Oleh Tabita Davinia Utomo

Pada tahun 2017, aku bertemu dengan seorang hamba Tuhan dalam salah satu ibadah yang diadakan di kota asalku. Kami pun berkenalan karena temanku—yang mengajakku—mengenal beliau. Setelah itu, hamba Tuhan tersebut bertanya, “Kamu kuliah di jurusan apa?”

“Psikologi, pak,” jawabku.

Awalnya, aku mengira ada dua kemungkinan respons beliau: mengapresiasi keberanianku untuk mempelajari jiwa manusia dan segala keunikannya, atau malah menertawakanku seperti beberapa orang lainnya—yang menduga aku akan bekerja di rumah sakit jiwa kelak. Di luar dugaan, beliau justru berkata, “Kamu tahu, nggak? Psikologi itu adalah ilmu yang dibuat oleh manusia berdosa, untuk menolong manusia berdosa, dengan cara yang berdosa pula.”

Di balik mulutku yang melongo, hatiku meringis dengan gelisah atas ungkapan sang hamba Tuhan. Berarti ilmu yang kupelajari ini enggak berguna, dong? Kan, ini ilmu buatan orang berdosa, batinku. Bahkan percakapan kami kala itu mendorongku berpikir bahwa satu-satunya jalan keluar dari masalah psikologis hanyalah dengan ilmu agama saja. Sangat ironis, karena ilmu yang kupelajari terasa tidak berguna untuk menolong orang lain yang sedang berkutat dalam masalah psikologis—apalagi jika mereka sudah mengalami gangguan mental—bahkan harus menjalani medication secara rutin. Namun, sejak itulah perjalananku untuk menemukan titik temu antara iman dan jiwa manusia dimulai.

“Mungkinkah Kekristenan bisa menolong manusia untuk pulih dari masalah psikologis?”

“Mungkinkah Kekristenan bisa menolong manusia untuk pulih dari masalah psikologis?” demikian pertanyaanku di akhir masa studiku.

Karena pertanyaan tersebut belum terjawab melalui studi sarjanaku di salah satu universitas negeri di Yogyakarta saat itu, aku memutuskan untuk melanjutkan studi magister Teologi konsentrasi konseling di Jakarta pada tahun 2019. Dari sinilah, aku dipertemukan dengan kenyataan bahwa siapa pun dapat mengalami masalah psikologis—bahkan gangguan mental yang membutuhkan pengobatan medis (psikoterapi)—tidak terkecuali orang Kristen.

Salah satu kisah yang mengawali masa studiku sebagai mahasiswa magister adalah kisah Jarrid Wilson, seorang pendeta megachurch yang memutuskan mengakhiri hidupnya di bulan September 2019. Ironisnya, sehari sebelum kematiannya, Wilson menulis demikian di X (dulu Twitter):

“Loving Jesus doesn’t always cure suicidal thoughts. 

Loving Jesus doesn’t always cure depression. 

Loving Jesus doesn’t always cure PTSD. 

Loving Jesus doesn’t always cure anxiety.

But that doesn’t mean Jesus doesn’t offer us companionship and comfort. 

He ALWAYS does that.”

Dalam bahasa Indonesia, Wilson mengatakan bahwa mengasihi Yesus tidak selalu melenyapkan pikiran-pikiran ingin bunuh diri, depresi, kekhawatiran, dan sebagainya. Tapi, itu juga tidak berarti Yesus tidak memberi kita penyertaaan dan penghiburan.

Apakah tweet dari Wilson di atas menandakan bahwa dia adalah orang yang beriman kepada Tuhan Yesus sepenuhnya, jika akhirnya dia malah memutuskan untuk bunuh diri? Apakah ini artinya iman Wilson adalah iman yang mati (Yakobus 2:17), karena kalau tidak, dia pasti masih hidup?

Tidak ada seorang pun yang berhak menghakimi atas keputusan Wilson, begitu pula denganku. Walaupun bagi sebagian orang bunuh diri adalah keputusan yang “melangkahi” kehendak Allah, atau pengalaman seseorang dengan gangguan mental adalah tanda “kurang iman”, bukan berarti Dia tidak peduli sama sekali pada mereka yang sedang bergumul di dalam fenomena ini. 

