Oleh Agustinus 

Saya tak pernah menyangka, akan ada momen dalam hidup ketika ayah saya menghembuskan nafas terakhirnya dengan posisi tangan saya menggenggam tangannya. Momen pilu sekaligus haru ini sulit saya percayai karena hubungan saya dengan ayah jauh dari kata baik. Saya dilahirkan di luar pernikahan yang sah dan sepanjang hidup, saya menanggung banyak beban tak terkatakan dari predikat anak broken home.   

Relasi saya dengan Ayah terbentang jurang yang lebar dan dalam. Kami tak pernah dekat secara jarak ataupun emosi. Jejak hidupnya pun tak saya ketahui dengan persis. Namun, ketika kabar kecelakaan dan sakitnya menghampiri, saya memutuskan untuk merawatnya hingga Tuhan memanggil pulang.  

Singkat cerita, setelah Ayah meninggal, saya pikir saya bisa memulai kembali hidup dari nol. Saya rasa tindakan rekonsiliasi dan bakti yang saya lakukan selagi Ayah sakit sudah cukup membuktikan bahwa saya telah mengampuni dan mengasihi dia. Namun, dua tahun berselang, teror menyerang. Selama beberapa hari telepon-telepon tak dikenal menyasar tempat saya bekerja, mengklaim bahwa saya harus melunasi utang-utang almarhum. Tak cuma ke kantor, tapi juga ke rumah tempat ibu saya tinggal seorang diri.  

Sulit untuk mendeskripsikan perasaan saya saat itu dengan kata-kata. “Tuhan, haruskah saya mengampuni lagi? Belum cukupkah pengampunan kala itu hingga sekarang saya harus lagi membayar nominal utang yang jumlahnya tidak sedikit?” saya membatin dalam hati. Pun, utang-piutang itu bukan fiktif. Setelah melakukan pengecekan, itu utang yang legal dan terwariskan.   

Perlu Kasih yang Besar untuk Berbesar Hati   

Selama dua minggu mencari konsultasi secara rohani dan legal, saya memantapkan hati untuk mengambil jalan yang dikatakan oleh orang-orang di dekat saya sebagai tindakan menyerah. Saya memutuskan bernegosiasi dengan pihak pemberi utang dan melunasinya dalam tempo dua bulan.   

Nominal angka yang disetorkan memang terasa berat, tetapi yang lebih berat adalah bagaimana angka-angka itu menggulirkan lagi ribuan luka yang saya terima sejak dulu. Utang ini tak cuma bicara soal uang tetapi masa lalu yang belum selesai. Secara manusiawi, hati saya memberontak. Mengapa saya harus membayar sesuatu yang bukan kesalahan saya? 

Kasih adalah tindakan yang begitu agung, yang bersumber dari Allah sendiri, dan untuk memahami kasih itu, kita sendiri harus mengalami-Nya lebih dulu.

Namun, terpujilah Allah… sebab dalam masa-masa sulit ini perlahan Dia menuntun saya untuk melihat betapa kasih itu bukan sekadar konsep atau jargon orang Kristen. Kasih adalah tindakan yang begitu agung, yang bersumber dari Allah sendiri, dan untuk memahami kasih itu, kita sendiri harus mengalami-Nya lebih dulu.  

Alkitab memberi kita banyak kisah tokoh yang mengalami perubahan hidup setelah disentuh oleh kasih Allah, tapi barangkali yang paling kontras dan teringat dalam benak kita adalah kisah tentang Saulus, si penganiaya orang-orang Kristen.   

Saulus, seorang Yahudi keturunan suku Benyamin, memiliki status sebagai warga negara Kekaisaran Romawi. Dia lahir di Tarsus dan dididik oleh Gamaliel, seorang ahli Taurat yang dihormati. Selagi muda, Saulus hidup sebagai orang Farisi, mazhab yang paling keras dalam golongan orang-orang Yahudi. Orang-orang Farisi meyakini bahwa ketaatan mutlak terhadap hukum Taurat adalah satu-satunya jalan untuk memperoleh kebenaran di hadapan Allah, sehingga bagi Saulus ajaran Kristen adalah ancaman serius!  

Orang-orang yang percaya kepada Yesus mengajarkan bahwa keselamatan bukan lagi bergantung pada ketaatan kepada hukum Taurat, melainkan pada anugerah Allah melalui iman kepada Kristus. Bagi Saulus, kekristenan bukan sekadar ajaran sesat, tetapi sebuah penghujatan. Bagaimana mungkin Yesus, yang mati disalib—hukuman yang diperuntukkan bagi para penjahat—dianggap sebagai Mesias yang dijanjikan? Bagaimana mungkin seseorang yang disalib, yang menurut hukum Taurat adalah terkutuk (Ul. 21:23), justru disebut Anak Allah?  

Ketika para pengikut Kristus semakin bertambah, kekhawatiran Saulus pun semakin besar. Dengan penuh semangat, dia mengejar, menangkap, dan menganiaya orang-orang Kristen, dengan keyakinan bahwa dia sedang membela iman yang benar (Kis. 9:1-2). Namun, kita tahu bagaimana kisah ini berlanjut. Semangat Saulus untuk menganiaya umat Kristen seketika padam ketika dalam perjalanannya ke Damsyik, tiba-tiba cahaya dari langit menyelimutinya. Dia tersungkur, dan sebuah suara memanggil namanya, “Saulus, Saulus, mengapakah engkau menganiaya Aku?” Dalam kebingungannya, Saulus bertanya, “Siapakah Engkau, Tuhan?” Suara itu menjawab, “Akulah Yesus yang kauaniaya itu” (Kis. 9:4-5). Seketika, dia kehilangan penglihatannya dan harus dituntun ke Damsyik.  

