Oleh Dhimas Anugrah
Pernahkah kamu berlari mengejar kereta atau bus? Napasmu tersengal, jantung berdegup kencang, sembari berharap semoga belum terlambat. Itulah yang saya alami di Stasiun Alexanderplatz, Berlin. Meski kaki kiri saya sedang bengkak, saya tetap memaksa berlari demi satu tujuan: jangan sampai pintu keretanya keburu tertutup!
Ketika akhirnya saya berhasil duduk di dalam kereta, saya jadi bertanya dalam hati: kenapa saya begitu takut tertinggal? Dan lebih jauh lagi, mengapa perasaan ini begitu familiar, seolah bukan cuma terjadi di stasiun, tapi juga dalam hidup sehari-hari. Kita takut tertinggal, terlambat dalam urusan sukses, karier, pasangan, atau impian masa kecil yang belum tercapai.
Orang Jerman menyebut kegelisahan ini Torschlusspanik, panik ketika pintu-pintu kesempatan terasa mulai tertutup satu per satu. Seorang kawan saya, usia 31, mengalaminya. Sementara teman-teman seangkatannya meniti karier cemerlang dan posisi prestisius, dia masih karyawan biasa. Tapi, pergumulannya lebih dalam: sebagai orang percaya, haruskah dia merasa imannya kalah bersaing karena belum juga menuai keberhasilan? Dia bertanya, “Apakah aku terlambat menerima berkat yang seharusnya?”
Ketika Harapan Tertunda dan Waktu Terasa Melelahkan
Dalam terang iman Kristiani, rasa “terlambat” bukan pengalaman yang asing. Amsal 13:12 berkata, “Harapan yang tertunda menyedihkan hati…” Ini adalah pengakuan jujur bahwa penantian bisa melelahkan jiwa. Tapi, justru di sana letak potensi pertumbuhan yang besar. Penantian sering kali menjadi tempat pergumulan paling manusiawi, sekaligus ruang paling mengubahkan.
Kita ingat kisah Maria dan Marta saat menanti Yesus menyembuhkan Lazarus. Tapi Yesus datang “terlambat”. Lazarus sudah mati (Yoh. 11:6). Harapan seolah lenyap. Namun, justru dalam keterlambatan itulah Yesus menyatakan kuasa-Nya: kebangkitan Lazarus menjadi bukti bahwa waktu Allah tidak pernah salah. John Calvin menyebut penundaan Yesus sebagai tindakan ketaatan pada kehendak Allah dan demi kemuliaan-Nya. Yesus tidak digerakkan oleh panik manusia, tapi oleh kepastian kasih-Nya (Calvin’s Commentaries, 2010).
Dari sisi psikologi, para peneliti seperti Heckhausen dan Wrosch menjelaskan bahwa manusia punya dua cara menghadapi waktu yang terus maju: dengan mengubah situasi eksternal (primary control) atau menerima dan menyesuaikan diri secara batiniah (secondary control). Spiritualitas Kristiani membawa secondary control ke level yang lebih dalam: bukan sekadar pasrah, tetapi penyerahan diri aktif kepada pemeliharaan Allah. Dalam doa Serenity Prayer, Reinhold Niebuhr berkata: “Ya Allah, beri aku ketenangan untuk menerima yang tak bisa kuubah, keberanian untuk mengubah yang bisa, dan kebijaksanaan untuk membedakan keduanya.”
Iman membantu kita melihat bahwa keterlambatan bukan akhir dari segalanya. Kristus membuka pintu-pintu baru, bahkan saat pintu lama tertutup. Seiring pertumbuhan rohani, seperti dijelaskan teolog James Fowler, iman bukan lagi alat kontrol, tetapi kerangka makna: kita percaya kasih Allah tetap menopang saat hidup berjalan di luar kendali pribadi.
Maka tidak ada musim yang sia-sia. Tak ada usia terlalu tua untuk mulai bertumbuh, berdamai, mengasihi, atau kembali menemukan panggilan. Bahkan “terlambat” bisa menjadi awal yang baru. Yang penting adalah bagaimana kita menafsirkan waktu, bukan sebagai ancaman, melainkan ladang pertumbuhan jiwa dalam tangan Allah yang setia.
Tuhan Sengaja Terlambat?
Apa yang kita rasakan ketika Tuhan seolah “terlambat” menolong kita? Ketika doa belum dijawab, jalan keluar tak terlihat, dan hidup terasa di ambang kehancuran, sering muncul jeritan batin, “Tuhan, di mana Engkau?”
Kita ingin dihindarkan dari penderitaan. Tapi sering kali, Tuhan justru hadir di tengah penderitaan, bukan hanya memberi solusi, tapi mengundang kita kepada perjumpaan. Dia tidak bekerja dalam panik, melainkan dalam kairos, waktu ilahi-Nya yang mengubah bukan hanya situasi, tapi hati.
