Pdt. Bungaran Gultom

Musim penghujan sudah tiba. Siang yang panas bisa berubah dalam sekejap, awan mendung tiba-tiba muncul, siap memuntahkan proses akhir kondensasi yang terjadi kasat mata di awan-awan. Ya, hujan deras! Lalu, berita yang nyaris sama akan muncul di berbagai media: Banjir terjadi di berbagai tempat.

Bagi para pejuang rupiah, khususnya yang tinggal di kota-kota besar seperti Jakarta, musim penghujan memiliki tantangannya tersendiri. Bukan hanya menerjang jalan yang tergenang air dengan titik kubangan yang cukup tinggi, tetapi juga level kemacetan lalu lintas yang sudah pasti makin ruwet. Pada saat seperti itu, rasanya sudah menjadi pemandangan umum di hampir semua titik kemacetan, para pengendara motor atau mobil merasa sangat berhak didahulukan. Dalam situasi hujan yang deras, pekikan klakson kendaraan dari segala arah, kendaraan yang merangsek masuk dalam situasi yang sudah chaos membuat kemacetan makin tidak terkendali. Biasanya butuh waktu lama untuk mengurai simpul-simpul kemacetan yang terjadi. Polisi yang terlatih sekalipun seringkali kewalahan. Apalagi jika ada sekelompok orang yang memanfaatkan kesempatan itu untuk mengambil untung—alih-alih mengurai kemacetan, terkadang “bantuan” itu justru memperburuk situasi. 

Prinsip mendahulukan orang lain

Banyak orang mengenal prinsip Golden Rule atau Kaidah Kencana. Pada intinya, kaidah tersebut memberi kerangka tindakan antarsesama manusia. Sebagian besar agama dunia memformulasikannya demikian: “Jangan lakukan kepada orang lain apa yang menyebabkan rasa sakit jika dilakukan kepadamu,” atau “Jangan perlakukan orang lain dengan buruk, jika Anda tidak ingin diperlakukan demikian pula” (bentuk negatif atau larangan). Para pemikir agama-agama ini menyadari satu hal, bahwa kunci kehidupan bersama adalah melakukan sesuatu secara timbal balik. 

Namun, dalam Alkitab, Yesus mengatakan, “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi” (Matius 7:12). Itulah Kaidah Kencana dalam versi yang paling agung. Itulah saripati etika religius yang diajarkan Yesus. Prinsip yang telah menjadi inti ajaran para nabi itu kini diajarkan Yesus kepada orang percaya. Namun, untuk dapat melakukannya, mereka harus mengesampingkan apa yang disebut sebagai pementingan diri. 

Dengan pengorbanan yang sedemikian jelas—menjadi manusia, taat, bahkan sampai mati di kayu salib—Yesus mewujudkan prinsip tadi: menganggap yang lain lebih utama daripada diri-Nya sendiri, dan memperhatikan kepentingan mereka juga.

Rasul Paulus menjelaskan, “Hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri; dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga” (Filipi 2:3-4). Dalam konteksnya, Paulus sedang memperlihatkan sikap Tuhan Yesus yang patut diteladani oleh orang Kristen. Sebagai Putra Allah, di dalam diri Yesus berdiam semua atribut keilahian yang ada pada Allah. Namun, pada saat berinkarnasi di tengah-tengah dunia, Dia mengosongkan diri-Nya (kenosis; mengosongkan diri; membatasi diri) agar dapat menjumpai manusia dalam kedudukan-Nya sebagai manusia. Dengan pengorbanan yang sedemikian jelas—menjadi manusia, taat, bahkan sampai mati di kayu salib—Yesus mewujudkan prinsip tadi: menganggap yang lain lebih utama daripada diri-Nya sendiri, dan memperhatikan kepentingan mereka juga. Tujuan paling ultima dari tindakan pengorbanan ini adalah agar manusia berdosa diselamatkan. 

