Oleh Monica Dwi Chresnayani

“Wow, bersama sekian lama, apa nggak bosen?

Itu pertanyaan yang kerap mampir ke telinga kami berdua. Rata-rata yang bertanya begitu biasanya tahu kalau kami sudah bersama selama hampir 40 tahun, kalau dihitung dari masa pacaran. Aku mengenal lelaki yang kini menjadi suamiku sejak kami berusia 16 tahun, dan sejak saat itu pula, ia menjadi bagian yang tak terpisahkan dari hidupku. Kini kami sudah sama-sama berusia di atas setengah abad, dan menjalani biduk pernikahan selama hampir 25 tahun.

Ketika aku pertama kali jatuh cinta padanya, semua terasa sempurna. Terbersit keinginan untuk cepat-cepat menikah dan membina rumah tangga dengannya. Apalagi, kedua orangtua sudah sama-sama setuju dan kami merasa tidak ada lagi yang menghalangi kami untuk menikah.

Akhirnya, setelah melewati perjalanan penjajakan yang cukup panjang, kami menikah pada medio Oktober 1999. Namun, apakah pernikahan kami berjalan mulus-mulus saja? Ternyata tidak! Sungguh banyak kerikil dan batu-batu tajam yang berserakan yang membuat jalan pernikahan kami terseok, bahkan ‘kaki’ kami koyak dan terluka. Apa sajakah kerikil dan batu itu? Masalah perbedaan karakter, perbedaan pola asuh anak yang dibawa dari orangtua masing-masing, kesalahan-kesalahan yang dilakukan pasangan (yang tidak mudah dilupakan, apalagi ketika kesalahan itu berdampak jauh hingga ke tahun-tahun mendatang), masalah keuangan, harapan-harapan yang tidak tercapai, dan masih banyak lagi.

Bila fall in love itu mudah (kami saling jatuh cinta hanya dalam kurun waktu tiga hari saja, saat retret remaja), stay in love itu yang sulit. Tidak mudah terus mencintai orang yang sama selama puluhan tahun, apalagi setelah tahu ‘borok-borok’-nya, dan ikut merasakan dampak dari kesalahan-kesalahan yang ia buat. Lantas, bagaimana kami bisa bertahan?

Jujur, dalam perjalanan pernikahan yang menginjak 25 tahun ini, beberapa kali rasanya kami kerap putus asa dan ingin berpisah saja. Apalagi kalau itu berkaitan dengan dampak dari kesalahan yang pasangan kita buat; rasanya kalau bisa kita cerai saja, daripada ikut menanggung kesalahan itu! 

Salah satu keputusan gegabah yang pernah suami saya lakukan berujung pada kami harus kehilangan rumah pertama kami di lima tahun pertama pernikahan. Berhasil lepas dari masa suram itu, lagi-lagi ada masalah besar menerpa, yaitu kesalahan dalam mengelola bisnis klinik berdampak pada gonjang-ganjing perekonomian kami di usia pernikahan ke 11. Kemudian, di usia pernikahan yang seharusnya sudah mapan, di atas 20 tahun, giliran saya yang melakukan kesalahan dan berakibat pada keruwetan yang untuk mengurainya dibutuhkan kesabaran dan ketelatenan selama bertahun-tahun. 

Di masa-masa itu, sungguh terasa bahwa ternyata mencintai pasangan itu butuh usaha! Tidak mudah menerima kesalahan pasangan kita dan tetap mendampingi dia melewati lembah terjal itu. Kalau kami berdua sanggup melewatinya, kuncinya hanya satu: kasih

Mengapa kita harus mengasihi? Karena Allah adalah kasih: “Barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih” (1 Yoh 4:8).

Kesadaran ini membawa kami mengulik lebih jauh seperti apakah kasih Allah itu. Ternyata kami mendapati tiga hal penting:

1. Kasih itu memberi

“Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal” (Yohanes 3:16).

Allah mengaruniakan Yesus kepada kita ketika kita masih berdosa. Karunia bermakna lebih dari sekadar pemberian; karunia adalah anugerah yang sebenarnya tidak layak kita terima. Ketika kita mengaplikasikan prinsip ini dalam pernikahan, kita akan dimampukan untuk mengasihi pasangan kita meski dia mungkin tidak layak menerimanya. Ketika kesalahannya menyebabkan rumah tangga kita morat-marit. Ketika perselingkuhannya melukai dan mengoyak hati bukan hanya pasangan, tetapi juga anak-anak. Ketika keputusannya yang keliru menjadikan semua harapan kami kandas. Namun, sama seperti Allah telah lebih dulu mengasihi kita, kita pun diminta mengasihi pasangan kita, apa pun kondisinya. 

Prinsip kasih adalah memberi, menjadikan kita pihak yang aktif. Bukan pasif menunggu pihak pasangan yang lebih dulu mengulurkan tangan. Tidak juga menunggu dia sempurna dulu baru kita mau mengasihi. Tidak menunggu sampai situasi kita beres dulu. Saya tetap mencintai suami saya di masa ketika dia belum bisa menepati janjinya untuk menggantikan rumah kami yang hilang. Suami juga tetap mencintai saya meskipun kesalahan saya dalam mengelola keuangan rumah tangga berakibat pada gonjang-ganjing ekonomi selama sekian tahun. Mudah? Tentu tidak. Bila saya sulit mencintai pasangan di saat dia sedang tidak layak dikasihi, saya selalu kembali ke ayat di atas, agar saya ingat bahwa Allah telah lebih dulu mengasihi saya ketika saya juga sedang tidak kayak dikasihi. 

