Oleh Aryanto Wijaya

Kalau harus memilih antara naik kereta atau pesawat, hati saya selalu condong pada kereta. Alasannya sederhana: roda yang menapak pada bumi terasa lebih pasti ketimbang sayap kokoh yang melawan gravitasi. Tapi, itu kan asumsi saya. Fakta mengatakan bahwa pesawat udara adalah transportasi paling aman karena bila dibandingkan dengan motor, mobil, atau kereta api, rasio kecelakaan yang melibatkan pesawat adalah yang terkecil. 

Meski fakta ini tidak menghilangkan rasa takut, tapi saya mengalami sendiri bahwa ini memang bukan sekadar teori. Ketika saya pergi ke Singapura, pesawat Boeing 777-300ER yang saya tumpangi mengalami turbulensi cukup hebat. Saat sedang anteng mengudara, tiba-tiba pesawat menghujam turun selama tiga detik. Sensasinya seperti sedang naik lift tapi dengan kecepatan tinggi. Syok. Tubuh terangkat ke udara tapi berhasil tertahan oleh sabuk pengaman. Banyak penumpang berteriak, dari yang semula santai kini menjadi panik. Di balik jendela, tampak bagaimana bentangan sayap yang panjang itu berguncang. Seperti mau patah, tapi nyatanya tidak, hingga akhirnya pesawat pun mendarat dengan selamat. 

Di bandara, saat menunggu penerbangan lanjutan, saya iseng browsing fakta-fakta tentang pesawat dan turbulensi. Sejak krisis iklim terjadi, para ahli meteorologi memprediksi turbulensi akan lebih sering terjadi. Turbulensi sendiri adalah pergerakan udara yang tidak teratur, yang menyebabkan pesawat terguncang saat terbang. Namun, para insinyur pembuat pesawat telah memikirkan ini sejak awal. Dipilihlah material-material penyusun yang terdiri dari alumunium, besi, baja, titanium, dan komposit. Semuanya dirancang sedemikian rupa hingga menghasilkan rangka dan bodi yang kokoh sekaligus luwes, sehingga dalam kondisi diguncang turbulensi sekalipun, pesawat dipastikan tetap utuh, tidak patah di tengah jalan. 

Bila manusia yang terbatas saja bisa menciptakan suatu benda dengan begitu detail dan kokoh hingga tampak nyaris sempurna, bagaimana dengan Allah ketika Dia menciptakan kita?

Saya tercenung. Bila manusia yang terbatas saja bisa menciptakan suatu benda dengan begitu detail dan kokoh hingga tampak nyaris sempurna, bagaimana dengan Allah ketika Dia menciptakan kita? 

Untuk menjawabnya, kita perlu berangkat dari bagian pertama dari metanarasi Alkitab, yakni penciptaan. Setelah menuntaskan segala ciptaan yang lain—langit dan dan bumi, terang dan gelap, hewan dan tumbuhan—“Allah menciptakan manusia menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka” (Kejadian 1:27). Istilah “menurut gambar-Nya” menegaskan perbedaan antara manusia dengan ciptaan lain. Manusia dibentuk menyerupai Allah dalam kemampuannya untuk berpikir, berkomunikasi, mengerti akan mana yang benar dan salah, kreatif, dan mengalami hubungan dengan Allah serta satu sama lain. 

Pada akhir penciptaan, Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu sungguh amat baik (ayat 31). Namun, sayangnya manusia, dipengaruhi tipu daya Iblis, memberontak terhadap Allah dan jatuh ke dalam dosa. Hadirnya dosa membuat kita semua kehilangan kemuliaan-Nya. Rupa-rupa penderitaan pun merangsek masuk ke dalam setiap sendi kehidupan kita (Roma 6:23). Kita menjadi rapuh, bahkan mudah patah kala dihantam turbulensi. Pun kita mematahkan dan melemahkan yang lain, sesama kita juga sesama ciptaan. 