Mungkin kalimat di atas bersifat klise bagi sebagian orang, tetapi pada bulan ketika dunia memperingati kesehatan mental (yang tertanggal tiap 10 Oktober), aku ingin mengajak kita semua merenungkan beberapa poin berikut:

1. Setiap orang memiliki tendensi untuk mengalami masalah psikologis

Jika sampai hari ini Anda merasa baik-baik saja, selamat. Artinya, keadaan Anda sedang cukup stabil untuk beraktivitas tanpa diganggu oleh pikiran-pikiran negatif. Namun, kita perlu mengingat bahwa dosa telah merusak seluruh aspek tatanan hidup manusia (Kejadian 3)termasuk kesehatan mentalnya

Dosa telah membuat dunia menjadi tempat yang dipenuhi keinginan daging yang kemudian melahirkan rupa-rupa kepedihan. Mari kita lihat Hana! Pada kisahnya yang tertulis di 1 Samuel 1, Hana bersedih karena perbuatan Penina—istri kedua sang suami yang bernama Elkana—yang menyakiti hatinya. Alkitab memang tidak mencatat detail apa saja yang dilakukan Penina. Namun, dari kisah bahwa Hana tidak punya anak sedangkan Penina punya, besar kemungkinan Penina mengolok-ngolok dan merendahkan Hana. 

Tindakan Penina yang merupakan buah dari keberdosaan manusia pun membuat Hana terjebak dalam kubangan stres. Luka di hati Hana tak hanya mengguncang mentalnya, tetapi juga mempengaruhi fisiknya. Setiap hari dia menangis dan tidak mau makan (ayat 8), dan setiap kali datang pada TUHAN, Hana meluapkan segala isi hatinya sambil komat-kamit sehingga imam Eli menganggapnya sedang mabuk (ayat 14). 

Pada kisah Hana yang terjadi berabad-abad silam itu, belum ada yang namanya ilmu Psikologi, dan pergumulan batin manusia sering kali tidak terlalu diperhatikan oleh budaya yang berlaku saat itu. Namun, pada ayat 19, tercatat, “Tuhan mengingat Hana.” Sepenggal ayat ini adalah pernyataan kunci bahwa sepanjang segala masa, Allah tetap peduli pada setiap detail pergumulan anak-anak-Nya. Jika kita menilik kisah-kisah lain di Alkitab, kita akan menjumpai bahwa dalam pergumulan hebat yang mengguncang jiwa, Allah hadir; Dia menyertai Yusuf dan menjadikannya selalu berhasil (Kejadian 39:2); menyertai Yeremia untuk melepaskan dia (Yeremia 1:8). Dan, pada kisah ketika Lazarus telah meninggal, Yesus merasa terguncang, kesal, hingga Dia pun menangis (Yohanes 11:33, 35). Yesus mengenal betul dukacita dan kesusahan yang ditimbulkan dosa, tetapi tak hanya berhenti sampai di tahap mengasihani, Yesus bertindak dan mengadakan mukjizat pada Lazarus.

Saat ini, ketika zaman telah menjadi sangat maju, Allah tidaklah berubah. Dia tetap memperhatikan dan peduli setiap detail pergumulan anak-anaknya. Pertolongan-Nya dapat mewujud melalui ilmu-ilmu yang terus berkembang, untuk menyelidiki betapa kompleksnya tubuh dan pikiran manusia–sekaligus terlebih ajaib Dia yang merancangkan segalanya.

Saat ini, ketika zaman telah menjadi sangat maju, Allah tidaklah berubah. Dia tetap memperhatikan dan peduli setiap detail pergumulan anak-anaknya. Pertolongan-Nya dapat mewujud melalui ilmu-ilmu yang terus berkembang, untuk menyelidiki betapa kompleksnya tubuh dan pikiran manusia–sekaligus terlebih ajaib Dia yang merancangkan segalanya.

2. Gangguan mental tidak selalu muncul secara tiba-tiba, dan Tuhan peduli

Pada poin pertama, kita membahas bahwa kondisi dunia yang telah jatuh dalam dosa membuat kita dengan mudah mengalami rupa-rupa kepedihan. Dalam kasus spesifik gangguan mental, kepedihan yang kita alami mungkin terjadi secara terus menerus dalam suatu kurun waktu, atau mungkin juga terjadi satu kali tetapi berdampak begitu besar. Ada banyak faktor yang memengaruhinya, baik secara internal (seperti biologis dan kepribadian) maupun eksternal (lingkungan).

