Oleh: Aryanto Wijaya

Desember lalu, saya mengambil cuti kerja lebih awal untuk melakukan liburan yang sedikit menantang: naik motor lintas provinsi. Dari Jakarta, saya berkendara ke timur menuju Jepara, lalu menyusuri jalan kabupaten ke selatan hingga tiba di Yogyakarta dan kembali lagi ke Jakarta di hari ke-enam. Ini bukan touring pertama. Sejak tiga tahun ke belakang, saya telah melakukan perjalanan motoran trans-Jawa seorang diri sebanyak delapan kali! 

Terlepas dari rasa capek dan risiko kecelakaan, touring memang hobi yang saya gemari sejak dulu. Dan, pada tiap-tiap perjalanannya, ada cerita-cerita menarik yang memperkaya batin. 

Saat saya berkendara di wilayah Banyumas, mendung pekat sudah menggantung. “Hadehh…” saya membatin. Agak sebal jika harus hujan lagi, karena artinya saya harus berhenti untuk pasang mantel hujan. Padahal, satu jam sebelumnya, saya baru saja melepas mantel setelah tiba-tiba hujan deras turun di wilayah Gombong. Ketika langit seolah sedang mengajak saya bercanda, saya pun berseru lantang. “Tuhan, tolong atuh jangan dikasih hujan lagi. Hujannya nanti aja deh kalau aku ini udah sampe di Cirebon…” 

Meski diucapkan dengan keras, seruan doa itu tampaknya hanya memantul di dalam helm yang saya kenakan. Tak sampai semenit, hujan deras kembali mengguyur dan saya pun menepi lagi untuk melakukan “ritual” pasang-copot mantel. Hati terasa dongkol. Namun, jiwa sentimental saya dengan lembut menyahut, “Hei… kan kamu sudah tahu mau motoran di Desember yang artinya musim hujan, ya harus terima risiko dong! Kalau mau cerah, geser cutinya di Agustus!” 

Sembari motor melaju di tengah guyuran hujan, cuitan-cuitan dalam hati pun terus bermunculan. “Hmmm… Sebenarnya kamu sadar gak sih? Hujan itu kan sebenarnya rahmat buat bumi. Karena hujan, ada air buat mengairi sawah, mengisi sumur-sumur. Tanah pun bersukacita. Kenapa harus ditolak cuma karena kamu merasa ribet kebasahan atau copot pasang jas hujan?” 

Jleb… 

Kini hujan tak lagi deras, hanya rintik gerimis dengan halimun yang tampak menggelayuti bukit-bukit menghijau di kaki Gunung Slamet. “Tuhan…” bibir saya mengucap. “Ampuni aku.” 

Saya menyadari betul bahwa hujan adalah rahmat bagi bumi, sehingga tidaklah elok menolak rahmat semesta itu hanya demi alasan kenyamanan saya semata. Maka, doa yang tadinya saya serukan dengan lantang, saya revisi dengan nada yang lebih tenang tetapi sambil tersungging senyuman senang, “Tuhanku, jika hujan harus turun, maka turunlah. Ajarlah aku yang kerdil ini untuk menikmati apa pun yang diturunkan langit bagi segala ciptaan di atas bumi.” 

Sejak doa itu terucap, saya tak lagi mengeluh soal hujan ketika pergi naik motor. Saya tak bisa mengendalikan hujan, dan memang tak perlu mengendalikannya. Yang bisa saya kendalikan adalah bagaimana saya harus merespons. Maka, jas hujan dengan kualitas baik telah saya siapkan. Ketika tirta turun dari angkasa, ia tak lagi jadi kendala yang menghambat perjalanan, melainkan jadi berkat yang memperkaya perjalanan saya. 

***

Pengalaman menjumpai hujan di tengah perjalanan itu mengingatkan saya akan kisah seorang raja bijaksana yang hidup berabad-abad lampau. Suatu ketika, TUHAN bersabda kepada raja itu, “Mintalah apa yang perlu Kuberikan kepadamu.” 

Sebagai seorang raja yang tentunya masih manusia biasa, mudah saja untuk meminta segala hal yang sifatnya lahiriah seperti kekayaan, kesehatan, dan sebagainya. Semua itu tentunya bukanlah permintaan yang salah. Namun, sang raja menjawab, “…Berikanlah kepada hamba-Mu ini hati yang penuh pengertian untuk menjadi hakim atas umat-Mu dan dapat membedakan antara yang baik dan yang jahat; sebab siapakah yang sanggup menjadi hakim atas umat-Mu yang besar ini?” 

