Aryanto Wijaya

Amplop kecil berwarna merah itu selalu sukses membuat senyum saya merekah. Di dalamnya, ayah saya telah menyisipkan beberapa lembar uang yang dia lipat dengan telaten. Pada pagi hari saat perayaan Sincia, amplop itu pun diberikan setelah saya mengepalkan tangan sambil mengucap salam “Kiong hi”. Nominal uangnya tidaklah besar, tetapi itu tidak mengecilkan rasa senang dalam hati.

Namun, tahun ini menjadi tahun yang berbeda buat saya dan keluarga. Dalam tradisi Tionghoa, seseorang berhak mendapatkan angpau selama ia belum menikah. Saya memang belum menikah dan masih berhak menerima angpau, tetapi ayah saya telah berpulang ke surga pada April tahun lalu, menjadikan perayaan Imlek kali ini lebih sepi dan terasa ada yang kurang.

Sejenak saya merenung. Jika pemberian berupa angpau yang menjadikan hati ini berbahagia di hari perayaan, sepertinya saya salah. Dari kehilangan ayah, saya memahami bahwa kebahagiaan di masa Sincia itu hadir bukan sebagai akibat dari menerima apa yang diberi, melainkan karena saya mengenal dan menjumpai sosok yang memberi. Karena saya sayang pada ayah, apa yang dia beri menjadi kurang penting daripada sosoknya sendiri. Fokus saya bukanlah pada pemberiannya, tetapi kepada pribadinya, seorang yang figurnya sentral dan saya kasihi serta banggakan.

Dalam perjalanan hidup ini, tanpa kita sadari, kita seringkali terkecoh. Kita menerapkan hubungan kausalitas (sebab-akibat) antara Tuhan dan pemberian-Nya, yang menjadi semakin keliru karena kita menuntut pemberian Tuhan itu harus selaras dengan kehendak kita.

Semisal, kita berharap bisa mendapatkan karir yang baik di perusahaan A, tetapi pada perjalanannya, kita mati-matian berusaha dan tidak juga mendapat kesempatan bekerja di sana. Lantas, hati kita masam dan bibir pun menggerutu, “Tuhan, katanya Engkau baik, tapi kok kayak gini? Kenapa Engkau tidak memberkati usahaku dan mengabulkan keinginanku?”

Kecewa karena keinginan tidak terkabul sejatinya adalah perasaan yang wajar dan manusiawi. Tuhan tidak melarang kita kecewa. Dalam Alkitab kita bisa melihat orang-orang pilihan-Nya yang mengalami kekecewaan. Ada Habakuk yang kecewa karena seolah Tuhan tidak menjawab doa dan tidak menolongnya meskipun dia sudah berdoa sekian lama (Habakuk 1:2-3); Naomi yang kecewa karena merasa Tuhan mengizinkan hal-hal buruk menimpa hidupnya (Rut 1:20-21); seorang pemuda kaya yang kecewa karena setelah berjuang taat pada perintah Tuhan malah diminta meninggalkan semua hartanya demi memperoleh hidup yang kekal (Markus 10:20-22).

Namun, betapa pun besar kekecewaan kita pada-Nya, itu tidaklah mendefinisikan sosok Allah yang sebenarnya.

Dalam kekecewaan terbesar Habakuk, Rut, dan tokoh-tokoh Alkitab lainnya, Allah tidak sedang mencampakkan mereka. Justru Allah sedang menenun jalan yang sempurna, yang membawa setiap orang pilihan-Nya untuk semakin mendekat pada-Nya, Sumber Hidup itu sendiri (Yohanes 15:1-8). Meskipun pernah kecewa, Habakuk tetap ditopang-Nya hingga dia pun pada akhirnya dengan iman dapat berseru, “ALLAH Tuhanku itu kekuatanku: Ia membuat kakiku seperti kaki rusa, Ia membiarkan aku berjejak di bukit-bukitku” (Habakuk 3:19).

Ketika kita bicara tentang kecewa, mau tidak mau kita harus berbicara tentang apa yang kita percayai di dasar hati kita. Tentang Tuhan, tentang diri kita, tentang kehidupan. Di balik marah dan kecewa Yunus, ada ketidakpercayaan terhadap kebijaksanaan Tuhan. Sebab itu, ketika Yunus melontarkan isi hatinya, Tuhan menjawab dengan pertanyaan, “Layakkah engkau marah?” (Yunus 4:4).

Allah adalah kasih (1 Yohanes 4:16). Dialah sumber dan perwujudan dari kasih paling agung, yang telah Dia berikan bagi kita semua dengan memberikan Yesus Kristus sebagai tebusan bagi dosa-dosa kita supaya kita semua beroleh hidup yang kekal (Yohanes 3:16). Oleh karena itu, semua yang Allah lakukan dan berikan pada kita selalu dilandasi atas kasih. Ketika Dia memberikan kita berkat berupa karir yang baik, studi yang memuaskan, dan lainnya, itu semua karena Dia mengasihi kita. Namun, ketika Dia mengizinkan adanya sakit fisik, kekecewaan, hingga tragedi, semua masih ada dalam cakupan kasih-Nya yang mungkin tak dapat kita mengerti saat ini tetapi selalu membawa kebaikan bagi kita yang mengasihi Dia (Yeremia 29:11; Roma 8:28).

Tahun 2023 yang baru sejengkal kita jalani mungkin masih menyajikan misteri dan ketakutan bagi sebagian kita. Tetapi, kita dapat mengarahkan hati dan pikiran kita kepada-Nya, Sang Kasih yang sejati sehingga apa pun yang akan kita terima sepanjang tahun ini dapat kita terima dengan senang hati karena kita mengenal Sosok Sang Pemberi yang selalu baik.


Baca Juga:

Harapan Di Tahun 2023

Tidak terasa, sudah 25 tahun ODB Indonesia dihadirkan Tuhan untuk melayani umat-Nya dan menjangkau jiwa-jiwa bagi kerajaan-Nya. Klik di bawah ini untuk mengetahui rencana pelayanan kami tahun ini dan pokok-pokok doa yang dapat Anda doakan.


Pelayanan Our Daily Bread Ministries di Indonesia didukung terutama oleh persembahan kasih dari para pembaca, baik individu maupun gereja di Indonesia sendiri, yang memampukan kami untuk terus membawa hikmat Alkitab yang mengubahkan hidup kepada banyak orang di dalam negeri.