Jika dilihat dari sudut pandang ilmu medis, stres, trauma, dan sebagainya bisa mengakibatkan kerusakan pada otak maupun ketidakseimbangan pada zat kimiawi (neurotransmitter). Faktor keturunan juga memperbesar potensi munculnya gejala-gejala gangguan ini–ditambah lagi dengan lingkungan yang tidak kondusif untuk mendukung fase-fase perkembangan seseorang. Kita bisa melihatnya dari para penderita depresi dan bipolar, atau mereka yang pernah mengalami trauma dan tekanan dari lingkungan yang menyebabkan seseorang kewalahan (overwhelmed). Walaupun Alkitab tidak menyebutkan jenis gangguan mental maupun masalah psikologis yang dialami para tokoh di dalamnya, beberapa gejalanya dapat kita lihat dari beberapa kisah—di antaranya yang telah disebutkan dalam poin pertama.

Salah satu tokoh Alkitab yang mengalami depresi adalah Elia (1 Raja-Raja 19:1-18). Elia tidak tiba-tiba depresi setelah mengalahkan para nabi Baal di Gunung Karmel. Yang menyebabkannya depresi bukanlah karena Ratu Izebel yang mau membunuhnya, karena sebenarnya Elia sudah siap mati. Masalahnya, Elia tidak ingin kematiannya dikreditkan pada nama Izebel, sehingga dia segera meninggalkan Kerajaan Israel dan menuju ke Bersyeba—yang letaknya di Kerajaan Yehuda (atau Israel Selatan). Namun, yang menggarisbawahi pengalaman depresi Elia adalah ketika pemberitaannya kepada bangsa Israel—mengenai TUHAN Allah Israel sebagai satu-satunya Allah yang hidup dan layak disembah, tidak menghasilkan buah yang manis.

Ironisnya, Elia sudah menyampaikan Firman Tuhan sejak tiga setengah tahun sebelumnya bahwa Israel akan mengalami kekeringan panjang, dan hujan hanya akan turun jika Tuhan berkehendak. Ini adalah bentuk hukuman Tuhan atas penyembahan berhala yang dilakukan Israel yang saat itu dipimpin oleh Ahab dan Izebel. Bayangkan, di tengah-tengah kekeringan sekitarnya, air nyaris absen di mana-mana. Siapa yang bisa bertahan untuk melayani Tuhan dalam kurun waktu tersebut? Namun, setelah Tuhan menurunkan hujan, dan rakyat tidak kunjung bertobat, masihkah Elia mampu meyakini bahwa pelayanannya ini layak untuk dilanjutkan?

“Tidak ada yang bertobat,” mungkin demikianlah keluhan Elia kala itu. “Tuhan, ambillah nyawaku! Percuma aku melayani tetapi tidak menghasilkan apa-apa untuk-Mu di sini!”

Nyatanya, Tuhan tetap menguatkan Elia dan tidak mengabaikan kegelisahannya. Selain menguatkannya melalui makanan dan minuman, Tuhan juga berbicara secara pribadi dengan Elia dan memanggilnya kembali ke Israel. Pengalaman iman ini menguatkan Elia untuk melanjutkan pelayanannya di sana hingga akhir.

Tuhan yang sama juga hadir untuk kita, bahkan dalam titik terendah hidup ini. Apakah kita bersedia menyambut-Nya, dan berjalan bersama-Nya di dalam proses pemulihan dari hari ke hari?

3. Pengobatan medis HARUS berjalan bersamaan dengan konseling

Jika seseorang didiagnosis menderita gangguan psikologis dan menjalani pengobatan secara medis, bergantung sepenuhnya hanya pada obat-obatan bukanlah jalan bijak untuk menuju pemulihan. Sembari mengonsumsi obat untuk menyeimbangkan hormon atau menyelaraskan kinerja sel dan organ tubuh, kita tetap harus melakukan konseling. 