Dalam Alkitab, Musa menunggu 40 tahun di padang gurun sebelum panggilannya datang (Kel. 2:15–25). Yesus menunda empat hari hingga Lazarus benar-benar mati sebelum membangkitkannya (Yoh. 11:6). Abraham menanti puluhan tahun untuk menerima Ishak. Hana berdoa dalam kepedihan sebelum Samuel lahir. Tuhan tidak mempercepat proses demi kenyamanan, melainkan membentuk hati yang siap menerima berkat sebagai panggilan, bukan sekadar pemuasan keinginan.
Mungkin benar: Tuhan sengaja “terlambat.” Tapi, bukan karena Dia lupa, melainkan karena kasih-Nya cukup besar untuk tidak menyerahkan kita pada kepuasan instan. Dia ingin kita dibentuk, bukan hanya dipuaskan.
Doa-doa yang belum dijawab bukan penolakan, tapi bagian dari penggenapan. Kita bukan ditinggalkan. Kita sedang disiapkan. Dalam keheningan itu, bisikan Mazmur 31:16 menjadi nyata: “Masa hidupku ada dalam tangan-Mu.” Sebuah pengakuan bukan hanya teologis, tapi eksistensial, bahwa meski waktu terasa lambat, tangan Tuhan tak pernah terlambat.
Diproses, Tidak Ditinggalkan
Di tengah gempuran torschlusspanik, ketika waktu terasa seperti musuh, kita sering lupa satu hal: dalam Kristus, kita tidak dikejar waktu, tapi sedang diproses dalam cinta. Keterlambatan yang kita alami bukan bukti Tuhan absen, melainkan tanda bahwa Dia sedang berkarya lebih dalam dari yang bisa kita lihat.
Salah satu penyebab dari ketakutan akan “terlambat” adalah karena kita mulai mengukur diri dari performa, bukan identitas sebagai anak Allah. Kita merasa tidak cukup karena belum mencapai ini atau itu, dan menjadikan kesuksesan orang lain sebagai tolok ukur hidup. Dunia menyuruh kita cepat-cepat berhasil. Tapi, iman mengajak kita berjalan, bukan berlari. Menyerahkan waktu, bukan mengendalikan-Nya.
Doa bukanlah alat mempercepat proses. Doa adalah ruang suci tempat harapan dimurnikan, ambisi disucikan, dan hidup dibentuk menurut irama kasih Tuhan. Kita tidak memaksa Tuhan menyesuaikan langkah kita. Kita belajar menyelaraskan hidup dengan langkah-Nya.
Sebab, dalam narasi Kerajaan Allah, kecepatan bukan ukuran utama. Kesetiaanlah yang paling berarti. Maka, ketika segala sesuatu terasa lambat, jangan buru-buru berpikir Tuhan meninggalkan. Mungkin justru di situlah Dia paling dekat, sedang menanam akar yang lebih dalam dalam diri kita.
Mazmur 31:16 bukan sekadar penghiburan, melainkan deklarasi iman: “Masa hidupku ada dalam tangan-Mu.” Dan, jika tangan itu adalah tangan yang pernah terluka di salib demi kita, maka kita bisa percaya penuh: setiap detik hidup ini, betapa pun sunyinya, ada dalam genggaman kasih yang tidak pernah salah waktu.
Doa Ketika Merasa Terlambat
Tuhan,
berikan aku ketenangan dalam menerima musim hidupku,
keberanian tetap melangkah meski terasa lambat,
dan kebijaksanaan untuk melihat tangan-Mu berkarya dalam waktu yang tak kupahami.
Ajarku percaya bahwa penundaan bukanlah kegagalan,
dan bahwa Engkau tidak pernah terburu-buru,
tapi selalu tepat waktu menurut kasih-Mu.
Di dalam tangan-Mu, aku tidak terlambat.
Aku sedang diproses, dan itu cukup bagiku.
Amin.
Saksikan Juga:
HIDUP GAK SESUAI RENCANA???
Udah susun plan rapi, eh, malah muter ke arah yang gak pernah kamu duga. Contohnya: cape-cape kuliah jurusan A, tapi kerjanya malah di Z. Plot twist! Kita sering mikir hidup ideal itu lurus-lurus aja. Padahal, kata seorang pendeta, “Life is not a straight line. Hidup yang normal itu justru penuh plot twist!” Bahkan, Cak Lontong bilang, “Hidup itu seperti tempe, tidak ada yang tahu.” Guyonan ini receh, tapi dalem. Hidup memang penuh misteri, dan di sanalah Tuhan sering bekerja.
Jadi, kalau kamu lagi bingung sama arah hidupmu … ini bukan akhir cerita. Bisa jadi, ini awal dari plot twist Tuhan yang luar biasa. Pertanyaannya: kamu siap gak mengikutinya?
Pelayanan Our Daily Bread Ministries di Indonesia didukung terutama oleh persembahan kasih dari para pembaca, baik individu maupun gereja di Indonesia sendiri, yang memampukan kami untuk terus membawa hikmat Alkitab yang mengubahkan hidup kepada banyak orang di dalam negeri.