Monica Dwi Chresnayani

Cinta. Kata ini sering digambarkan sebagai sesuatu yang menawan hati, penuh romansa, dan punya kekuatan besar untuk mengubah sosok yang paling berkepala batu sekalipun. Namun, pada kenyataannya, untuk mewujudkan cinta yang demikian tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Ada proses yang begitu panjang, khususnya bila cinta itu berbicara tentang hidup berpasangan.

Ketika dulu pertama kali saya mengenal calon suami saya, semua yang baik-baik di dirinya, itulah yang tertangkap oleh mata dan indera saya. Dia ganteng, baik, setia, sopan, pintar, calon dokter pula. Sederet kebaikan itu membuat banyak wanita jatuh hati padanya (ehm!), tapi sayalah yang beruntung mendapatkan cintanya. Keluarga dan teman saya pun beranggapan bahwa jika bersamanya, masa depan saya akan cerah dan bahagia. Pikiran saya mengamini itu semua.

Ketika kami menikah lebih dari dua dasawarsa lalu, perjalanan merajut cinta yang sesungguhnya pun dimulai. Di masa-masa awal ini kami mulai merintis karier dan masih sama-sama muda. Secara fisik keadaannya tidak banyak berbeda dari masa pacaran—gairah muda yang meletup-letup, terimbangi oleh fisik yang sehat dan kuat. Dari segi ekonomi, ini adalah masa-masa menikmati anugerah kemudaan dan kejayaan. Ketika pekerjaan mulai mapan, dan kehidupan pun mulai tertata dengan baik, inilah yang kami maknai sebagai musim semi kehidupan, momen saat kehidupan mulai mekar dan berbuah.

Ketika Cinta Berganti Musim

Konon kata orang, hidup manusia itu ibarat hari-hari dalam satu minggu. Usia dua dan tiga puluhan, adalah masa usia hari Selasa dan Rabu. Kini, saya dan suami telah memasuki usia lima dekade. Jika menggunakan analogi hari, maka hidup kami sudah berada di hari Jumat. Sebentar lagi hari Sabtu, lalu Minggu. Padahal, kata Alkitab, “Masa hidup kami tujuh puluh tahun dan jika kami kuat, delapan puluh tahun, dan kebanggaannya adalah kesukaran dan penderitaan; sebab berlalunya buru-buru, dan kami melayang lenyap” (Mazmur 90:10).

“Masa hidup kami tujuh puluh tahun dan jika kami kuat, delapan puluh tahun, dan kebanggaannya adalah kesukaran dan penderitaan; sebab berlalunya buru-buru, dan kami melayang lenyap.” (Mazmur 90:10)

Ayat ini membuat saya mengenang kembali jalan panjang yang telah dilalui dalam hidup berpasangan. Apa yang pemazmur tuliskan benar adanya, sebab di masa ini pula, kejayaan dan kemudaan dalam musim semi kehidupan mulai surut. Kami telah masuk ke dalam fase musim gugur, saat fisik kami tak lagi sekuat dan seprima dulu, dan karier mulai meredup dan siap digantikan oleh mereka yang jauh lebih muda.

Di fase inilah kami mulai menyadari bahwa ternyata banyak harapan dan impian yang dulu dibina di masa muda, belum atau bahkan tidak mungkin terwujud. Dulu, saya berharap suami saya bisa melanjutkan pendidikan spesialis setelah dia lulus menjadi dokter. Kenyataannya, tidak semudah itu. Kehadiran anak-anak dan keruwetan membesarkan mereka, ditambah berbagai faktor lain, membuat kami terpaksa mengambil keputusan untuk menunda dulu impian itu. Namun, di kemudian hari, kami justru menyesali keputusan itu. Berbagai halangan yang tidak terduga membuat cita-cita itu tidak pernah terwujud.

Di masa ini juga, banyak sekali perubahan yang terjadi dalam diri suami saya. Dia yang dulu bugar dan prima, mulai “dihajar” dengan berbagai penyakit khas usia tua. Mulai dari diabetes, hipertensi, hingga pelupa dan kurang fokus. Tidak hanya itu, tak jarang mentalnya pun banyak berubah. Bila dulu sabar dan lembut, sekarang menjadi pemberang dan cepat marah. Pasangan yang sudah berumur juga menjadi semakin tidak mandiri, sesuatu yang sangat jauh berbeda dari masa mudanya. Apa-apa perlu dibantu dan diingatkan. Padahal, setelah sukses membesarkan anak-anak menjadi orang-orang yang mandiri, sekarang malah harus menghadapi pasangan yang semakin tidak mandiri! Saya merasa seperti terjebak dalam perahu yang terkatung-katung di tengah laut bersama seorang asing yang tidak saya kenal. Ingin rasanya turun dari kapal ini dan pergi meninggalkannya, tapi mau pergi ke mana? Tidak ada yang bisa meninggalkan kapal di tengah laut yang sunyi.