Tiga hari kemudian, melalui perantaraan Ananias, Saulus bukan hanya mendapatkan kembali penglihatannya, tetapi juga menerima kasih dan anugerah Kristus. Dari seorang penganiaya, dia berubah menjadi pemberita Injil yang gigih, seorang rasul yang tak kenal lelah membawa kabar baik kepada bangsa-bangsa. Hidupnya kini sepenuhnya dimiliki oleh Kristus.  

Saulus, yang kemudian lebih dikenal sebagai Paulus, pada mulanya mungkin berpikir dia tahu segalanya tentang kasih Allah. Dia begitu yakin bahwa membela hukum Taurat, bahkan dengan kekerasan adalah bentuk kesetiaannya kepada Allah. Namun, segalanya berubah ketika dia mengalami sendiri perjumpaan dengan Kristus.  

***

Kisah transformasi hidup Saulus menggema kuat dalam hati saya. Saya memang bukan seorang penganiaya umat Tuhan, tetapi saya pernah seperti Saulus, berpikir seolah-olah sudah jadi yang paling tahu tentang Allah. Bila Saulus meyakini dia mengasihi Allah dengan membela hukum Taurat dengan kekerasan, saya meyakini bahwa saya telah mengasihi Allah hanya dengan keputusan mengampuni di satu titik.  

Kasih adalah tindakan aktif yang harus kita lakukan sepanjang perjalanan hidup, bukan garis akhir.

Namun, kasih bukanlah sekadar satu keputusan di masa lalu yang bisa kita simpan sebagai bukti bahwa kita sudah melakukannya. Kasih adalah tindakan aktif yang harus kita lakukan sepanjang perjalanan hidup, bukan garis akhir. Saya pikir saya telah cukup mengampuni ayah saya dengan merawatnya di masa-masa terakhirnya, tetapi kenyataan menunjukkan bahwa kasih itu harus terus diuji, bahkan dalam bentuk yang paling tak terduga—membayar harga untuk sesuatu yang saya rasa bukan kesalahan saya. 

Lebih lanjut, ketika Paulus menuliskan bahwa kasih “menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, dan sabar menanggung segala sesuatu” (1Kor.13:7), saya mulai memahami bahwa kasih juga bukan hanya tentang perasaan atau niat baik, tetapi juga tentang ketekunan untuk terus melakukannya. Jika saya ingin benar-benar mengasihi, saya harus terus mengalami Allah, sebab hanya Dialah sumber kasih itu sendiri.  

Kasih mungkin tidak menyembuhkan luka masa lalu saya, tetapi ia melapangkan jalan saya menuju masa depan—bukan dengan kepahitan, tetapi dengan keyakinan bahwa Allah yang telah memampukan saya kemarin, adalah Allah yang akan terus memampukan saya hari ini dan seterusnya. 

***

Hari ini, saat membaca tulisan ini, izinkan saya bertanya: adakah luka hati dari masa lalu yang masih terasa menyakitkan bagi Anda? 

Segala kesakitan yang kita alami adalah kesakitan yang otentik, yang mungkin sulit dipahami oleh mereka yang tidak persis mengalaminya. Saya memahami rasanya, karena saya sendiri pernah ada di sana—berusaha mengampuni, berpikir sudah selesai, tetapi kenyataan menuntut lebih dari yang saya kira sanggup saya berikan. Namun, saya juga kini memahami bahwa kasih yang sejati tidak pernah lahir dari usaha manusia semata. Paulus tidak bisa mengasihi umat yang dulu dianiayanya jika dia tidak lebih dulu mengalami kasih Kristus. Saya pun tak mungkin bisa mengampuni ayah saya jika bukan karena Allah yang lebih dulu mengampuni saya. 

Mungkin kita tidak dijumpai Tuhan Yesus dengan cara seperti Paulus yang disadarkan oleh cahaya di perjalanan ke Damsyik. Tetapi kita tetap bisa mengalami perjumpaan itu—melalui Roh Kudus yang berkarya dalam firman-Nya, yang menerangi hati kita, membuka mata kita untuk melihat kasih yang sejati. Kasih yang bukan sekadar teori, tetapi kasih yang menanggung, percaya, mengharapkan, dan sabar menghadapi segala sesuatu. Dan ketika kita mengalami kasih itu, kita pun dimampukan untuk meneruskannya—bukan karena kita kuat, tetapi karena kita telah lebih dulu dijumpai oleh Kasih yang mengubahkan segalanya. 

Tabik! 


Baca Juga:

Mungkinkah Kita Mengampuni dan Melupakan?

Mengampuni saja susah, apalagi melupakan. Itulah yang banyak orang katakan tentang mengampuni. Tapi, sebenarnya bagaimanakah pandangan Alkitab? Apakah benar harus melupakan dahulu, baru pengampunannya dapat dikatakan valid?


Pelayanan Our Daily Bread Ministries di Indonesia didukung terutama oleh persembahan kasih dari para pembaca, baik individu maupun gereja di Indonesia sendiri, yang memampukan kami untuk terus membawa hikmat Alkitab yang mengubahkan hidup kepada banyak orang di dalam negeri.