Monica Dwi Chresnayani

“Ngopi yukk… di rumahku. Sudah lama lho, kita tidak ngumpul.”

“Bu… anak teman kita sakit, dirawat di rumah sakit. Bagaimana kalau kita jenguk?”

“Orangtua anggota persekutuan kita meninggal. Dibawa ke rumah duka. Kita layat, yuk?”

Pernahkah Anda menerima ajakan seperti itu? Saya sering. Dan itu ajakan yang wajar saja. Apalagi, sebagai orang Kristen, yang diajar untuk saling mengasihi dan memperhatikan, kegiatan berkunjung dan memperhatikan teman sekomunitas atau sesama jemaat gereja, merupakan hal yang teramat biasa dilakukan. 

Sayangnya, satu setengah tahun ini, pandemi telah mengubah kehidupan hampir seluruh umat manusia di muka bumi. Hingga saat ini, pertemuan masih sangat dibatasi. Walaupun kelihatannya sudah banyak yang beraktivitas seperti biasa, tetapi belum semua kegiatan pulih sepenuhnya. Sebagian besar kegiatan gereja masih dilakukan secara daring. 

Ibadah daring membawa konsekuensi tersendiri. Salah satunya, kegiatan kunjungan dan kebaktian lingkungan secara luring (offline) juga masih belum diaktifkan kembali. Terlebih dalam suasana pandemi seperti sekarang, orang tidak mudah lagi saling mengunjungi. Selalu terselip kekhawatiran akan tertular penyakit atau terekspos dengan orang-orang yang tanpa disadari membawa virus.

Saya sendiri kerap mengalami dilema seperti itu. Di satu sisi, saya harus mempraktikkan kasih sebagaimana yang diajarkan oleh Yesus sendiri yaitu, “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Matius 22:39). Namun jujur, di masa pandemi ini cara saya mempraktikkan kasih menjadi sangat terbatas. Apakah penolakan saya mengunjungi jemaat yang sakit atau melayat teman yang meninggal berarti saya tidak mempraktikkan kasih? Bahwa saya egois? Tidak perhatian? Pertanyaan-pertanyaan itu begitu mengganggu pikiran saya. Terlebih lagi kita diperintahkan untuk tidak mementingkan diri sendiri, sebagaimana tertulis dalam Filipi 2:4, “Dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingan sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga.”

Bagaimana saya bisa memperhatikan kepentingan orang lain, sementara saya memilih berdiam di rumah? Apakah kasih bisa dipraktikkan, meski tanpa bertemu langsung? Apakah ucapan “saya akan mendoakanmu” atau “kita doakan” sebagai respons dari kondisi teman yang sedang kesusahan, berarti mempraktikkan kasih? Atau hanya sekadar ucapan kosong belaka, untuk menghibur hati yang gundah gulana dan menjadi jalan keluar dari keengganan mengunjungi sesama?

Kita belajar sekarang bahwa mempraktikkan kasih sebagaimana yang diajarkan Yesus ternyata tidak melulu berupa kehadiran fisik kita.

Namun, semakin saya merenungkannya, saya disadarkan oleh satu hal: bahwa sebenarnya kita terkungkung oleh “standar” praktik kasih itu sendiri. Terlebih dalam komunitas orang percaya. Namun, bukan berarti standar tersebut harus terus kita pertahankan kalau kenyataannya justru tidak memungkinkan. Pandemi ini telah mengubah banyak hal. Dan, mau tidak mau, suka tidak suka, kita harus mau berubah juga. Kita belajar sekarang bahwa mempraktikkan kasih sebagaimana yang diajarkan Yesus ternyata tidak melulu berupa kehadiran fisik kita. Seperti sudah disinggung di atas, mengurangi aktivitas berkerumun justru merupakan bentuk kasih kita kepada sesama dalam konteks pandemi ini. 

Saya pernah terpapar COVID-19 di bulan September 2020 yang lalu. Berulang kali saya mengucap syukur kepada Tuhan karena waktu itu saya memilih mendengarkan kata hati dan tidak melayat orang tua kolega yang meninggal hanya karena saya merasa sedikit demam. Saya tidak ingin menjadi agen pembawa virus kalau ternyata saya sebenarnya sudah terpapar. 

