Dhimas Anugrah

Ketika artikel ini ditulis, sebagian besar masyarakat Indonesia bersiap merayakan Idul Fitri. Sebuah Hari Raya keagamaan yang memberi sukacita luar biasa bagi yang merayakannya. Menurut Budayawan Emha Ainun Nadjib, “Idul Fitri” secara sederhana dapat dimaknai sebagai “kembali ke asli,” “seperti bayi apa adanya.” Atau dengan kata lain, menjadi manusia yang tidak memakai topeng kepura-puraan. Pemaknaan ini memuat nilai yang luhur. “Kembali yang ke asli” memiliki pengertian menjadi manusia yang autentik. Menjadi manusia yang memiliki hati tulus, apa adanya, dan berikhtiar berperilaku bajik terhadap sesama manusia serta alam.

Dalam semangat saling menghormati antarumat beragama dan sebagai sesama anak kandung Ibu Pertiwi, umat Kristen sudah sepantasnya memberikan ucapan selamat Hari Raya Idul Fitri kepada saudara-saudari kita yang merayakannya.

Dalam konteks Kristen, menjadi manusia autentik juga merupakan nilai yang dimuat di dalam Alkitab. Umat Kristen diundang menjadi manusia yang autentik sebagai ekspresi kepercayaan hati mereka kepada Allah Sang Pencipta. Menurut KBBI frasa “autentik” berarti “asli” atau “tulen” dan “dapat dipercaya.” Maka, menjadi manusia autentik adalah menjadi pribadi yang selaras antara ucapan, tindakan, dan keadaannya yang asli sebagai manusia. Ia tidak “bermuka dua.” Autentisitas pribadi ini merupakan buah dari prinsip hidup keseharian seseorang yang ia terapkan secara konsisten. 

Autentisitas Berasal dari Hati

Alkisah, di sebuah kebun binatang yang terkenal karena koleksi keberagaman hewannya, suatu hari gorila di situ mati. Demi menjaga adanya aneka jenis hewan yang bisa ditonton para pengunjung, sang pengelola kebun binatang menyewa seorang pria untuk mengenakan baju gorila dan berpura-pura menjadi gorila yang mati tadi. Hari itu adalah hari pertamanya bekerja, dan ia tidak tahu bagaimana harus memerankan gorila dengan baik. Saat ia mencoba beraksi seperti gorila asli secara meyakinkan, tanpa sadar ia terlalu dekat ke dinding kandang buatan yang rapuh dan tersandung jatuh ke kandang singa di sebelahnya. Karena yakin hidupnya akan segera berakhir, ia sangat ketakutan dan spontan mau berteriak, tetapi singa yang ada di kandang itu dengan cepat mendekatinya dan berbisik kepadanya, “Hushh, diam, atau kamu akan membuat kita berdua dipecat!”

Cerita di atas mungkin saja lucu, tetapi kita bisa menarik sedikit pelajaran darinya. Bahwa manusia dapat saja mengenakan topeng atau kostum yang dikehendakinya dan berperan menjadi orang atau makhluk lain di hadapan sesamanya. Namun, peran sosok lain yang ia perankan bukanlah dirinya yang asli. Ia hanya memerankan sosok lain. Demikian pula dalam spiritualitas Kristen, seseorang bisa saja sengaja menampakkan diri sebagai orang yang saleh atau rajin beribadah, tetapi kehidupan sehari-harinya bertolak belakang dari apa yang ia suguhkan kepada orang lain. Lantas dari mana kita bisa belajar menjadi manusia autentik?

Sebagaimana kita tahu, hati adalah pusat dari eksistensi setiap insan. Manusia bukan sekadar pikirannya, perasaannya, maupun kehendaknya. Manusia adalah hatinya. Secara metaforis, hati merujuk pada esensi seorang individu. Hati adalah pusat komando jiwa: pikiran, perasaan, dan kemauan seseorang. Pengamsal mengatakan, “Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan” (4:23). Melalui ayat ini kita diajarkan untuk menjaga hati karena ia merupakan medan berisiko tinggi bagi kita, tempat yang rentan karena hati bisa mengarahkan perilaku manusia ke segala kemungkinan, baik itu kepada kebajikan maupun kejahatan. 

Yeremia 17:9 berkata, “Betapa liciknya hati, lebih licik daripada segala sesuatu, hatinya sudah membatu: siapakah yang dapat mengetahuinya?” Nats ini menjadi titik awas bagi kita, bahwa setiap orang memiliki tantangan tersendiri, yaitu sifat alamiah hati manusia: licik. Ini dapat termanifestasikan pada praktik orang yang memakai “topeng” kepalsuan, yang hanya ingin memamerkan kebaikan diri sendiri di hadapan orang, tetapi kebaikan itu tidak berasal dari hati. Topeng yang kita gunakan mungkin untuk menutupi berbagai hal buruk yang sebenarnya ada dalam diri kita, dan topeng itu bisa saja berbeda setiap hari. Tahukah kita, bahwa salah satu alasan mengapa kita tidak menjadi autentik dan menggunakan topeng merupakan gejala imposter syndrome, yaitu rasa takut bahwa orang lain akan mengetahui siapa diri kita sebenarnya. 

