Oleh Agustinus Ryanto

Setelah lulus kuliah pada tahun 2016 dan pindah bekerja ke Jakarta, ada satu hal yang mengganjal di hati: bosan. Setelah jam kerja usai dan pulang ke kos, saya bingung harus ngapain lagi. Lanjut bekerja paruh waktu, badan dan otak terasa lelah. Pergi mengunjungi teman, habis waktu di jalan karena macet. 

Alhasil, muncullah ide untuk menuangkan hasil foto dan petualangan zaman kuliah dulu ke dalam sebuah blog. Saat itu meskipun Instagram sudah familiar bagi warganet, konten-konten berupa video pendek belumlah lumrah sehingga dalam waktu kurang dari setahun rajin menulis di blog, saya mendapatkan ratusan ribu klik, puluhan teman baru, dan ratusan komentar dari sesama blogger yang saling memuji. 

Tanpa disadari, semua pencapaian ini membuat saya terlena. Saya merasa tulisan-tulisan saya sudah bagus dan meremehkan karya orang lain, meskipun kadang dalam hati ada rasa sebaliknya. Bila ada kritik, saya tidak pernah serius mencernanya. Hingga suatu ketika, ada seorang kerabat mengirimi saya pesan WA yang kritikannya begitu eksplisit. “Tulisan kamu jelek. Bacanya gak enak…”

Bak disambar petir, kritikan itu terasa membakar. Ketika hati sudah lebih tenang, saya membalas kritikan itu dengan ucapan terima kasih tanpa berusaha defensif. Enam bulan setelahnya, saya mendaftarkan diri untuk ikut kelas penulisan intensif dan menyadari bahwa kritikan itu bisa jadi alat yang baik untuk mengarahkan saya pada perbaikan diri. 

***

Rasa sombong yang pernah saya alami dulu agaknya tidak terlalu disadari lantaran itu terselubung dalam dalih “profesional”. Saya merasa tulisan-tulisan saya telah baik sehingga bila ada orang yang merasa susah paham, itu bukan karena saya yang kurang piawai, tapi wawasan mereka saja yang sempit.

Kesombongan dan rasa benar sendiri itu juga pernah dialami oleh jemaat di Laodikia hingga Allah pun menegur mereka dengan keras. Mengapa topik soal kesombongan ini disandingkan dengan jemaat Laodikia, bukannya mereka lebih dikenal dengan istilah jemaat yang “suam-suam kuku” (Wahyu 3:16)? 

Ada tujuh gereja atau jemaat yang disebutkan pada awal Kitab Wahyu dan istilah “suam-suam kuku” hanya disebutkan secara spesifik untuk jemaat Laodikia. Secara literal, menurut KBBI suam-suam dapat diartikan hangat—tidak panas, tapi juga tidak dingin. Namun, metafora yang lebih tepat mengenai istilah ini sebenarnya tidak mengarah kepada “asal-asalan”, “tidak bersemangat melayani Tuhan”, atau peribahasa lain seperti “hidup segan mati tak mau”. 

Kota Laodikia pada masa itu lokasinya strategis dan maju. Namun, kota ini punya masalah soal airnya. Sungai Laikus yang mengalir di Laodikia airnya merupakan percampuran antara air panas dari Hierapolis di utara yang punya manfaat pengobatan dengan air tawar segar di sisi timur. Pencampuran dua jenis air ini menjadikan air di Laodikia keruh, berlumpur, sehingga tidak bisa diminum. “Suam-suam kuku” yang bermakna literal tidak dingin atau tidak panas bila kita lihat dari perspektif geografis ini memberi kita suatu makna yang lebih jelas: suatu keadaan yang tidak berguna, di mana air yang tak bisa diminum itu tak bisa menyembuhkan atau pun menyegarkan. 

Mengapa jemaat Laodikia didaulat sebagai jemaat tidak berguna? Mari kita simak Wahyu 3:17-18:

“Karena engkau berkata: Aku kaya dan aku telah memperkayakan diriku dan aku tidak kekurangan apa-apa, dan karena engkau tidak tahu bahwa engkau melarat, malang, miskin, buta, dan telanjang, aku menasihatkan engkau, supaya engkau membeli dari Aku emas yang telah dimurnikan dalam api, agar engkau menjadi kaya, dan juga pakaian putih, supaya engkau memakainya, agar jangan kelihatan ketelanjanganmu yang memalukan, juga minyak untuk melumas matamu, supaya engkau dapat melihat. 

