur panjang yang sehat. Tetapi, tubuh kita yang aktif dan energik hari ini, suatu hari nanti juga akan terbaring dingin dan diam,” ujar Martin. Ia benar, demikian juga Musa. Kekuatan, suara, dan pesona ragawi kita akan hilang selamanya. 

Dia datang kepada kita di tengah kekacauan dunia, di tengah badai hidup, di tengah bencana, untuk menuntun kita ke tempat yang aman, untuk membawa kita kepada Diri-Nya sendiri.

Kendati kenyataan akan akhir kehidupan dan bencana-bencana tak terduga terasa getir, kita memiliki kabar baik: bahwa Allah yang kita sembah merengkuh kita dalam dekapan-Nya. Allah tahu bahwa kita adalah ciptaan yang rapuh. Dia pun turut merasakan kerapuhan kita dengan hadir dalam rupa seorang bayi yang terbaring dalam palungan. Allah tidak menyatakan diri-Nya sebagai sosok yang lebih besar untuk membuat manusia terkesan—sudah jelas Dia adalah Pribadi terbesar dan terbaik. Namun, Allah yang Mahabesar itu menjadi kecil untuk menjadi sama seperti kita. Dia datang kepada kita di tengah kekacauan dunia, di tengah badai hidup, di tengah bencana, untuk menuntun kita ke tempat yang aman, untuk membawa kita kepada Diri-Nya sendiri. 

Hidup di tengah cincin api menambah satu lagi daftar kesusahan yang sewaktu-waktu mungkin akan kita alami. Kita tak pernah tahu kapan bencana akan datang, tetapi dengan keyakinan bahwa Allah Imanuel hadir beserta kita, kita dapat menghadapi bencana itu bukan dengan sikap takut. Kita bisa belajar dan meniru orang-orang dari negara maju memitigasi bencana sembari tetap beriman bahwa Allah berdaulat atas alam semesta dan segala isinya.  

Bencana telah memporak-porandakan banyak sendi dalam kehidupan manusia. Secara khusus pada saat ini, pada saudara-saudari kita di Lumajang, Jawa Timur. Sebagai sesama manusia yang rapuh dan rentan, kita diundang untuk menolong mereka yang menderita akibat erupsi Semeru sesuai apa yang bisa kita berikan. Mungkin itu bahan makanan, pakaian bersih, tenaga, maupun dana. Pada saat yang sama, kita juga diajak untuk kembali mengingat akan hakikat diri kita sebagai manusia, bahwa kita rapuh dan perlu tetap bergantung harap pada Allah yang kita kenal dalam Yesus Kristus.


Baca juga:

Pasca Bencana

Ketika bencana telah terjadi dan kerusakan yang ditimbulkannya masih terlihat nyata, apa yang perlu orang Kristen perbuat untuk menanggapi peristiwa buruk tersebut secara alkitabiah? Apa saja yang dapat kita lakukan dengan kasih Kristus untuk menolong mereka yang menderita?


Pelayanan Our Daily Bread Ministries di Indonesia didukung terutama oleh persembahan kasih dari para pembaca, baik individu maupun gereja di Indonesia sendiri, yang memampukan kami untuk terus membawa hikmat Alkitab yang mengubahkan hidup kepada banyak orang di dalam negeri.