Doa itu tercatat dalam Kitab 1 Raja-raja 3, dan menariknya, Allah berkenan dan merespons doa dari sang raja bijaksana bernama Salomo itu dengan berfirman, “Karena engkau telah meminta hal itu dan tidak meminta umur panjang dan kekayaan untuk dirimu sendiri, serta tidak meminta nyawa musuhmu melainkan meminta pengertian untuk menegakkan keadilan, maka Aku melakukan sesuai dengan permintaanmu. Sesungguhnya Aku memberikan kepadamu hati yang bijak dan penuh pengertian, sehingga sebelummu tidak ada seorang seperti engkau, juga sesudahmu tidak akan muncul seorang seperti engkau…” Pada ayat-ayat selanjutnya, kita pun diberitahu bahwa Allah mengaruniakan banyak hal baik lainnya kepada Salomo. 

Kita mengetahui bahwa semakin hari, tantangan hidup bukannya semakin sedikit, malah semakin banyak. Ketika menghadapi hal-hal yang sekiranya membuat sakit atau tidak nyaman, respons alami manusia adalah menghindarinya. Kita ingin hidup nyaman. Kita ingin hidup aman. Tetapi, hikmat dari firman Allah mengajari kita bahwa dunia yang telah jatuh ke dalam dosa, cepat atau lambat, sengaja atau tidak disengaja, akan menyajikan hal-hal yang tak ideal dan tak melulu selaras dengan maunya kita (Yakobus 4:1-2). 

Ketika keadaan tak mampu kita kendalikan, Tuhan kembali mengundang kita untuk menyadari bahwa kita bukanlah pemilik atau pun aktor dari segala sesuatu. Kita tak mampu mengendalikan badai, ataupun terbit terbenamnya matahari, tetapi kita punya kendali dan kuasa untuk mengatur bagaimana hati kita dapat merespons. Alih-alih menggerutu atau memaksa Allah memberkati kita dengan segala hal lahiriah, kita bisa memohon hikmat untuk mampu menikmati segala sesuatu yang Dia berikan. 

Menutup tulisan ini, saya mengundang kita semua untuk menghayati sebuah doa berjudul The Valley of Vision. Doa ini terdapat dalam kumpulan doa Puritan. Isinya begitu indah dan mengajak kita untuk melihat dan memaknai hidup dengan cara yang berbeda. 

Tuhan, tinggi dan suci, lemah lembut dan rendah hati.

Engkau telah membawaku ke lembah penglihatan.
Di mana aku tinggal di kedalaman tapi melihat-Mu di ketinggian.
Dikelilingi gunung dosa aku melihat kemuliaan-Mu.

Biarkan aku belajar dengan paradoks;
Bahwa jalan turun adalah jalan ke atas,
Bahwa menjadi rendah berarti tinggi,
Bahwa patah hati adalah hati yang disembuhkan,
Bahwa roh yang menyesal adalah roh yang bersukacita,
Bahwa jiwa yang bertobat adalah jiwa yang menang,
Bahwa tidak memiliki apa-apa berarti memiliki semua,
Bahwa memikul salib adalah memakai mahkota,
Bahwa memberi berarti menerima,
Bahwa lembah adalah tempat penglihatan.

Tuhan, di siang hari bintang bisa dilihat dari sumur terdalam,
Dan, semakin dalam sumur, semakin terang bintang-bintang-Mu bersinar;

Biarkan aku menemukan cahaya-Mu dalam kegelapanku,
hidup-Mu dalam kematianku,
kegembiraan-Mu dalam kesedihanku,
anugerah-Mu dalam dosaku,
kekayaan-Mu dalam kemiskinanku,
kemuliaan-Mu di lembaku. 

Diberkatilah perjalanan kita sepanjang tahun 2024 dengan penyertaan-Nya yang selalu hadir. 

Duc in altum!


Baca Juga:

Seri Terang Ilahi: Kitab-Kitab Hikmat

Hidup ini penuh dengan keputusan sehari-hari. Jam berapa saya akan bangun tidur? Apa yang harus saya kenakan hari ini? Akankah saya pergi berbelanja bahan makanan? Jika ya, apa yang akan saya beli? Kapan sebaiknya saya memeriksakan diri ke dokter, minggu depan atau minggu berikutnya?


Pelayanan Our Daily Bread Ministries di Indonesia didukung terutama oleh persembahan kasih dari para pembaca, baik individu maupun gereja di Indonesia sendiri, yang memampukan kami untuk terus membawa hikmat Alkitab yang mengubahkan hidup kepada banyak orang di dalam negeri.