“Tapi Buka Dulu Topengmu . . .”

Memeriksa hati sendiri merupakan sikap yang penting, demi menjaga kewaspadaan dan kesadaran rohani kita

Lalu bagaimana? Mari buka topeng kita. Untuk itu, langkah awal yang bisa kita lakukan adalah berlatih memeriksa hati kita. Mazmur 26:2 mengatakan, “Ujilah aku, ya TUHAN, dan cobalah aku; selidikilah batinku dan hatiku.” Memeriksa hati sendiri merupakan sikap yang penting, demi menjaga kewaspadaan dan kesadaran rohani kita, seperti yang diteladankan pemazmur. Mengambil waktu teduh, memohon Roh Kudus mencelikkan kita akan kondisi hati kita sesungguhnya. Yesus mengatakan, “Karena dari hati timbul segala pikiran jahat, pembunuhan, perzinahan, percabulan, pencurian, sumpah palsu dan hujat” (Matius 15:19). Memeriksa hati kita sendiri perlu dilakukan, lalu mengakui di hadapan Tuhan segala hal dalam hati yang kita sadari itu masih najis, dan belum bisa kita taklukkan. Kita bisa saja tidak mengenal hati kita sendiri, tetapi Allah mengerti. Dia “mengetahui rahasia hati” (Mazmur 44:22; lihat juga 1 Samuel 16:7). 

Dengan demikian, ketika kita memeriksa hati secara terus terang, kita diundang untuk mengakui dan menyerahkan segala kelemahan kita pada Allah, agar melalui Roh Kudus-Nya kita dipimpin untuk mengatasi lubang-lubang dari dalam hati kita. Langkah selanjutnya, yaitu dengan melatih diri menjadi apa adanya. Memang kita didorong untuk hidup dengan seluruh potensi yang Allah berikan kepada kita. Namun, dalam penerapannya mungkin saja kita sering membandingkan diri dengan orang-orang yang kita anggap lebih sukses dari kita, dan lupa bahwa Tuhan tidak memberi semua orang kemampuan yang sama. Tidak semua orang memiliki keahlian, kreativitas, dan karunia yang sama. Akan sayang sekali jika kita gagal memaksimalkan kemampuan diri sendiri hanya karena kita terjebak pada obsesi menjadi sama seperti orang lain. Sudah saatnya kita menjadi manusia yang tidak bernafsu tampil lebih dari yang seharusnya. Contohnya, jika memang hanya mampu hidup sederhana, maka kita tidak perlu memboroskan uang, bahkan sampai rela berutang demi bisa makan di restoran mahal dan membeli barang-barang mewah demi bisa berfoto-foto lalu memajangnya di medsos supaya dipuji kawan-kawannya. 

Latihan menjadi diri sendiri apa adanya perlu kesediaan mematikan keinginan kita yang tidak wajar. Ini bukan berarti kita tidak boleh punya keinginan. Yang perlu dikelola adalah keinginan “yang tidak wajar,” seperti yang Yakobus katakan bahwa, “Tiap-tiap orang dicobai oleh keinginannya sendiri, karena ia diseret dan dipikat olehnya” (1:14). Dalam banyak kasus, keinginan yang tidak wajar inilah yang mendorong seseorang menjadi tidak autentik, bersandiwara, dan memakai topeng-topengnya, baik itu topeng sebagai “orang kaya,” “orang baik,” “orang yang rohani,” dsb. Memakai topeng semacam ini bisa menjadi pemicu penderitaan bagi diri kita sendiri.

Jika saat ini realitas kehidupan masih tidak seperti yang kita rindukan, memakai topeng dan menjadi tidak autentik bukanlah pilihan yang tepat. Kita diajak untuk menanggalkan topeng-topeng itu, agar kita terbebas dan mendapatkan pemulihan. Kita akan kehilangan banyak hal jika berusaha menyembunyikan diri dalam topeng. Melalui hangatnya silaturahmi serta saling memaafkan lahir dan batin, seorang Kristen pun turut diundang menjadi manusia yang autentik, apa adanya, tidak memakai topeng yang menutupi wajah sebenarnya.


Baca Juga:

Hidup Benar Dalam Budaya Sekuler

Bagaimana kita dapat mempertahankan iman kepada Allah di tengah budaya yang beragam dan berbeda dari keyakinan kita? Terimalah wawasan dari kehidupan Daniel yang akan menolong Anda melihat gaya hidup Anda sendiri, dan temukan cara hidup yang berbeda, penuh keyakinan, keberanian, dan pengabdian yang memuliakan Allah.


Pelayanan Our Daily Bread Ministries di Indonesia didukung terutama oleh persembahan kasih dari para pembaca, baik individu maupun gereja di Indonesia sendiri, yang memampukan kami untuk terus membawa hikmat Alkitab yang mengubahkan hidup kepada banyak orang di dalam negeri.