2. Kasih itu menuruti segala perintah-Nya

“Jikalau kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti segala perintah-Ku” (Yohanes 14:15).

Apakah perintah-Nya? Dalam Yohanes 13:34-35, Yesus memberikan perintah baru agar kita saling mengasihi: “Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi. Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi.”

Dulu, kami mengira bahwa berkomitmen untuk bertahan dalam pernikahan saja sudah cukup. Banyak alasan kami untuk bertahan, tapi tidak satu pun alasannya kasih. Kami bersembunyi di balik alasan bahwa pernikahan itu covenant (perjanjian) dengan Allah, bukan hanya dengan manusia. Meskipun itu benar, namun bahayanya, kita seringkali menjadikan itu alasan utama untuk bertahan dalam pernikahan tanpa merasa harus mencintai pasangan. Sehingga, pernikahan yang dijalani bak neraka. Karena, masing-masing berjalan sendiri, tak mau tahu lagi pada urusan pasangannya. “Bodo amat, yang penting nggak cerai. Mau dia masuk jurang kek, mau mati kek, aku nggak peduli!”

Atau, bertahan dalam pernikahan karena anak-anak. Tanpa kasih, itu tidak mungkin dilakukan. Karena begitu “pengikat” itu hilang (dalam hal ini anak-anak sudah tumbuh dewasa dan memiliki kehidupan masing-masing), tak ada lagi yang menahan pasangan dari bercerai. Sehingga kerap terjadi, pasangan di usia senja justru bercerai setelah menjalani pernikahan selama 30-40 tahun. Belum lagi anak-anak akan tertekan berada dalam pernikahan tanpa kasih. Mereka menjadi saksi betapa merananya kedua orangtua mereka menjalani hari demi hari selama puluhan tahun tanpa mencintai pasangan. Tidak jarang banyak di antara anak-anak itu yang kelak setelah dewasa merasa takut atau ragu untuk menikah. 

Berbeda bila kita mengutamakan kasih sebagai alasan untuk bertahan. Karena, firman Tuhan mengatakan: “Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih” (1 Korintus 13;13). Bahkan, bila kita baca keseluruhan perikop itu mulai dari ayat 1, kita akan melihat bahwa sia-sialah semua yang kita lakukan kalau kita tidak memiliki kasih. 

Jika kita tidak mengasihi pasangan kita, usaha kita mempertahankan pernikahan akan berakhir sia-sia. Jika kita tidak melakukan perintah-Nya yang utama yaitu mengasihi sesama, sia-sialah semua kesibukan ibadah dan pelayanan kita.

3. Kasih itu membuka diri untuk ditolong Roh Kudus

Kami bertahan karena menyadari bahwa kasih adalah fondasi dasar bagi hubungan kami. Tentu, pertengkaran masih sesekali terjadi. Perbedaan pendapat apa lagi. Namun, pemahaman akan kedua prinsip di atas membuat kami terus berusaha untuk mencintai. Ya, mencintai itu butuh usaha. Tapi sanggupkah kita melakukannya? 

Kalau dengan kekuatan kita sendiri, tentu tidak bisa. Di sinilah peran Roh Kudus.

Yohanes 16:13-14 berkata:Tetapi apabila Ia datang, yaitu Roh Kebenaran, Ia akan memimpin kamu ke dalam seluruh kebenaran; sebab Ia tidak akan berkata-kata dari diri-Nya sendiri, tetapi segala sesuatu yang didengar-Nya itulah yang akan dikatakan-Nya dan Ia akan memberitakan kepadamu hal-hal yang akan datang. Ia akan memuliakan Aku, sebab Ia akan memberitakan kepadamu apa yang diterimanya dari pada-Ku.”

Kerusakan karena dosa telah dialami oleh semua manusia, sehingga manusia kehilangan kemuliaan Allah. Dampak yang dialami manusia adalah kehilangan selera untuk tetap tinggal di dalam ketundukan kepada Tuhan. Hal ini disebabkan karena manusia hendak menjadikan segala sesuatu ada di bawah kuasanya, sehingga tidak jarang manusia menjadi sulit “diatur” dalam kebenaran. Manusia lebih memilih mengutamakan keinginannya dan lebih menyukai hidup terpisah dari hukum Allah, atau setidaknya memilih untuk mengikuti hukum yang sesuai dengan seleranya.

Namun, kehadiran Roh Kebenaran dalam hidup manusia akan membawa kita kepada kebenaran, dan menjadikan kita mengerti akan kebenaran sejati melalui Yesus Kristus. Pimpinan Roh Kebenaran (Roh Kudus) inilah yang pada akhirnya memampukan kita melakukan kehendak Allah. Dengan demikian, kita akan semakin memuliakan Kristus melalui hidup kita dan diwujudnyatakan di dalam kehidupan setiap hari, sebagai bukti bahwa kita telah mengenal dan mengalami kebenaran di dalam Kristus. 

Selamat mengusahakan cinta dalam pernikahan!


Baca Juga:

Cinta yang Bergumul

Cinta manusia selalu bergumul. Seperti cinta Toga dan Siska. Setelah melepas mimpi untuk memiliki keturunan, cinta mereka kembali diuji. Sanggupkah cinta bertahan?


Pelayanan Our Daily Bread Ministries di Indonesia didukung terutama oleh persembahan kasih dari para pembaca, baik individu maupun gereja di Indonesia sendiri, yang memampukan kami untuk terus membawa hikmat Alkitab yang mengubahkan hidup kepada banyak orang di dalam negeri.