Oleh Bungaran Gultom
Beberapa waktu lalu, saya mengunjungi gerai kopi untuk membeli minuman yang katanya sedang diskon. Di belakang saya, tiga orang pria ikut mengantre. Saat kasir tersenyum ramah dan bertanya, “Mau minum apa, Kak?” saya menyebutkan pesanan dengan santai. Tetapi, ketika melihat harga di layar mesin kasir, saya terkejut dan berkata dalam hati, “Kok harga normal?” Saya pun bertanya pelan, “Maaf, promonya masih berlaku?” Sang kasir tersenyum sambil menjawab, “Promonya sudah selesai, Kak. Sekarang hanya ada tambahan ukuran gratis.”
Rasanya ingin sekali saya protes keras dan batal membeli! Tapi apa yang terjadi? Saya diam, tidak komplain apa pun. Bukan karena bijak, tapi karena gengsi. Saya berasumsi kalau tiga pria di belakang saya pasti memperhatikan. Akhirnya, dengan setengah hati, saya membayar penuh harga kopi itu. Dalam hati, saya memaki diri sendiri: “Makan tuh gengsi!” Meski kesal, saya tidak bisa menahan tawa ketika menyadari betapa ego saya menguasai keputusan hari itu.
Friedrich Nietzsche, seorang filsuf kontroversial, menyebut dorongan utama manusia sebagai “kehendak untuk berkuasa” (will to power)—hasrat untuk mempertahankan citra diri atau menunjukkan kendali dalam kehidupan. Mungkin kita tidak menyadarinya, tetapi bukankah dorongan ini sering muncul dalam tindakan sederhana, seperti keputusan saya di gerai kopi tadi? Jika dorongan ini tidak tunduk pada kesadaran akan Allah, ia dengan mudah berubah menjadi kekuatan yang merusak—bagi diri sendiri maupun orang lain.
Kisah Nabal dalam 2 Samuel 25 memberikan contoh ekstrem dari dorongan untuk mempertahankan citra diri yang merusak. Nabal adalah seorang pria kaya raya dengan 3.000 ekor domba dan 1.000 ekor kambing, namun ia terkenal bebal dan tidak peduli terhadap orang lain, termasuk terhadap Daud, yang memintanya untuk membantu dalam keadaan sulit. Pada saat itu, Nabal sedang merayakan pengguntingan bulu domba—sebuah acara besar yang tidak hanya berarti perayaan hasil kerja keras, tetapi juga kesempatan untuk menunjukkan kekayaan dan status sosialnya. Namun, meskipun ia berada dalam posisi yang lebih dari cukup untuk berbagi, Nabal menanggapi permintaan Daud dengan sikap kasar dan egois, bahkan menganggap remeh hubungan mereka sebagai sesama keturunan Yehuda (lihat 1 Samuel 25:3; Bilangan 13:6; Rut 4:18-22).
Berbeda dengan Nabal, Alkitab menggambarkan Daud sebagai sosok yang bijaksana. Namun, dalam pasal ini, Daud tengah berada dalam kondisi yang tidak baik. Pada waktu itu, Daud sedang dikejar oleh Saul dan berusaha menghindari konfrontasi langsung, karena ia menghormati Saul sebagai orang yang telah dipilih oleh Allah untuk memerintah Israel. Meskipun Daud memiliki kesempatan untuk membunuh Saul (1 Samuel 24:1-22), ia memilih untuk tidak melakukannya. Daud mengutamakan ketaatan kepada Allah.
Ketika persediaan logistik Daud menipis, Daud memutuskan untuk mendekati Nabal dan meminta bantuan terkait perayaan pengguntingan bulu domba. Meskipun tidak ada penjelasan rinci mengenai motivasi ini, tampaknya keputusan tersebut didorong oleh rasa tanggung jawab moral sebagai saudara sesuku. Pada masa itu, pengamanan dan dukungan antar keluarga sangatlah penting. Namun, respons Nabal sangat mengecewakan. Mungkin karena mengetahui konflik antara Daud dan Saul, Nabal meremehkan Daud dan menolaknya dengan kasar. Ia bahkan mempertanyakan siapa Daud dan mencemooh permintaan Daud, tanpa memahami situasi sebenarnya.
Nabal berkata, “Siapakah Daud? Siapakah anak Isai itu? Pada waktu sekarang ini ada banyak hamba-hamba yang lari dari tuannya. Masakan aku mengambil rotiku, air minumku dan hewan bantaian yang kubantai bagi orang-orang pengguntingku untuk memberikannya kepada orang-orang yang aku tidak tahu dari mana mereka datang?” (1 Samuel 25:10-11). Nabal dengan gegabah menilai Daud hanya berdasarkan gosip yang beredar, tanpa mencoba mencari tahu kebenarannya.