Namun, sosok yang saya anggap semakin tidak mandiri itulah yang setia memelihara cintanya. Ketika kakak yang saya kasihi meninggal secara mendadak, saya mengalami kehilangan yang amat mengguncang hati. Berhari-hari saya meratapi kehilangan, suami saya tidak banyak bicara, melainkan dia berusaha menemani dan tidak membiarkan saya melakukan pekerjaan-pekerjaan berat. Dia bahkan berusaha menghibur dengan membelikan makanan-makanan yang dia tahu saya sukai. Hampir sepuluh hari saya jalani berdua saja dengannya. Perlahan saya mulai bisa menerima kehilangan itu dan mulai merasa tenang, walaupun kesedihan itu tentu masih ada.

Setelah sepuluh hari menemani masa perkabungan, suami saya pun kembali bekerja dan meninggalkan saya sendirian di rumah. Awalnya biasa saja. Tapi, tak lama setelah kepergiannya ke kantor, hati saya dilanda perasaan sedih yang luar biasa. Ada ketakutan mencengkeram, seolah suami saya tidak akan kembali pulang ke rumah. Saya menangis sejadi-jadinya, tanpa bisa ditahan. Di titik itu saya sadar, bahwa ternyata kehadirannya selama inilah yang membuat saya tenang. Meskipun dia sudah banyak berubah dan banyak pula harapan saya kepadanya tak terwujud, tetapi ternyata, hanya kehadirannya saja mampu membuat saya tenang dan bahagia.

Momen ini menyadarkan saya bahwa saya tidak boleh membiarkan pernikahan ini hancur. Saya harus berusaha keras membangun kembali kemesraan yang dulu. Bagaimanapun, dia tetap orang yang sama, yang selalu mencintai saya dengan setia, terlepas dari segala kekurangannya.

Memelihara cinta dalam ikatan pernikahan tidaklah sama dengan masa ketika berpacaran. Pada masa pacaran, tujuannya adalah saling mengenal dan menjajaki kecocokan. Jika ada satu saja yang tidak sreg, bisa langsung coret dan move on ke calon yang lain. Itu privilese dari masa muda sebagai orang-orang yang belum terikat dalam pernikahan. Namun, dalam pernikahan di fase musim gugur, tentu saja tidak bisa main coret dan move on ke orang lain ketika seolah tak ada lagi kebaikan yang diterima dari pasangan. Perjalanan memelihara cinta melalui berbagai musim ini mengingatkan saya bahwa meskipun terasa sulit, kekuatan untuk mencintai sepanjang waktu sejatinya adalah DNA kita sebagai anak-anak Allah.

Perjalanan memelihara cinta melalui berbagai musim ini mengingatkan saya bahwa meskipun terasa sulit, kekuatan untuk mencintai sepanjang waktu sejatinya adalah DNA kita sebagai anak-anak Allah.

“Kita telah mengenal dan telah percaya akan kasih Allah kepada kita. Allah adalah kasih, dan barangsiapa tetap berada di dalam kasih, ia tetap berada di dalam Allah dan Allah di dalam dia” (1 Yohanes 4:16).

Bukan itu saja, tetapi kasih Allah itu sungguh tak bersyarat, karena Dia mengasihi kita “ketika kita masih berdosa” (Roma 5:8), artinya ketika kita tidak sempurna.

Bila sebagai orang yang sudah dikasihi dan diterima oleh Allah tanpa syarat, tanpa harus menguntungkan Allah (meski sebenarnya Dia sangat layak menuntut sesuatu dari kita karena berkat Dia kita diselamatkan), apakah layak kita ‘hitung-hitungan’ dengan sesama kita? Layakkah kita menuntut sesuatu dari pasangan kita sebagai syarat agar kita mau menerima dia? Bukan hanya dengan pasangan yang sudah mengecewakan, tetapi terhadap semua orang yang tidak mendatangkan keuntungan bagi kita, yang tidak bisa membalas kebaikan kita, yang sudah menolak kita, bahkan yang benci kepada kita.

Ketika kita sampai pada pemahaman ini, hati kita akan dibebaskan dari belenggu ketidakmampuan untuk mengasihi orang lain tanpa syarat. Kita akan terlepas dari ‘beban’ harus melayani sesama padahal kita tidak ingin mengasihinya. Kasih Allah yang begitu besar justru akan memampukan kita untuk melihat di luar semua ketidaksempurnaan orang lain, melihatnya sebagaimana Allah melihatnya.

Dari musim semi hingga ke musim gugur, jelaslah kini saya melihat, merasakan, dan mengalami bahwa kasih itu “sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi ia bersukacita karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu. Kasih tidak berkesudahan…” (1 Korintus 13:4-8).


Baca Juga:

Mengenal Kasih Sejati

Dalam dunia yang memaknai cinta kasih dengan begitu bebas, bagaimana kita bisa tahu kasih mana yang sejati?


Pelayanan Our Daily Bread Ministries di Indonesia didukung terutama oleh persembahan kasih dari para pembaca, baik individu maupun gereja di Indonesia sendiri, yang memampukan kami untuk terus membawa hikmat Alkitab yang mengubahkan hidup kepada banyak orang di dalam negeri.