Beberapa teman menceritakan padaku bahwa pengobatan yang mereka lalui juga diiringi proses konseling. Dari cerita mereka, aku belajar bahwa keduanya perlu berjalan bersamaan—selama dibutuhkan. Jika pengobatan bertujuan “menyeimbangkan” neurotransmitter yang memengaruhi emosi seseorang, maka konseling hadir untuk menolong orang tersebut menyadari berbagai pola reaksi fisik dan psikisnya sebagai respons terhadap situasi yang sedang dihadapinya. Ibaratnya, kita tidak akan bisa berpikir dengan lebih jernih jika neurotransmitter kita tidak seimbang–sehingga proses konseling pun terhambat karena kita masih tenggelam  dengan masalah yang terjadi. Sebaliknya, pengobatan tanpa konseling tidak menyelesaikan masalah hingga ke akarnya–minimal, menumbuhkan kesadaran baru agar tidak melanjutkan pola perilaku yang sudah terbentuk. Di sinilah dibutuhkan kerja sama antara konselor, psikolog, dan psikiater untuk menolong klien kembali menjalankan fungsi hidupnya sebagaimana mestinya.

Sayangnya, belum semua tempat di dunia ini sudah memiliki fasilitas kesehatan mental yang memadai. Di negara kita, Indonesia, perbandingan antara psikolog dengan penduduknya sangat tidak seimbang: di tahun 2019, hanya 3 psikolog untuk 100.000 orang. Selain itu, masyarakat masih memiliki anggapan yang rancu mengenai peran antara peran konselor, psikolog, dan psikiater. Mudahnya, konselor berperan dalam menolong klien yang masih dapat menjalankan fungsinya sekaligus mengetahui gejala-gejala gangguan mental yang terjadi—agar dapat direkomendasikan ke psikolog; psikolog berperan dalam menegakkan diagnosis atas gangguan mental yang dialami klien, tetapi tidak dapat memberikan obat karena bukan dokter; psikiater berperan dalam membantu proses pengobatan klien melalui obat-obatan yang diberikan berdasarkan diagnosis sang psikolog. Ketiga profesi ini saling berkaitan, sehingga mereka butuh bekerja sama karena kadang-kadang diagnosis gangguan mental dapat berubah seiring berjalannya waktu.

4. Pentingnya support system yang sehat bagi para “pasien”

Seorang teman pernah menulis kisahnya dalam menghadapi skizofrenia yang berubah menjadi skizoafektif (judulnya “Tentang Menyintas dan Berpulih”). Dia menjelaskan bahwa awalnya keluarganya menentang keputusannya berobat ke psikiater karena hal itu tabu. Ironisnya, mereka justru mengirim temanku ke dukun agar diobati dan diancam akan dibawa kembali ke dukun tersebut jika dia pergi ke psikiater lagi. Walaupun demikian, temanku tidak berjuang sendirian: dia memiliki dosen dan teman-teman yang peduli sehingga menolongnya berproses pulih. Hanya karena belas kasihan Tuhan pula, keluarga temanku mulai berbesar hati dalam mendukung proses pemulihannya, bahkan ikut menemaninya berobat.

Tidak semua kisah pengobatan terhadap gangguan mental bisa memiliki support system yang demikian. Seorang kenalanku bercerita bahwa dirinya justru dianggap membebani keluarga karena gangguan mentalnya, sementara dirinya sendiri tinggal di wilayah yang minim akses menuju fasilitas kesehatan mental. Kenalan ini mulai tertolong ketika menjalani konseling online yang diadakan oleh sebuah sekolah teologi dan masih berlanjut hingga sekarang.

Di sinilah peran kita–orang-orang yang Tuhan panggil untuk “menjadi saudara dalam kesukaran” (Amsal 17:17). Di era digital ini, kita masih dapat terhubung dengan saudara-saudari seiman yang membutuhkan sentuhan kasih Tuhan–khususnya mereka yang sedang berjuang pulih dari masalah psikologis mereka. Bukan penghakiman yang mereka butuhkan, melainkan penerimaan dan dorongan agar mereka dikuatkan dalam melanjutkan proses pemulihan yang tidak selalu mudah.

5. Ada pengharapan bagi mereka yang mau percaya kepada Tuhan yang beranugerah

“Bagaimana kalau pengobatan ini harus berlangsung seumur hidup?”

