Dhimas Anugrah
Seorang gadis berdiri dengan anggun di atas mimbar berkarpet merah. Ayara (bukan nama sebenarnya) memimpin pujian dengan indahnya di hari Minggu itu. Angin berhembus lirih di luar gedung gereja, sementara puluhan anak berusia 15-19 tahun yang memenuhi ruangan remaja sedang merasakan hadirat Tuhan begitu nyata melalui lagu-lagu penyembahan yang Ayara lantunkan. Suasana begitu hidup, musik berpadu-padan dengan suara khas alto gadis berparas ayu itu. Ayara memang memiliki talenta yang luar biasa dalam praise and worship. Ketekunannya melayani menjadikannya teladan bagi anak-anak remaja yang lebih muda darinya, di awal tahun 2000an.
Beberapa tahun kemudian, Ayara sudah jarang terlihat di gereja, bahkan tidak pernah lagi terlibat dalam pelayanan. Ayah dan ibunya tampak enggan menjawab pertanyaan jemaat dan hamba Tuhan tentang mengapa putri mereka seakan menghilang dari gereja dan dari giat pelayanan. Beberapa teman dekatnya juga kesulitan menghubungi Ayara. Hingga akhirnya, orangtua Ayara berterus terang, “Putri kami sudah meninggalkan imannya. Dia sudah tidak mau ke gereja lagi, tidak mau jadi orang Kristen lagi. Kami orangtuanya, sangat sedih. Sekarang Ayara memeluk keyakinan lain.” Bak petir di siang bolong, sontak kawan-kawan dekat Ayara, hamba Tuhan, dan anggota jemaat lain yang ada di situ terkejut mendengar berita ini.
Seorang aktivis pelayanan yang karismatis dan bersemangat seperti Ayara undur dari imannya. Kenyataan ini tidak mudah diterima oleh banyak orang yang mengenalnya. Namun, kisah Ayara bukanlah satu-satunya. Ia hanya satu dari sekian banyak narasi tentang anak Tuhan yang meninggalkan imannya. Tiga kawan dekat saya adalah orang-orang yang rajin ke gereja, bahkan aktif melayani dengan sungguh-sungguh, tetapi mereka juga meninggalkan iman kepada Kristus. Undurnya mereka dari gereja dan iman Kristen tanpa menjelek-jelekkan Yesus yang pernah mereka cintai, merupakan kecup mereka yang terakhir kali pada kekristenan. Mereka pergi jauh meninggalkan Yesus yang pernah mati dan bangkit bagi mereka, entah sampai kapan.
Memang tidak mudah memahami mengapa seseorang dapat membuat keputusan meninggalkan imannya kepada Yesus Kristus dan meninggalkan persekutuan dengan saudara-saudari seiman lainnya. Cerita semacam ini tidak hanya terjadi pada zaman sekarang. Sejak masa Yesus pun banyak murid yang berhenti mengikuti Dia dan mengundurkan diri dari-Nya di Galilea (Yohanes 6:66), sehingga Yesus bertanya kepada kedua belas murid-Nya yang masih tinggal, “Apakah kamu tidak mau pergi juga?” Jawab Simon Petrus kepada-Nya: “Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? Perkataan-Mu adalah perkataan hidup yang kekal” (Yohanes 6:67-68).
Tentu, ini bukan alasan bagi kita untuk menyudutkan orang-orang yang meninggalkan iman. Mungkin saja kita berpikir mereka adalah orang-orang dengan hati seperti tanah yang ada di “pinggir jalan,” “tempat yang berbatu-batu,” atau “yang penuh semak duri” dalam perumpamaan Yesus (baca Matius 13:1-9). Namun, hanya Allah yang tahu dengan pasti kondisi hati mereka yang meninggalkan-Nya. Perumpamaan Yesus tentang empat jenis tanah ini hanya membantu kita mengingat bahwa dalam setiap komunitas Kristen, setiap orang memiliki hati dengan kondisi seperti yang digambarkan dalam perumpamaan penabur. Jika kita saat ini masih setia kepada Tuhan, itu semua hanya oleh karena karya-Nya (Filipi 2:12-13). Kita diajak untuk merawat hati kita sebagai tanah yang subur, yaitu mengizinkan sabda Tuhan tertanam dalam hati kita dan mengimaninya dengan serius.