Akan tetapi, Allah, Sang Perancang alam semesta, tidak tinggal diam. Dia sendiri datang ke dalam dunia yang penuh turbulensi ini. Merelakan diri-Nya diguncang, terluka, dipatahkan, bahkan mati sebagai tebusan atas dosa-dosa kita. Ajaibnya, kematian-Nya justru menjadi awal kehidupan baru, yang memulihkan keping-keping hidup kita yang lemah. Di dalam Kristus, kita menjadi ciptaan baru yang mendapat kekuatan dari kehidupan-Nya. Di dalam Dia, kita mempunyai daya terbang yang kuat dan lentur, seperti pada tubuh pesawat yang saya tumpangi, yang mampu tetap kokoh meskipun banyak turbulensi yang tak terprediksi bisa menghadang kembali. 

***

Pada penerbangan lanjutan, saya masih merasa sedikit seram karena pesawat terus berguncang… tapi semua ini tidak membuat saya merinding. Saya renungkan lagi, mengapa respons saya antara penerbangan kedua dan pertama bisa berbeda. Agaknya, itu bukan karena saya terlatih naik pesawat atau bernyali besar. Tetap saja saya merasa takut. Namun, yang mampu membuat saya tenang adalah pengetahuan saya akan pesawat yang saya naiki—meskipun risiko kecelakaan bisa saja terjadi, tetapi saya tahu bahwa sebuah Boeing 777 yang sedang saya naiki tidak akan patah di tengah udara. Para insinyur pesawat terbang tahu bahwa untuk mengarungi angkasa yang luas dibutuhkan pesawat yang kokoh dan luwes. Jadi, tugas saya hanyalah mempercayai pilot dan fakta bahwa pesawat-pesawat telah dirancang sedemikian rupa untuk kuat. 

Lantas, saya jadi lanjut bertanya. Apakah saya bisa menerapkan yang sama dalam momen-momen turbulensi hidup? 

Stres karena ekonomi, penyakit yang tak kunjung sembuh, konflik-konflik pelik dalam keluarga dan pertemanan, hingga berbagai kepelikan yang terjadi dalam lingkup yang lebih besar akan selalu ada dalam perjalanan kita, seperti turbulensi yang menghadang penerbangan. Kita mungkin takut apabila kapal kehidupan ini dihantam badai hebat dan koyak, tetapi hendaknya kita selalu mengingat dan mengenal betul apa yang Mukhalis kita sabdakan. Saat Dia menciptakan kita semua, umat manusia. Dia berkata, “sungguh amat baik!” 

Kita mungkin takut apabila kapal kehidupan ini dihantam badai hebat dan koyak, tetapi hendaknya kita selalu mengingat dan mengenal betul apa yang Mukhalis kita sabdakan.

Kitab Suci memberikan kepastian yang kuat di tengah turbulensi yang pasti akan dihadapi anak-anak Tuhan. Kita dapat bertahan, bahkan menang, atas segala guncangan, karena kita “sekarang mempunyai Imam Besar Agung, . . . yaitu Yesus, Anak Allah.” Dia “bukanlah imam besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita, sebaliknya sama dengan kita, Ia telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa” (Ibrani 4:14-15). Dia tidak hanya pernah merasakan kelemahan dan cobaan yang kita alami, tetapi Dia juga sanggup menang atas semua itu. 

Karena itu yakinlah, kita tidak mengarungi perjalanan hidup kita sendirian, karena Yesus selalu menyertai dan memampukan. Datanglah kepada-Nya, karena Dia telah mengundang kita: “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu” (Matius 11:28).


Pelayanan Our Daily Bread Ministries di Indonesia didukung terutama oleh persembahan kasih dari para pembaca, baik individu maupun gereja di Indonesia sendiri, yang memampukan kami untuk terus membawa hikmat Alkitab yang mengubahkan hidup kepada banyak orang di dalam negeri.