Tanggapan negatif Nabal ini sangat mempengaruhi Daud, yang sudah berada dalam kondisi batin yang rapuh. Kematian Samuel, nabi yang selama ini menjadi penopang rohaninya, semakin menambah beban batin Daud. Ditambah lagi dengan semakin menipisnya persediaan pasukannya akibat pengejaran Saul. Reaksi Nabal yang menghina dan menolak bantuan ini membuat Daud marah besar. Dalam kondisi yang sudah tertekan, Daud bahkan merencanakan untuk membalas dendam dengan kekerasan terhadap Nabal dan keluarganya.
Menariknya, dalam situasi yang hampir berujung pada pertumpahan darah, tiba-tiba ayat 14 menyebutkan: “Tetapi kepada Abigail, isteri Nabal, telah diberitahukan oleh salah seorang bujangnya…” Tidak disebutkan nama bujang tersebut, namun siapapun dia, dia mengambil keputusan penting di waktu yang genting. Sebagaimana yang pernah disampaikan oleh Winston Churchill, “Ketakutan adalah sebuah reaksi. Keberanian, di sisi lain, adalah hasil dari sebuah keputusan.” Dengan keberanian, bujang ini datang kepada Abigail untuk menyampaikan ancaman yang akan terjadi jika dia tidak segera mengambil langkah untuk menenangkan hati Daud yang sedang murka. Kalimat pertama di ayat 14 ini adalah titik balik dalam kisah ini, yang mengubah jalannya peristiwa. Keberanian bujang yang namanya tak dikenal ini mampu mengatasi ketegangan yang ada dan membuka jalan bagi keputusan Abigail yang akhirnya meredakan kemarahan Daud.
Tidak berpangku tangan di tengah konflik membuat saya teringat akan doa Fransiskus Asisi yang sangat terkenal: “Tuhan, jadikanlah aku pembawa damai-Mu. Bila terjadi kebencian, Jadikanlah aku pembawa cinta kasih.” Dalam kisah Nabal dan Daud, cinta ditunjukkan lewat keberanian dan kepekaan terhadap situasi yang sedang terjadi. Bujang muda ini dapat membaca ancaman yang mendekat, dan bukannya mencari selamat sendiri, ia memilih untuk bertindak demi keselamatan banyak orang di sekitarnya. Prinsip ini tercermin dalam kehadiran Tuhan Yesus sebagai Raja Damai (Yesaya 9:5-6), yang mengabaikan ego-Nya untuk menyelamatkan kita. Itulah cinta yang dimaksud oleh Fransiskus Asisi, yaitu cinta yang berkuasa untuk meredam ego. Sebagai orang percaya, kita dipanggil untuk mengesampingkan agenda pribadi yang lahir dari ego diri dan lebih peka terhadap kebutuhan keselamatan orang lain.
Lebih jauh lagi, meskipun tidak mudah, menjadi duta perdamaian idealnya adalah usaha yang sinergis. Ini adalah panggilan bersama kita, khususnya bagi orang percaya yang sudah mengenal kebenaran (bandingkan dengan Yesaya 32:17; Roma 12:18). Baik dalam Perjanjian Lama maupun Baru, panggilan untuk menjadi duta perdamaian adalah tugas kolektif, panggilan bersama. Teladan telah kita lihat, dari sosok bujang muda yang datang kepada Abigail, yang menjadi pengambil keputusan, untuk mendorong tindakan yang diperlukan.
Akhirnya, kita diingatkan bahwa hidup dalam damai bukanlah sekadar tentang menghindari konflik, tetapi tentang pilihan aktif untuk meredam ego dan menyebarkan kasih. Seperti bujang yang berani bertindak demi keselamatan orang lain, kita juga dipanggil untuk menjadi pembawa damai dalam kehidupan sehari-hari. Yesus tidak hanya memberi perintah untuk berdamai, tetapi juga mengundang kita untuk ambil bagian dalam proyek Ilahi yang mengubah dunia. Bayangkanlah bagaimana keadaan dunia jika kita sebagai umat Allah sadar akan panggilan ini dan bekerja bersama, saling menopang untuk mewujudkan kedamaian.
Pada saat kita merayakan Natal, kita diingatkan bukan hanya untuk menerima damai sejahtera Allah, tetapi juga untuk membagikannya dengan orang di sekitar kita. Inilah tantangan yang sesungguhnya: Apakah damai yang kita terima bisa mengalir dalam setiap hubungan, memperbaiki yang rusak, dan menghadirkan kedamaian yang sejati?
Selamat Natal!
Tuhan Yesus memberkati.
Baca Juga:
Allah Beserta Kita: Renungan Natal 5 Hari
Natal kali ini, jumpai Kristus dari sudut pandang yang baru, dan sadarilah kehadiran-Nya dalam segala hal yang Anda alami!
Telah tersedia di Aplikasi Mobile Our Daily Bread dan juga YouVersion.
Pelayanan Our Daily Bread Ministries di Indonesia didukung terutama oleh persembahan kasih dari para pembaca, baik individu maupun gereja di Indonesia sendiri, yang memampukan kami untuk terus membawa hikmat Alkitab yang mengubahkan hidup kepada banyak orang di dalam negeri.