Kondisi ini tidak terhindarkan, tetapi setidaknya kita memiliki kesadaran (awareness) yang terus-menerus berkembang mengenai diri sendiri. Tidak jarang kita bergumul dengan berbagai situasi yang menumbuhkan jiwa playing victim, dan ini perlu terus kita cegah. Ada kalanya kita ikut andil dalam situasi buruk, tetapi ada pula saat kita berada di posisi yang “tidak bersalah” yang terkena dampak buruk atas perlakuan orang lain. Ya, inilah akibat dosa yang merusak tatanan kehidupan bermasyarakat.

Di kehidupan kekal, setiap penyakit fisik maupun gangguan mental dipulihkan oleh-Nya (Wahyu 21:4)

Kabar baiknya, Tuhan menyediakan pengharapan agar kita tidak terjebak dalam situasi tersebut. Di kehidupan kekal, setiap penyakit fisik maupun gangguan mental dipulihkan oleh-Nya (Wahyu 21:4). Namun, sebagai orang berdosa yang masih tinggal di dunia hingga detik ini, kita juga perlu waspada agar tidak menggantungkan diri sepenuhnya kepada obat-obatan dan konselor, psikolog, dan psikiater. Kehadiran mereka memang bertujuan untuk menunjang agar kita kembali menjalankan fungsi dan peran kita masing-masing dengan cara yang sehat. Walaupun demikian, bagi sebagian orang, akan ada waktunya untuk belajar menumbuhkan kesadaran-kesadaran baru terhadap diri sendiri secara mandiri—tanpa harus disokong oleh obat. Ada pula yang masih akan terus berobat seumur hidup, tetapi dengan dosis yang terus disesuaikan dengan kebutuhannya.

Hadiah terbaik bagi kita semua adalah kita memiliki Allah yang memberikan anugerah bagi kita. Yusuf, Hana, Yeremia, hingga Paulus, adalah sederet tokoh-tokoh Alkitab yang mengalami pergumulan batin yang hebat dan mereka dipilih Allah untuk menyampaikan kisah tentang perbuatan-Nya yang ajaib bagi kita. Di tengah-tengah ketidaksempurnaan mereka, pengalaman iman mereka yang tertulis di Alkitab menegaskan bahwa kuasa Allah sungguh nyata bagi mereka yang bergantung penuh pada-Nya (2 Korintus 12:10). Allah yang sama sedang mengulurkan tangan-Nya pada kita; maukah kita berproses bersama-Nya untuk pulih selangkah demi selangkah?

“Psikologi itu adalah ilmu yang dibuat oleh manusia berdosa, untuk menolong manusia berdosa, dengan cara yang berdosa pula.”

Butuh enam tahun buatku untuk menggumuli pernyataan sang hamba Tuhan itu. Sekarang, dengan gelar sarjana psikologi dan magister teologi konsentrasi konseling, aku sadar bahwa pemulihan jiwa yang berdosa tidak bisa dipisahkan dari iman kepada Allah yang hidup. Hanya oleh anugerah Allah-lah iman dan jiwa dapat menemukan titik temunya dalam satu kata: integrasi. Tanpa menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat secara pribadi, maka pemulihan jiwa hanya bersifat fenomena–tidak mencapai akar permasalahannya. Hanya Kristus yang sanggup memulihkan jiwa kita seutuhnya, dan–sebagai orang percaya–kita juga bertanggung jawab untuk tidak menyia-nyiakan anugerah-Nya ini. Jika pintu pemulihan telah terbuka, masihkah kita ingin menolak masuk, karena takut akan “kenyamanan” yang terusik?

Kiranya Allah Tritunggal senantiasa menolong kita memutuskan rantai setan yang membelenggu jiwa yang rapuh ini.


Kunjungi:

Menjaga Kesehatan Mental di masa Sulit

Pertanyaan “Bagaimana kabarmu?” tidak selalu mudah dijawab. Adakalanya kita sendiri tidak tahu pasti keadaan diri kita. Kunjungi website yang kami desain khusus untuk menolong Anda atau siapa saja yang membutuhkan pertolongan Tuhan untuk menjaga kesehatan mental.


Pelayanan Our Daily Bread Ministries di Indonesia didukung terutama oleh persembahan kasih dari para pembaca, baik individu maupun gereja di Indonesia sendiri, yang memampukan kami untuk terus membawa hikmat Alkitab yang mengubahkan hidup kepada banyak orang di dalam negeri.