Hari masih pagi ketika jalan menuju pintu masuk pondok sederhana itu mendadak gelap oleh bayangan enam orang laki-laki bertubuh tegap. Satu per satu mereka masuk dengan sikap serius, siap menjalankan tujuan yang sudah mereka niatkan. Mereka adalah para kepala kampung suku Batak, orang-orang yang sangat bisa melakukan kekerasan. Mereka tidak takut mencelakai orang lain, jika mereka merasa itu perlu dilakukan.
Jerman itu sudah terbiasa menghadapi sikap penduduk yang tidak ramah sejak ia mulai bekerja di tengah-tengah suku Batak di lembah Silindung, Sumatra, tetapi ia tidak bisa memastikan kesulitan apa lagi yang harus dihadapinya dengan kedatangan tamu-tamu ini. Apakah mereka datang untuk mengajukan lebih banyak pertanyaan tentang imannya, atau hendak menuntut ganti rugi atas perbuatan yang mereka anggap salah, atau hendak mengancamnya secara fisik?
Ludwig sadar betul apa yang mampu dilakukan oleh orang-orang Batak itu. Sejumlah suku asli di Hindia Belanda (sekarang Indonesia) pada saat itu masih makan daging manusia. Dua misionaris Amerika yang lebih dulu diutus ke sana bertahun-tahun sebelumnya, telah dibunuh dan dimakan mereka. Beberapa kali mereka sudah mencoba meracuni Ludwig, dan setiap kali, Tuhan menyelamatkannya secara ajaib.
Namun, keenam orang yang datang kali ini tidak menunjukkan gelagat hendak mencelakai Ludwig. Mereka mulai mengajukan berbagai pertanyaan, sama seperti yang selalu mereka tanyakan sejak Ludwig tiba di tahun 1862. Beberapa pertanyaan lahir dari rasa ingin tahu, sebagian lainnya dimaksudkan untuk mengujinya, dan sebagian untuk menggertak. “Kamu berasal dari mana?” “Di mana surga dan bumi bertemu?” “Kapan kamu akan pergi dari sini?”
Dengan sebanyak mungkin kesabaran yang bisa dikumpulkannya, Ludwig mencoba memberikan jawaban yang masuk akal. Orang Batak memiliki kemampuan adu argumentasi intelektual yang hebat sehingga Ludwig harus selalu siap sedia ketika mereka mempertanyakan pokok-pokok imannya. Namun, kali ini para kepala suku tidak berniat mendengar jawaban yang ia berikan. Mereka hanya ingin mengintimidasinya. Lelah bertanya, mereka lalu meminta sang misionaris menghibur mereka.
Ludwig tahu bahwa ia tidak boleh membuat para kepala suku, yang sangat dihormati oleh penduduk kampung, merasa tersinggung, Jadi, untuk menghibur mereka, ia pun menunjukkan jam tangan serta foto-foto keluarga dan tanah kelahirannya, memainkan biola, bahkan memperagakan cara kerja kaca pembesar—yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. Ketika tiba saat makan siang, ia menawarkan kepada mereka hidangan sederhana, yang mereka lahap tanpa ragu-ragu.
Namun, rupanya itu masih belum cukup. Jelas sekali bahwa para kepala suku hanya ingin memprovokasi Ludwig. Mungkin mereka berharap ia akan kehilangan kesabaran dan memberi mereka alasan untuk mengejek agamanya yang seharusnya penuh damai. Sekali waktu Ludwig pernah mengusir seorang penyusup, dan masih merasa malu karena saat itu ia sempat tidak bisa mengendalikan emosinya. Para kepala suku mungkin berharap Ludwig akhirnya menyerah karena terus-menerus diganggu dan meninggalkan desa itu untuk selamanya. Menyadari hal itu membuat tekad sang misionaris makin kuat untuk tetap bersabar terhadap setiap tamu yang datang dengan niat membuat keributan—termasuk ketika salah satu dari mereka masuk ke kamar tidurnya tanpa diundang dan meludah di lantai untuk menghinanya. Ia hanya tersenyum lembut dan menatap mereka dengan mata birunya yang berbinar, seolah-olah perilaku mereka tidak mengganggunya.
Para kepala suku kemudian mencoba memberikan ancaman yang lebih spesifik. “Kami akan memotong kakimu dan melemparkanmu ke sungai,” kata salah satu di antara mereka. “Ah, kawan, kamu pasti hanya bercanda,” jawab Ludwig dengan tenang. “Jika kamu mencoba membangun rumah, kami akan membakarnya,” kata kepala suku yang lain. “Saya akan membangunnya kembali,” kata Ludwig segera. Percakapan semacam itu terus berlangsung sampai sore.
