Oleh Bungaran Gultom
Pada suatu sore, saya berbincang dengan sahabat saya sejak kecil. Percakapan kami dimulai dengan lelucon ringan, kemudian berkembang jadi diskusi mendalam tentang kehidupan. Dibandingkan dulu, sekarang diskusi kami terasa lebih realistis dan berdasarkan pengalaman daripada sekadar idealisme. Salah satu isu yang kami bicarakan saat itu adalah: Apakah kami puas dengan kehidupan yang kami jalani?
Di usia kami yang telah menginjak setengah abad, topik tentang kepuasan hidup rupanya tidak menghilang, malah jadi semakin seru dibahas! Setelah lulus sekolah dan puluhan tahun bekerja, seharusnya segala perjalanan dan pencapaian membuat kami dengan mantap menjawab “puas dong”, tetapi kenyataannya tidak semudah itu. Tahun-tahun setelah lulus dan terpisah menyajikan pengalaman yang berbeda-beda bagi setiap kami. Akhirnya, kami menyadari bahwa kepuasan hidup rupanya tidak terletak dari apa yang kami capai, tetapi bagaimana kami memaknai hidup itu sendiri.
Alkitab pun tidak luput menyoroti topik tentang kepuasan hidup. Kitab Mazmur, contohnya, dengan tegas menyatakan bahwa kita tidak kekurangan karena Tuhan adalah gembala kita (Mzm. 23:1). “Takkan kekurangan” bisa dianggap sebagai bentuk kepuasan, karena dalam keadaan kecukupan itu, hasrat kita tidak lagi menginginkan apa pun. Namun, pada tulisan ini, saya mengajak kita semua untuk memaknai konsep kepuasan dari teladan sosok Rasul Paulus.
Puas “versi” Paulus
Dalam Filipi 4:11-13 (BIMK), Paulus menulis:
“Saya sudah belajar merasa puas dengan apa yang ada. Saya sudah mengalami hidup serba kekurangan, dan juga hidup dengan berkelebihan. Saya sudah mengenal rahasianya untuk menghadapi keadaan yang bagaimanapun juga; baik keadaan makmur maupun keadaan miskin, baik keadaan mewah maupun keadaan berkekurangan. Dengan kuasa yang diberikan Kristus kepada saya, saya mempunyai kekuatan untuk menghadapi segala rupa keadaan.”
Surat Filipi ditulis Paulus saat ia mendekam di penjara yang sempit dan terbatas. Penjara zaman Romawi bukanlah tempat yang layak untuk dihuni; sering kali, sel-sel penjara tersebut gelap, lembab, dan penuh dengan kotoran. Para tahanan tidak hanya menghadapi kondisi fisik yang menyiksa, tetapi juga tekanan psikologis yang berat. Mereka terpisah dari keluarga dan komunitas, hidup dalam ketidakpastian akan masa depan mereka. Namun, di tengah segala kesuraman itu, Paulus justru dengan tegas menyatakan, “Saya sudah belajar merasa puas dengan apa yang ada.”
Pernyataan tegas Paulus mengajak kita untuk menggali lebih dalam dasar-dasar alkitabiah yang mendasari sikapnya. Dalam situasi di mana Paulus merasakan dingin dan kejamnya penjara—bukan karena perbuatannya, melainkan sebagai konsekuensi dari komitmennya untuk melayani Allah—ia menghadapi penyiksaan, penganiayaan, dan fitnah keji, bahkan pemenjaraan tanpa pengadilan yang adil (2 Kor. 11:23-27; Kis. 14:19-20; 16:22-24; 2 Tim. 3:10-12). Puncak dari semua penderitaan ini adalah kematian yang mengerikan.
Begitu brutalnya hukuman-hukuman yang diterima Paulus. Dia adalah manusia biasa seperti kita, yang juga ringkih. Namun, oleh pertolongan Roh Kudus, ia mampu memposisikan dirinya seperti seorang nahkoda yang kapalnya dihantam badai, tetapi tetap bisa berkata, ‘Aku telah belajar puas.’ Bagaimana bisa, dan mengapa, Paulus meletakkan rasa puasnya justru pada saat dia terkurung dalam penjara?
Rahasia dari kepuasan Paulus terletak pada kesadarannya akan Kristus yang telah memberinya kekuatan untuk melewati apa pun dalam kehidupan ini. Pada kalimat berikutnya, ia berkata, “Dengan kuasa yang diberikan Kristus kepada saya, saya mempunyai kekuatan untuk menghadapi segala rupa keadaan” (Flp. 4:13 BIMK). Di satu titik dalam hidupnya, Paulus tidak lagi mengandalkan pencapaian dalam pelayanannya sebagai ukuran kepuasan. Sebaliknya, dengan rendah hati ia mengakui bahwa kekuatan sejatinya berasal dari Kristus.