Padahal, keinginan itu ada, karena didorong oleh perasaan kasih dan keinginan mendukung rekan yang sedang tertimpa musibah. Namun, kasih pula yang membuat saya berpikir logis: saya tidak mau ia sakit karena saya. Dan ternyata, kekhawatiran saya benar! Seandainya waktu itu saya egois, mungkin saya sudah membuat kolega dan keluarganya terpapar virus COVID. 

Kalaupun ada hal lain yang ingin kita lakukan untuk “menggantikan” ketidakhadiran kita secara fisik, itu bisa berupa kiriman makanan atau keperluan yang dibutuhkan oleh saudara kita. Lebih dari satu kali, komunitas kami menggalang dana untuk dikirimkan kepada saudara yang sedang kesusahan. Memang kedengarannya klise, tapi untuk saat ini, perhatian dalam bentuk seperti inilah yang paling mungkin dilakukan. Hal lain, mungkin dengan cara menyapa mereka dan menanyakan keadaan mereka yang bisa dilakukan melalui berbagai sarana. Ketika saya dirawat selama 17 hari karena COVID, saya sangat dikuatkan oleh berbagai bentuk perhatian yang disampaikan oleh saudara dan teman-teman saya. Ada yang mengirimi berbagai keperluan, rutin menelepon sekadar untuk menanyakan kabar dan mendengarkan curhatan saya, mengirim video tingkah polah anaknya yang lucu, mengirimkan kesaksian pribadi yang menguatkan dalam bentuk voice note, sampai video pujian yang dinyanyikan khusus buat saya. Semua itu menyentuh dan menghibur hati saya meski tidak ada pertemuan secara fisik. 

Hal lain yang tak kalah penting, kita juga bisa tetap saling mendoakan. Doa pun merupakan bagian dari mempraktikkan kasih. Memang orang bisa dengan cepat mengatakan “aku akan mendoakanmu.” Itu tidak salah, asalkan tidak berhenti hanya di ucapan saja, tapi sungguh-sungguh dilakukan. Sebagai orang percaya, kita meyakini bahwa “Doa orang benar, apabila dengan yakin didoakan, sangat besar kuasanya” (Yakobus 5:16). Jika orang tersebut bisa sembuh dari sakitnya, itu bukan karena jasa kita yang telah berdoa baginya, namun karena karya Allah yang Maha Kasih yang telah berbelas kasihan pada orang yang kita doakan. Mengingat dan mendoakan saudara kita itu juga penting. 

Bila kita memiliki kasih dalam hati kepada sesama, apa pun yang kita lakukan, itu lahir dari hati yang tulus untuk mengasihi.

Mengasihi sesama dengan segala bentuk tindakan yang dilakukan itu bukanlah pilihan yang bisa kita lakukan atau tidak, namun ini adalah perintah. Seperti yang diungkapkan dalam Yohanes 15:12, “Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu.” Bila kita memiliki kasih dalam hati kepada sesama, apa pun yang kita lakukan, itu lahir dari hati yang tulus untuk mengasihi. Apa pun bentuknya, bila motivasinya adalah kasih, berarti kita sudah melakukan perintah Tuhan dan menyenangkan hati-Nya. Perintah Tuhan ini bukanlah perintah yang baru, juga bukan perintah yang sulit untuk dilakukan. Tidaklah mengherankan jika Yesus memberikan kalimat peneguhan mengenai hal ini dalam Matius 7:12: “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.”


Baca Juga:

Kala Pengampunan Terasa Mustahil

Konsep Allah tentang kasih sangatlah jauh berbeda dengan konsep kita. Kita ingin apa yang menyenangkan hati tetapi menghindari segala sesuatu yang menyakitkan. Sebaliknya, Allah bersabda, “Hendaklah kasih itu jangan pura-pura! Jauhilah yang jahat dan lakukanlah yang baik” (Roma 12:9). Bagaimana kita bisa tetap mengasihi dengan tulus dan rela mengampuni sesama, sekalipun hal itu mungkin merugikan kita?


Persembahan kasih seberapa pun dari para pembaca di Indonesia memampukan Our Daily Bread Ministries untuk menjangkau orang-orang dengan hikmat Alkitab yang mengubahkan hidup. Kami tidak didanai atau berada di bawah kelompok atau denominasi apa pun.