Apa yang disampaikan Paulus merupakan refleksinya terhadap hal paling mendasar dari Kaidah Kencana menurut Yesus. Yesus mengambil inisiatif untuk mendahulukan orang lain, dengan menganggap kepentingan manusia lebih utama daripada kenyamanan-Nya sebagai Putra Allah. Tidak ada yang memaksa Yesus untuk mengambil tindakan yang penuh pengorbanan itu. Yesus melihat manusia memerlukan pendamaian, perdamaian, kedamaian, dan damai sejahtera yang hanya mungkin didapatkan melalui pengorbanan-Nya di atas kayu salib. Kristus menyadari bahwa dalam keberdosaan mereka, manusia tidak akan pernah bisa berinisiatif dan sanggup memulihkan keadaan hidup mereka yang sudah rusak. Satu-satunya jalan adalah dengan menginisiasi tindakan tersebut dari diri-Nya sendiri. Maka kata Paulus, Dia menyerahkan diri-Nya, setelah secara empirik mengalami sendiri penderitaan dan kesulitan yang dihadapi oleh manusia yang berdosa. 

Entah kita menerapkannya dalam konteks relasi sesama anggota tubuh Kristus, atau dalam relasi dengan manusia pada umumnya, prinsip tersebut menjadi benih bagi terciptanya kehidupan yang penuh kedamaian.

Inisiatif untuk menempatkan diri pada pada posisi orang lain menjadi langkah awal untuk mengejawantahkan kaidah tadi. Entah kita menerapkannya dalam konteks relasi sesama anggota tubuh Kristus, atau dalam relasi dengan manusia pada umumnya, prinsip tersebut menjadi benih bagi terciptanya kehidupan yang penuh kedamaian. Kita dipanggil untuk meneladan Guru dan Tuhan kita, untuk “menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus” (Filipi 2:5).

Dalam kasus di jalan raya yang macet, setiap orang barangkali memiliki alasan masing-masing agar minta didahulukan, tetapi lihatlah akibatnya. Sebaliknya, bayangkan jika sebagian orang berinisiatif untuk mendahulukan sebagian yang lain untuk jalan terlebih dahulu sampai situasi memungkinkan mereka untuk jalan, barangkali situasi akan lebih kondusif. Atau seperti yang dilakukan oleh seorang pria yang meminggirkan motornya dan membantu mengatur alur kendaraan di tengah situasi macet agar simpul kemacetan menjadi terurai. Atau seperti dalam sebuah video yang sempat viral, seorang ibu yang memayungi petugas kepolisian yang sedang sibuk mengatur lalu lintas di tengah hujan. Sebuah tindakan sederhana, tetapi memberi gambaran yang jelas tentang apa yang disebut “mendahulukan kepentingan orang lain”. 

Musim penghujan sudah tiba, yuk, siapkan semua yang dibutuhkan kala musim hujan. Payung, jas hujan, penutup tas, cover sepatu atau barangkali termos kecil untuk menyimpan kopi dan minuman coklat yang barangkali bisa disesap bersama pak polisi setelah membantu beliau mengurai kemacetan? Kenapa tidak?


Saksikan Juga:

Mendahulukan Kebutuhan Orang Lain

Orang Swedia mengenal konsep “jantelagen”, yang dapat diartikan “menempatkan kebutuhan orang lain di atas kebutuhan sendiri”. Ide yang revolusioner ini ditunjukkan oleh putra Swedia, Alfred Nobel, dan juga oleh Rasul Paulus dalam Alkitab. Seperti apa wujud “jantelagen” dalam hidup Anda sendiri?


Pelayanan Our Daily Bread Ministries di Indonesia didukung terutama oleh persembahan kasih dari para pembaca, baik individu maupun gereja di Indonesia sendiri, yang memampukan kami untuk terus membawa hikmat Alkitab yang mengubahkan hidup kepada banyak orang di dalam negeri.