Haruskah ia mengadu? Perlukah ia melapor? Murid di sebuah SMA elit di Manhattan itu bingung menghadapi perundungan yang dilakukan oleh seseorang yang pernah menjadi teman sekelasnya. Orang itu sering mengejeknya dengan julukan-julukan rasis di depan mukanya. Teman yang lain ikut mengedarkan fotonya di sekolah, disertai tulisan “monyet.”
Karena ingin berusaha berkonsentrasi pada pelajaran sekolah, si murid bertekad untuk mengabaikan saja penghinaan itu. Ia juga tidak minta pelakunya dihukum. Ia sudah pernah melihat bagaimana murid-murid yang dikeluarkan dari sekolah mengalami kepahitan akibat hukuman semacam itu.
Namun, seorang guru yang sangat terusik mendorong sekolah untuk menawarkan solusi inovatif berupa keadilan restoratif. Tujuan utamanya untuk merestorasi atau memperbaiki kerusakan yang telah terjadi.
Kedua belah pihak dipertemukan, dan si murid serta perundungnya saling berbicara dan mendengarkan apa adanya. Pelaku pun akhirnya meminta maaf, dan persahabatan mereka terjalin kembali.
Apa yang membuat keadilan seperti ini berhasil membawa pemulihan? Belas kasihan. Itulah karunia ilahi yang menakjubkan. Bangsa Israel juga belajar bahwa ketika Allah menegakkan keadilan, Dia juga melimpahkan belas kasihan-Nya.
Kombinasi yang indah itu disediakan Yesus Kristus di kayu salib. Dia menderita demi penebusan dosa kita “satu kali untuk selama-lamanya” (Ibrani 10:10)—dengan itu, Dia memenuhi tuntutan keadilan Allah, sekaligus melimpahkan belas kasihan-Nya kepada kita.
Bangsa Israel yang berdosa menerima belas kasihan yang serupa. Ketika mereka mencobai Allah dengan persembahan yang hampa—korban bakaran, anak lembu berumur setahun, atau “puluhan ribu curahan minyak”, Mikha menegur mereka: “Hai manusia, telah diberitahukan kepadamu apa yang baik. Dan apakah yang dituntut Tuhan dari padamu: selain berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allahmu?” (Mikha 6:6-8).
Apakah keinginan kita berbelas kasihan kepada orang lain sebesar kerinduan kita menegakkan keadilan? Ingatlah, belas kasihan adalah berkat ilahi yang sangat berharga untuk diberikan kepada sesama kita.
Patricia Raybon, penulis Our Daily Bread
Baca Juga:
Mampukah Kita Berbelas Kasih?
Tidak selalu mudah bagi kita untuk menunjukkan karakter Kristus, terutama di tengah lingkungan yang mendorong orang mengejar ambisi demi kepentingan diri. Baca dan temukan bagaimana kita dapat menjadi saluran kasih dan kebaikan Allah ketika kita meneladani Kristus, Pribadi dengan belas kasihan yang tak berkesudahan.
Persembahan kasih seberapa pun dari para pembaca di Indonesia memampukan Our Daily Bread Ministries untuk menjangkau orang-orang dengan hikmat Alkitab yang mengubahkan hidup. Kami tidak didanai atau berada di bawah kelompok atau denominasi apa pun.