Pdt. Bungaran Gultom
Fenomena klitih menjadi pembicaraan yang cukup ramai di media sosial. Sekelompok anak remaja di Yogyakarta dengan senjata tajam di tangan secara acak menyerang siapa pun yang mereka jumpai. Korbannya kebanyakan anak muda yang sedang berkendara di malam hari. Berbeda dengan begal yang menyerang orang lain dengan tujuan mengambil harta korban, klitih adalah ajang menunjukkan keberanian untuk melukai orang lain.
Menurut seorang peneliti dari Fakultas Psikologi Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa, klitih merupakan ekspresi anak-anak remaja di wilayah Yogya dan sekitarnya untuk memperlihatkan eksistensi diri di kalangan mereka. Model pembuktian diri yang di luar nalar sehat dan bahkan destruktif. Fenomena yang menggelisahkan ini memang patut menjadi pembelajaran penting bagi orangtua dan gereja dalam mendampingi anak-anak remaja mereka yang sedang bertumbuh. Bagaimana menolong anak remaja menemukan jati diri mereka yang sejati?
Sirkel Remaja: Dibiarkan atau Dipaksa?
Bersosialisasi adalah karakteristik remaja ketika mereka mulai berinteraksi dengan teman sebayanya dan memisahkan diri dari keluarga mereka. Jika di masa kanak-kanak mereka cenderung menjadikan orang dewasa sebagai panutan, maka di masa remaja loyalitas beralih kepada peer group mereka. Tidak heran harga diri banyak anak remaja sangat bergantung pada kehidupan sosialnya. Sementara anak perempuan cenderung menempel pada sekelompok kecil teman dekat, anak laki-laki membangun jaringan sosial yang lebih besar. Persepsi mereka terhadap segala sesuatu biasanya dikaitkan dengan persepsi kelompok. Beruntung jika sirkel persahabatan dibangun atas nilai-nilai hidup yang berlandaskan pada apa yang baik dan benar, tetapi pernahkah kita membayangkan yang sebaliknya? Fenomena klitih atau kenakalan remaja lain seperti tawuran, narkoboy, bahkan seks bebas atau hubungan seks sejenis yang tentu saja tidak kalah mengerikannya, muncul karena banyak orangtua yang luput memperhatikan sirkel anak-anak remaja mereka. Meski bukan satu-satunya faktor, lingkungan pergaulan tampaknya berperan penting dalam menciptakan jati diri para remaja.
Sayangnya, orangtua sering kali bersikap kurang bijaksana dalam menangani pergaulan anak remaja mereka. Mereka cenderung ingin memaksakan pemikiran tentang apa yang mereka anggap baik dan benar, termasuk memilihkan sirkel remaja mereka. Mereka kerap lupa bahwa remaja mereka bukan lagi kanak-kanak yang bersedia menelan bulat-bulat perintah dan keputusan orangtuanya. Akibatnya, anak-anak remaja mereka jadi kesal karena merasa orangtua ikut-ikutan mencoba mengatur siapa yang harus mereka jadikan teman, tanpa mau tahu alasan di balik keputusan mereka.
Membangun Sirkel atau Sirkel yang Membangun?
Mungkin ada orang Kristen berpikir bahwa pernyataan Paulus, “Pergaulan yang buruk merusakkan kebiasaan yang baik” (1 Korintus 15:33) merupakan bentuk kesombongan terselubung orang Kristen yang merasa lebih baik dibandingkan orang non-Kristen. Seorang anak remaja yang pernah saya layani mempertanyakan kalimat ini karena dia menganggap bahwa tidak masalah untuk membangun persahabatan dengan gerombolan anak-anak nakal. Siapa lagi yang mau bersahabat dengan orang-orang seperti itu? Siapa yang akan mengingatkan mereka? Demikian argumen yang dibangun. Sayangnya, fondasi iman anak-anak remaja belum cukup kokoh untuk mampu membendung kenakalan peer group mereka sehingga akhirnya mereka malah terseret dan menjadi bagian dari aktivitas kenakalan yang mereka ciptakan.
Di sisi lain, ada sebagian anak remaja Kristen yang menyembunyikan diri dalam aktivitas kegerejaan dengan asumsi bahwa di gereja mereka mampu membangun sirkel yang lebih sehat. Apakah ini dapat dibuktikan? Sulit untuk menjawab bahwa sirkel yang dibangun di gereja pasti lebih sehat dibanding di luar gereja.
Kita semua sepakat bahwa jati diri seorang remaja memang ditentukan oleh sirkel mereka. Itu sebabnya membentuk sirkel yang membangun perlu didoakan secara serius dengan mengizinkan firman Allah memandu semua entitas yang Tuhan pakai untuk menjadi sirkel yang membangun bagi anak-anak remaja. Keluarga dan komunitas orang percaya dipanggil bukan hanya sekadar untuk mempelajari firman Tuhan, tetapi terlebih lagi menghidupi firman Tuhan secara serius. Mazmur 119:9 dengan jelas mengatakan, “Dengan apakah seorang muda mempertahankan kelakuannya bersih? Dengan menjaganya sesuai dengan firman-Mu.” Menjaga kehidupan yang sesuai dengan firman Tuhan adalah tugas semua orang percaya, bukan hanya remaja. Ketika orangtua bersikap masa bodoh dengan perkembangan anak remaja mereka, menutup ruang dialog yang membuat anak remaja merasa tidak didengar, atau dianggap penting, atau ketika gereja melihat sekumpulan anak remaja semata sebagai sumber daya yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan organisasi, maka sulit untuk menemukan remaja yang memiliki jati diri yang kuat dalam melawan segala bentuk kenakalan yang ada di sekeliling mereka.
Remaja yang Menemukan Jati Diri dalam Kristus
Menemukan solusi terhadap fenomena klitih, begal, dan kenakalan remaja lainnya bukan hal yang mudah. Namun, sebagai orangtua dan komunitas orang percaya, kita bisa memulainya dengan membentuk sirkel yang membangun bagi remaja agar mereka tidak terjerumus ke dalam kenakalan. Caranya adalah dengan menolong anak-anak remaja kita untuk menjadikan firman Tuhan sebagai landasan dalam membangun jati diri mereka. Kita bisa mulai dengan membangun mezbah keluarga. Melalui hal itu anak dapat diajak membaca firman serta menyaksikan bagaimana firman hidup di dalam keseharian kita. Alkitab perlu menjadi pegangan penting bagi seorang remaja untuk memahami bahwa, “Siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru” (2 Korintus 5:17a) dan sebagai ciptaan baru mereka diciptakan menurut kehendak Allah di dalam kebenaran dan kekudusan yang sesungguhnya (Efesus 4:24). Anak remaja yang memahami kebenaran ini justru akan sanggup menjadi bagian dari sirkel yang membangun bagi rekan sebaya mereka yang lain, apalagi jika kerinduan ini ditopang oleh keluarga dan komunitas orang percaya.
Baca Juga:
Sejarah Keluarga: Berkat atau Kutuk?
Ada pola-pola tertentu dalam sikap dan perilaku kita yang cenderung berulang dalam suatu garis keluarga. Sejarah apa yang sedang kita buat, dan wariskan?
Pelayanan Our Daily Bread Ministries di Indonesia didukung terutama oleh persembahan kasih dari para pembaca, baik individu maupun gereja di Indonesia sendiri, yang memampukan kami untuk terus membawa hikmat Alkitab yang mengubahkan hidup kepada banyak orang di dalam negeri.