Tamu-tamu itu akhirnya mulai kelelahan. Sambil menguap, mereka berkata bahwa mereka perlu tidur siang. Ludwig berharap mereka akan segera pergi, tetapi sayangnya tidak! Keenam orang itu hanya merebahkan diri di lantai kayu dan tidur. Ludwig mendesah dan mencoba merapikan rumahnya selagi mereka mendengkur. Ketika mereka bangun, Ludwig menceritakan beberapa kisah Alkitab. Mereka mendengarkan dengan kurang berminat, kadang menyela dengan komentar-komentar yang tidak enak, lalu mengajukan banyak pertanyaan yang tidak terarah. Hari sudah gelap, dan sang misionaris sudah kelelahan. Tak sekali pun ia menunjukkan tanda-tanda ketidaksabaran, tetapi para kepala suku juga tidak menunjukkan tanda-tanda akan menyerah.
Sekitar tengah malam, Ludwig akhirnya tak kuat lagi menahan kantuk. Meski tidak nyaman membiarkan keenam laki-laki agresif itu menginap, ia tidak bisa membuka matanya lebih lama lagi. “Saya lelah,” ujarnya kepada mereka, “Saya harus tidur.”
Keenam laki-laki itu saling memandang. Jika orang asing ini akan tidur, ya, mereka juga. Mereka saling menatap sambil menganggukkan kepala, seolah-olah berkata, “Mari kita lihat berapa lama ia bisa bertahan.” Sekali lagi, mereka berbaring untuk tidur di tempat mereka duduk. Ludwig masuk ke kamar tidurnya, dan sambil berlutut, ia berdoa memohon agar Tuhan memberinya lebih banyak kesabaran dan belas kasihan untuk dapat tetap melayani. Tuhan telah mengutusnya untuk melayani orang-orang Batak. Jika Tuhan berkehendak agar ia tetap melayani di sana, enam kepala suku yang keras kepala itu tentu tidak akan dapat menghalanginya. Setelah berdoa, ia pun pergi tidur.
Udara sejuk menyapa ketika para kepala suku terbangun keesokan paginya. Di pedalaman Sumatra pada saat itu, udara dini hari memang biasanya cukup dingin. Keenam tamu Ludwig terkejut menemukan selembar selimut wol hangat di atas tubuh mereka masing-masing. Jelas bahwa sang misionaris yang telah mereka ganggu seharian itu telah bangun tengah malam untuk menyelimuti mereka. Para kepala suku Batak itu saling memandang dengan perasaan malu. Walaupun mereka telah sangat menyusahkan Ludwig, ia tetap memperlakukan mereka sebagai tamu-tamu terhormat, membalas permusuhan dan kekasaran mereka dengan kebaikan dan belas kasih yang besar.
Tanpa bersuara, mencoba untuk tidak membangunkan tuan rumah, para kepala suku melipat selimut-selimut itu, menaruhnya dengan rapi di atas meja, dan diam-diam meninggalkan rumah Ludwig.
Para kepala suku Batak tidak pernah melupakan peristiwa tersebut. Bertahun-tahun kemudian, salah satu kepala suku itu menceritakan kepada Ludwig betapa mereka sangat terkesan dengan kesabaran sang misionaris menghadapi mereka. Ia mengakui bahwa kesabaran Ludwig, didukung dengan berbagai upaya lain yang dilakukannya, telah mengubah sikap mereka terhadap Injil yang dibawanya. Ludwig tertawa kecil dan mengatakan kepada sang kepala suku itu bahwa perbuatan mereka sudah dimaafkan. Lagipula, ia menambahkan, memang itulah misi kedatangannya di tengah suku Batak di Silindung: memberitakan damai sejahtera dan pengampunan yang disediakan Yesus Kristus.
Satu hari bersama para tamu itu kurang lebih mencerminkan pelayanan Ludwig di tengah suku Batak. Selama lebih dari 50 tahun melayani di Sumatra, Ludwig menghadapi banyak perlawanan dari mereka yang menentang Injil, tetapi hal itu tidak pernah sekali pun membuatnya berhenti bersaksi bagi Kristus. Seperti Paulus, Ludwig menganggap bahwa menderita bagi Tuhan yang dilayaninya adalah sebuah kehormatan. Sikapnya menunjukkan kesabaran, tekad, dan iman yang telah membentuknya sejak muda dan yang membawanya ke lembah Silindung.