Pernyataan Paulus sangat kontras dengan pandangan banyak orang, termasuk saya dan sahabat saya, yang sering kali memandang hidup sebagai sebuah medan perang dengan dua hasil yang jelas: menang atau kalah. Dalam pandangan ini, mereka yang berhasil melewati tantangan hidup dianggap sebagai pemenang, dan untuk bisa meraih menang, mereka harus memiliki ambisi yang besar, apa pun risikonya. Hasrat dan keinginan untuk mencapai tujuan—baik dalam karier, pendidikan, maupun kehidupan pribadi—sering kali berubah menjadi pengejaran ambisi yang berlebihan.
Meskipun memiliki ambisi adalah wajar, tetapi ketika porsinya menjadi berlebihan, ambisi itu tidak sekadar menjadi hasrat, tetapi berevolusi menjadi karakteristik diri kita. Tanpa disadari kita bisa saja jadi seorang yang ambisius. Meskipun ada sisi positif dari ambisi, seperti motivasi dan ketekunan, fokus yang berlebihan pada tujuan dapat mengorbankan hal-hal penting lainnya, seperti hubungan sosial dan kesehatan mental.
Dalam pencarian kita akan kepuasan, sering kali kita terjebak dalam ekspektasi bahwa pencapaian pasti akan membawa kebahagiaan. Namun, kenyataannya bisa berbeda. Pengejaran pencapaian secara buta bisa membuat kita kehilangan makna yang lebih dalam dalam hidup kita. Pertanyaan Yesus yang ironis, “Apa untungnya bagi seseorang, kalau seluruh dunia ini menjadi miliknya, tetapi ia kehilangan hidupnya?” (Markus 8:36 BIMK), mengingatkan kita akan hal ini. Paulus telah menunjukkan pada kita bahwa ia menemukan kepuasan bukan dalam pencapaian duniawi, tetapi justru dalam hubungan yang mendalam dengan Kristus, yang baginya adalah bagian paling penting dalam hidupnya. Kita diingatkan lagi bahwa kepuasan sejati terletak pada pengertian akan apa yang benar-benar berarti dalam hidup kita, dan bagi Paulus, itu adalah Kristus.
Menjalani Tahun dengan Kepuasan dari Allah
Kembali pada diskusi antara saya dan sahabat masa kecil: apakah kami puas dengan kehidupan yang kami jalani, kami pun banyak terdiam sebelum menjawabnya. Otak kami mengulang dan menguji kembali segala memori akan ambisi, impian, dan tujuan yang mengendalikan hidup kami sejak masa muda.
Dalam perjalanan hidup, kita mungkin pernah mendengar cerita tentang orang-orang yang sangat ambisius, yang berjuang keras untuk mencapai impian mereka. Namun, di balik pencapaiannya, ada juga tantangan yang mereka hadapi, seperti stres dan tekanan yang bisa mengganggu kesejahteraan mental. Hal ini tidak hanya terjadi di dunia akademis atau perusahaan, tetapi juga di berbagai lembaga, termasuk komunitas iman.
Sebagai orang percaya, kita dipanggil untuk hidup dalam damai sejahtera (Yoh. 14:27; 16:33; Mat. 11:28-30). Kunci untuk menikmati damai sejahtera ini terletak pada kemampuan kita untuk menemukan kepuasan dalam Tuhan. Memiliki hasrat untuk mengejar impian adalah hal yang baik, tetapi kita perlu ingat bahwa tidak ada pencapaian yang dapat memberikan kepuasan sejati. Hanya Kristus, dalam hikmat dan kasih-Nya, yang dapat menuntun kita untuk meraih impian kita, bahkan lebih dari yang kita harapkan, jika itu sesuai dengan kehendak-Nya (Ef. 3:20-21).
Saya sangat bersyukur atas kehadiran sahabat-sahabat dalam hidup saya. Meskipun hidup telah menempa kami menjadi sosok yang terus bertransformasi, pengalaman kami mengajarkan satu hal yang sangat berharga: “Saya sudah belajar merasa puas dengan apa yang ada. Dengan kuasa yang diberikan Kristus kepada saya, saya mempunyai kekuatan untuk menghadapi segala rupa keadaan.”
Selamat menjalani tahun ini dengan terus menikmati kepuasan dalam Kristus!
Saksikan Juga:
Raih Cuan dan Jadilah Kaya
Uang itu perkara penting, makanya meraih dan mengelolanya gak boleh asal-asalan. Tapi, di tengah gempuran informasi dan tuntutan hidup yang makin rumit, kita pun kesulitan dalam mengelolanya.
Simak Podcast KaMu Episode 9 yang menghadirkan Christian Fredy Naa (seorang pengajar dan praktisi) yang akan mengupas tuntas soal uang—tentang investasi dan produk-produknya, prinsip menabung dan persembahan, juga bagaimana mengelola keinginan dan pemasukan.
Pelayanan Our Daily Bread Ministries di Indonesia didukung terutama oleh persembahan kasih dari para pembaca, baik individu maupun gereja di Indonesia sendiri, yang memampukan kami untuk terus membawa hikmat Alkitab yang mengubahkan hidup kepada banyak orang di dalam negeri.