Oleh: Aryanto Wijaya

Beberapa minggu lalu, terjadi kebakaran yang melanda kawasan padat penduduk di Jakarta Selatan. Dari puluhan rumah yang hangus dan hancur, tersisa satu bangunan warteg yang masih utuh berdiri di antara hamparan puing-puing. Lalu, datanglah para influencer yang membangun narasi bahwa selamatnya bangunan warteg itu karena sang pemilik rajin memberi sedekah. 

Kabar ini pun segera viral. Bukan tentang kerugian dan bagaimana memitigasi bencana kebakaran yang sangat sering terjadi, tapi soal terhindar dari musibah karena rajin sedekah. Warga sekitar yang jadi korban tak terima dan marah. Narasi tersebut seolah-olah menuding para warga lain sebagai orang yang kurang sedekah, kurang saleh, sehingga mereka layak diganjar musibah kebakaran yang menghancurkan rumah dan harta benda mereka. 

Jika memandang fenomena ini lewat lensa iman Kristen, kita mungkin bertanya, apakah hidup saleh yang salah satu aspeknya diwujudkan lewat berbuat baik adalah rumus pasti untuk menghindarkan hidup dari musibah dan penderitaan? 

Banyak hal dalam hidup ini yang sulit kita cerna dengan logika kita sendiri, yang jika semakin kita pikirkan, kita akan tiba pada banyak pertanyaan: “Mengapa, Tuhan? Mengapa ini terjadi?”

Pertanyaan itu bukanlah pertanyaan baru. Manusia sepanjang segala masa menyadari bahwa ada banyak hal terjadi di luar kendali mereka. Musibah datang kadang tak pandang bulu. Orang bilang naik motor lebih berbahaya, tetapi bukan berarti naik mobil seharga satu milyar lebih pasti selamat. Orang bilang harus jaga pola makan dan olahraga agar hidup bebas dari penyakit, tapi itu bukan jaminan pasti bahwa seseorang akan mutlak terhindar dari sakit. Banyak hal dalam hidup ini yang sulit kita cerna dengan logika kita sendiri, yang jika semakin kita pikirkan, kita akan tiba pada banyak pertanyaan: “Mengapa, Tuhan? Mengapa ini terjadi?” 

Penderitaan adalah cawan bagi semua makhluk 

Ketika manusia jatuh ke dalam dosa, rusak pulalah persekutuan yang sempurna dengan Allah yang mengakibatkan maut menjadi ganjaran. Semua manusia akan mati, semua binatang, juga semua tumbuhan. Tak hanya maut, tetapi penderitaan pun akan menjadi kawan seperjalanan manusia di dunia. Roma 8:22 berkata, “Sebab kita tahu, bahwa sampai sekarang segala makhluk sama-sama mengeluh dan sama-sama merasa sakit bersalin.” Versi Terjemahan Lama menggunakan kata “mengerang” daripada “mengeluh,” yang secara spesifik berarti “merintih karena kesakitan”. Semua manusia merasakan kesakitan akibat dosa. 

Jika kita lanjutkan ke ayat 23, tertulis, “Dan bukan hanya mereka saja, tetapi kita yang telah menerima karunia sulung Roh, kita juga mengeluh dalam hati kita sambil menantikan pengangkatan sebagai anak, yaitu pembebasan tubuh kita.” Artinya, orang percaya yang telah dikaruniai Roh Kudus pun masih tetap akan merasakan penderitaan, sebab dunia yang kita tinggali telah tercemar. Kebebasan sempurna dari segala penderitaan ini kelak baru akan kita alami setelah kita mencapai tempat kediaman sorgawi (lihat 2 Korintus 5:2-4). 

Tetapi, jika kita kembali pada ayat 22, kita dapat melihat harapan yang menanti di balik segala penderitaan ini. Di sana penderitaan yang kita alami diibaratkan sakit seorang ibu yang bersalin. Sang ibu merintih, tetapi ia pun punya harapan besar bahwa setelah kesakitannya, anak yang dikandung dan dikasihinya akan lahir. Segala rintihan dan kesusahan kita barulah akan tiada dengan sempurna saat kita mengalami kebangkitan tubuh jasmani, yakni pada Hari Tuhan kelak. 

Dalam tubuh jasmani-Nya, Tuhan Yesus pun mengalami penderitaan dan kesakitan. Namun, lewat kematian dan kebangkitan-Nya, Dia telah mengalahkan segala kuasa dosa, dan setiap orang yang percaya kepada-Nya diberi-Nya keselamatan serta Roh Kudus yang menyertai perjalanan hidup setiap orang percaya. 

Memahami kebaikan Allah 

Pdt. Fandri Entiman Nae dalam artikelnya, “Penderitaan yang Membingungkan dan Yesus yang Kukenal” menulis, “Dalam kehidupan kita sering kali pertanyaan-pertanyaan yang sulit muncul dan membelenggu kita. Kita tak bisa memahami rencana Allah dalam hidup kita secara utuh dan jelas. Ada banyak hal yang tersembunyi, dan keterbatasan kita seakan membuat kita tak berdaya hingga menjadi berpasrah diri dengan wajah lesu dan kecewa. Tetapi, beruntunglah kita karena pengenalan yang benar akan Yesus Kristus yang akan memberikan pijakan yang tak dapat menggoyahkan kaki kita.” 

Tuhan Yesus adalah Allah yang menggantikan kita menjadi korban penebusan di kayu salib. Dia meninggalkan kemuliaan-Nya di surga, mengambil rupa manusia untuk merasakan penderitaan kejam. Semua itu Dia lakukan atas dasar kasih yang murni, kasih dari Pencipta yang menyayangi ciptaan-Nya, sehingga apakah mungkin Dia berniat mencelakai kita? Tentu jawabannya adalah tidak mungkin. 

Mungkin sampai hari ini kita pun tak tahu pasti apa alasan spesifik di balik penderitaan yang kita alami, tetapi dalam ketidaktahuan kita, Allah sanggup menyatakan kemahakuasaan-Nya.

Mungkin sampai hari ini kita pun tak tahu pasti apa alasan spesifik di balik penderitaan yang kita alami, tetapi dalam ketidaktahuan kita, Allah sanggup menyatakan kemahakuasaan-Nya. Hari-hari ini, ketika kita telah berjuang untuk hidup benar tetapi tetap mengalami penderitaan, hendaknya kita tidak merasa diri sebagai orang yang “sial”. Sebagai orang percaya, kita dapat menghadapi penderitaan itu bukan dengan rasa takut dan kecewa, tetapi dengan iman teguh bahwa kita mengenal Allah yang baik, yang menuntun kita melewati badai terkelam sekalipun. Bersama-Nya, perjalanan kita kelak akan ditibakan-Nya pada tempat yang aman dan selamat. 


Baca Juga:

Seri Terang Ilahi: Tuhan, Mengapa Aku Menderita?

Jika Anda masih bertanya-tanya atau bergumul soal iman dan penderitaan, kami mendorong Anda untuk membaca lebih lanjut Seri Terang Ilahi “Tuhan, Mengapa Aku Menderita?”.


Pelayanan Our Daily Bread Ministries di Indonesia didukung terutama oleh persembahan kasih dari para pembaca, baik individu maupun gereja di Indonesia sendiri, yang memampukan kami untuk terus membawa hikmat Alkitab yang mengubahkan hidup kepada banyak orang di dalam negeri.