Iman yang Rapuh
Ketika berada dalam situasi di mana orang percaya mengalami rasa sakit dan penderitaan yang menghantam iman jemaat, penulis Ibrani mengingatkan tentang esensi iman kepada orang percaya, “Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat” (Ibrani 11:1). Menurut seorang penafsir, kalimat ini merupakan sapaan penulis surat Ibrani kepada orang-orang percaya yang mengalami penganiayaan berat, sehingga iman mereka goyah. Ayat ini menunjukkan, keyakinan iman bukanlah tentang realitas yang tampak saat ini, tetapi tentang apa yang diharapkan. Iman adalah sesuatu yang kita yakini, meskipun kita tidak dapat melihatnya secara nyata atau menjelaskannya sepenuhnya.
Tetapi, situasi seperti apa yang membuat orang-orang seperti Ayara dan yang lainnya menjauh dari iman Kristen, bahkan menyangkalinya? Mereka meninggalkan Yesus bukan karena alasan teologis atau meragukan ketuhanan Putra Maria itu. Tidak. Dalam situasi ini, alasan-alasan mereka meninggalkan iman Kristen tidak ada hubungannya dengan esensi iman Kristen, seperti kematian, kebangkitan, dan kenaikan Yesus. Setelah ditelisik, mereka undur setelah mengalami kekecewaan dan ketidakpuasan yang menyayat-nyayat iman mereka. Ada harapan-harapan kepada Tuhan yang tidak menjadi kenyataan. Ada doa-doa yang tak terkabulkan. Ayara meninggalkan iman karena tak kunjung mendapat pasangan hidup yang sepadan. Ia menyambut pelukan hangat pria tampan nan kaya yang tak seiman, dan melepas rangkulan Juruselamatnya. Setelah lama menanti jawaban doa yang tak kunjung datang, ia memberi kecupan perpisahan pada kekristenan, iman yang dulu ia pegang teguh.
Selagi Masih Ada Waktu
Meski memprihatinkan, beberapa orang Kristen termasuk hamba Tuhan yang undur dari imannya bukanlah fenomena baru. Perjanjian Lama sudah merekam adanya umat yang menyimpang dari iman mereka kepada Allah, seperti Korah, Datan dan Abiram (Bilangan 16), Akhan (Yosua 7), Saul (1 Samuel 9). Demikian juga dalam Perjanjian Baru kita membaca kisah Yudas Iskariot, dan gambaran orang-orang yang undur dari iman Kristen, seperti orang yang murtad (Ibrani 6:4-6), serta banyak contoh lainnya.
Dalam kasus Ayara, di tengah kondisi hati yang kosong, hubungan pribadi dengan pria yang mampu mengisi kebutuhan Ayara akan kasih sayang yang intim bisa menjadi segala-galanya bagi dia, sehingga itu memberikan alasan untuk memilih menjalani kehidupan yang sebenarnya dia tahu itu berlawanan dengan nilai-nilai kebenaran yang sebelumnya ia pegang. Perpisahan kepada iman Kristen tampak dipengaruhi isu psikologis yang tak menemukan solusinya, di mana selera dan kebutuhan pribadi yang bersangkutan tidak menemukan jawaban dan penyelesaiannya di lingkungan Kristen.
Situasi ini mendesak kita berlutut di hadapan Allah, memohon belas kasih-Nya untuk jiwa-jiwa yang undur dari iman mereka. Jika di antara orang yang kita kenal ada yang undur dari iman kepada Kristus, mari kita mendoakan mereka. Selama ada kesempatan menjalin komunikasi, kita tetap diajak untuk tidak membenci mereka. Dengan demikian, mereka masih bisa menganggap kita sebagai teman atau saudara. Namun, jika Anda yang membaca artikel ini adalah seorang yang undur dari Tuhan Yesus, artikel ini ditulis bukan untuk membenci atau menghakimi Anda, tetapi justru karena Yesus mengasihi Anda, dan mari kembali kepada Kristus dan menerima keselamatan, selagi masih ada waktu.
Baca Juga:
Why Christian Kids Leave the Faith
(Mengapa Anak-anak Kristen Meninggalkan Iman Mereka)
Dalam buku Mengapa Anak-anak Kristen Meninggalkan Iman Mereka, Tom Bisset berbicara dengan terbuka dan jujur kepada orang-orang yang meninggalkan iman mereka. Buku ini wajib dibaca setiap orangtua dan mereka yang peduli dengan kondisi rohani anak-anak kita. Anda juga menemukan wawasan dan nasihat praktis untuk mewariskan iman Kristen secara lebih efektif kepada generasi berikutnya. (Buku dalam bahasa Indonesia)
Beli di sini
Pelayanan Our Daily Bread Ministries di Indonesia didukung terutama oleh persembahan kasih dari para pembaca, baik individu maupun gereja di Indonesia sendiri, yang memampukan kami untuk terus membawa hikmat Alkitab yang mengubahkan hidup kepada banyak orang di dalam negeri.