Berkat ketekunan Ludwig, pelayanannya mulai menunjukkan hasil. Pada bulan Agustus 1865, ia membaptis orang-orang Kristen pertama di suku itu—empat laki-laki beserta istri dan anak-anak mereka. Selama beberapa bulan berikutnya, angka itu perlahan-lahan terus bertambah. Pada saat itu tidak mudah bagi orang Batak untuk mengambil keputusan menjadi Kristen. Banyak yang diusir dari rumah mereka, dikucilkan oleh kerabat satu marga, atau terus-menerus diserang karena meninggalkan agama leluhur mereka. Sebagai akibatnya, mereka kehilangan tempat dalam masyarakat serta kehilangan mata pencaharian mereka.

Awalnya, Ludwig menampung sebagian orang Kristen baru itu di rumahnya dan di pangkalan misi yang telah dibangunnya. Tantangan muncul ketika jumlah orang Kristen baru makin banyak. Pangkalan misi itu akhirnya ditata ulang menjadi sebuah perkampungan Kristen yang disebutnya Huta Dame, atau Kampung Perdamaian. Di kampung itu, sesama orang Kristen hidup berdampingan, bertani dan beribadah bersama di gereja baru yang dibangun di sana.

Namun penganiayaan tidak berakhir begitu saja. Di Kampung Perdamaian, Ludwig dan jemaat Kristen baru itu terus saja diserang. Orang-orang yang memusuhi mereka datang untuk mengacaukan ibadah, mengganggu para perempuan di ladang, memancing keributan dengan para pemimpin gereja, menuntut uang, menembak dan membunuh beberapa orang Kristen, serta menghasut kepala-kepala suku lainnya untuk menyerang Huta Dame. Sisingamangaraja XII bahkan pernah mengumumkan perang terhadap perkampungan itu, membuat Ludwig dan Peter Johanssen—misionaris yang diutus untuk membantu Ludwig—bersiap menghadapi yang terburuk.

“Kiranya Tuhan benar-benar mempersiapkan kita, agar kita siap untuk memuliakan nama-Nya dalam kematian kita,” tulis Ludwig kepada asisten pengawas Rhenish Missionary Society di negaranya. Seperti biasanya, pengampunan dan misi Allah mendominasi pikiran dan hati Ludwig. “Balaskan darah kami dengan mengutus para pembawa kabar damai,” ia menambahkan, “yang indah jejak langkahnya dalam mewartakan berita pendamaian, sehingga bangsa malang ini bisa belajar mengenal Juruselamatnya.”

Sekali lagi, Tuhan campur tangan untuk memelihara sang misionaris dan jemaat yang baru bertumbuh. Suatu pertengkaran terjadi di kalangan para kepala suku, mengalihkan perhatian mereka dari masalah Huta Dame. Kemudian, terjadi wabah cacar yang membuat mereka tidak berani memasuki wilayah itu. Ludwig selalu dapat melihat sisi baik dari semua hal yang terjadi. Meski perang itu berbahaya, ia mengamati bahwa perang juga bisa membawa para penduduk desa melihat betapa bernilainya kedamaian yang bisa ditemukan di dalam Yesus. “Jadi, kami juga berharap akan ada sesuatu yang baik muncul dari peperangan antarsuku Batak, dan kami percaya bahwa yang kami harapkan itu akan benar terjadi,” katanya.

Ia benar. Saat abad berganti, semua penduduk dari suku dan perkampungan Batak di wilayah itu telah bertobat dan menjadi Kristen. Gereja kecil yang didirikannya di Silindung telah menjadi jemaat lokal yang dewasa, dengan tatanan dan hierarkinya sendiri. Gereja itu juga berkembang secara signifikan dengan mendirikan “cabang-cabang” gereja di wilayah lain di sekitar Danau Toba, membangun sebuah seminari untuk melatih pendeta-pendeta setempat, serta organisasi misi yang menjangkau suku-suku Batak di wilayah lainnya.