Jemaat Laodikia merasa diri sudah cukup (ayat 17), padahal mereka sejatinya membutuhkan banyak pertolongan dari Kristus (ayat 18). Rasa cukup ini dipengaruhi oleh kondisi ekonomi penduduk yang berlimpah secara ekonomi. Laodikia merupakan penghasil kain wol hitam dan minyak mata. Catatan sejarah menyatakan bahwa pada tahun 60 M, Laodikia dilanda gempa. Namun, karena kemajuan ekonomi yang menjadikan kota ini kaya, mereka menolak segala jenis bantuan, termasuk biaya bantuan pembangunan kembali dari kaisar. Mereka merasa tangguh dan tidak berkekurangan. Segala kekayaan yang mereka nikmati membuat mereka mengalami kecukupan rohani yang palsu. Mereka merasa kaya padahal miskin, berpakaian bagus padahal telanjang, mampu mengobati kebutaan padahal mereka sendiri buta. Solusi yang Kristus tawarkan kepada mereka adalah diri-Nya sendiri, agar jemaat Laodikia belajar untuk terus menerus menginginkan Kristus lebih dan lebih lagi. 

Fenomena gereja di Laodikia bukanlah merujuk pada jemaat yang melayani tanpa semangat. Mereka justru memiliki percaya diri yang kuat, tetapi keliru. Mereka merasa diri sudah cukup baik dalam segala hal sehingga tak lagi bergantung pada Kristus. 

Kecukupan rohani yang palsu itu dapat mewujud ke dalam gereja yang tak lagi memberitakan Injil dengan setia, yang tidak lagi menganggap Kristus satu-satunya yang paling berharga, yang mengompromikan dosa, bukannya berserah penuh untuk tunduk pada Kristus. Dan, janganlah juga lupakan bahwa gereja itu tak hanya bicara tentang gedung atau organisasi, tetapi juga diri kita sendiri.

***

Hari ini, terlepas dari norma sopan dan santun dalam kata-kata yang kerabat saya sampaikan, saya bersyukur telah menerima kritikan itu, yang darinya saya “tertampar” untuk melihat kembali ke dalam diri saya. Roh Kudus telah menolong saya untuk menerima kritik yang pedas sekalipun dengan rendah hati. Bila kerendahan hati itu absen, rasanya mustahil untuk saya menyadari bahwa yang terjadi selama ini di balik dalih ‘profesional’ adalah kesombongan terselubung yang mematikan. 

Bila karena segelintir pujian dan pencapaian saja sudah membuat kita merasa di atas angin, apakah segala kemudahan dan berkat-berkat jasmani yang kita terima telah membuat kita lupa akan sosok Kristus yang memberi segalanya dan dasar dari segalanya? 

Menutup tulisan ini, saya ingin mengutip tulisan dari Pdt. Yakub Tri Handoko berikut:

Jika yang dicari oleh jemaat hanyalah kecukupan secara jasmani, mereka bisa mendapatkan semua itu tanpa Kristus. Iblis bisa menyediakan popularitas dan berkat jasmani (Mat. 4:1-11). Kerja keras bisa membuat orang kaya menjadi kaya (Ams. 10:4). Bahkan ketika semua kebutuhan jasmani sudah tercukupi, mereka merasa tidak lagi membutuhkan Kristus. Inilah jemaat yang suam-suam kuku yang siap dimuntahkan oleh Kristus!

Mintalah pertolongan Roh Kudus untuk menyelediki dan mengenal setiap relung hati kita, dan menuntun kita kepada jalan yang kekal. 

Terpujilah Kristus, kini dan selamanya!

 


Saksikan Juga:

Ini Mauku, Apa Mau-Mu? | Explore Masa Muda Buat Hidupin Panggilan!

Mencari tahu apa yang menjadi kehendak Tuhan untuk kita itu gampang-gampang susah. Jadi, bagaimana caranya agar kita dapat mengetahuinya? Dan, tidak hanya sekadar tahu, tetapi supaya keinginan kita selaras dengan keinginan Tuhan.

Simak topik seru ini, bersama Echa Soemantri, anak muda, yang lewat talenta dan pengalaman hidupnya dipakai Tuhan untuk menjadi berkat!


Pelayanan Our Daily Bread Ministries di Indonesia didukung terutama oleh persembahan kasih dari para pembaca, baik individu maupun gereja di Indonesia sendiri, yang memampukan kami untuk terus membawa hikmat Alkitab yang mengubahkan hidup kepada banyak orang di dalam negeri.