Dhimas Anugrah

Di Tanah Air, hingga Agustus 2021, angka kematian akibat virus corona sudah menyentuh lebih dari 100 ribu jiwa. Mungkin tidak sedikit di antara mereka adalah orang-orang yang kita kenal dan kasihi. Wabah ini telah menimbulkan rasa takut bagi banyak pihak, termasuk orang Kristen. Belum lagi, dampak ekonomi dan sosial yang diakibatkan oleh berbagai bentuk pembatasan sosial dan kegiatan pekerjaan membuat banyak orang menjerit. Meskipun hati kita lebih lega karena mendengar berita jumlah kasus terkonfirmasi Covid-19 mulai menurun, kita masih belum tahu sampai kapan kelegaan tersebut dapat bertahan. 

Harapan untuk merdeka dari virus ini terus terpancar pada setiap hati rakyat Indonesia. Hasrat kemerdekaan tersebut tidak lepas dari suasana peringatan hari ulang tahun ke-76 kemerdekaan Republik Indonesia. Kita diingatkan bagaimana sebagai bangsa dan negara, kita telah melewati perjalanan panjang yang penuh liku dan pilu, tetapi sampai di titik ini, kita masih dapat berkata, “Sampai di sini Tuhan menolong kita” (1 Samuel 7:12).

Akan tetapi, tidak dipungkiri, masih banyak orang yang dilingkupi rasa takut. Mereka takut ekonomi tak kunjung pulih, takut virus ini akan merenggut banyak jiwa, atau takut dunia takkan menjadi sama seperti sebelum wabah ini merebak. Meskipun wajar, rasa takut kini seakan menjadi gejala sosial, bukan lagi sekadar gejala kejiwaan seseorang. Ketakutan di masa pandemi seakan membenarkan penilaian sosiolog Jerman Heinz Bude pada tahun 2014 lalu. 

Dalam bukunya “Society of Fear”, Bude mengatakan bahwa masyarakat dunia dipenuhi rasa takut. Rasa takut menjadi pengalaman dasar manusia, yaitu rasa takut terhadap bahaya, kelaparan, penyakit, dan kematian, sehingga muncullah istilah “timeo ergo sum” (aku takut, maka aku ada), yang bisa dimaknai bahwa eksistensi setiap manusia selalu menyimpan rasa takut di dalam dirinya. Ketakutan ini sudah menjadi pengalaman rutin sehari-hari, dan menunjukkan dengan jelas bagaimana rapuhnya jiwa kita sesungguhnya. Seorang anak Tuhan pun bisa terbelenggu oleh ketakutan yang sama. Sebab, ketakutan tidak mengenal batas agama dan strata sosial. 

Kebenaran yang Memerdekakan

Kita memahami, sebagaimana diungkapkan dalam Kitab Suci, rasa takut sudah menyelimuti jiwa manusia sejak kejatuhan Adam dan Hawa dalam dosa. Ketika Tuhan Allah memanggil Adam, “Di manakah engkau? ” Adam menjawab, “Ketika aku mendengar, bahwa Engkau ada dalam taman ini, aku menjadi takut” (Kejadian 3:9-10, penekanan ditambahkan). Sejak peristiwa kejatuhan ini, rasa takut tiada henti diturunkan kepada ribuan generasi umat manusia, yang kemudian terbelenggu olehnya.

Rasa takut merupakan konsekuensi dosa asal dan menjadi salah satu ekspresi dosa yang menjerat. Namun, kondisi ini bukannya tanpa solusi. Kitab Suci mewartakan kabar baik: ada solusi bagi manusia untuk merdeka dari rasa takut. Tuhan Yesus mengatakan, “Jikalau kamu tetap dalam firman-Ku, kamu benar-benar adalah murid-Ku, dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu” (Yohanes 8:31-32).

Firman Tuhan, yang adalah kebenaran itu, hidup dan berkuasa—berdampak menguduskan dan membebaskan semua yang percaya firman-Nya.

“Kebenaran itu akan memerdekakan kamu.” Kalimat ini penting. Secara sederhana, “kebenaran” adalah pikiran, perkataan, dan kehendak Allah. Jika demikian, dari mana kita dapat mengenal kebenaran itu? Tiada lain, dari sabda Tuhan yang tertulis dalam Kitab Suci. Yesus mengatakan, “Firman-Mu adalah kebenaran” (Yohanes 17:17). Firman Tuhan, yang adalah kebenaran itu, hidup dan berkuasa—berdampak menguduskan dan membebaskan semua yang percaya firman-Nya. Pembebasan itu bekerja melalui sabda Tuhan yang mengajar, menyatakan kesalahan, memperbaiki kelakuan, dan mendidik kita dalam kebenaran (2 Timotius 3:16). Dalam tulisan-tulisan Rasul Yohanes, “kebenaran” itu adalah Sang Firman itu sendiri, Yesus Kristus, sehingga, dapat dikatakan menerima Yesus sama artinya dengan menerima kebenaran (Yohanes 1:12-14,17; 14:6; 1 Yohanes 1:7; 2 Yohanes 1:4; 3 Yohanes 1:3-4).

Seorang dokter di Medan pernah bersaksi, ketika ia dinyatakan positif Covid-19 dan dirawat di IGD yang berisi enam orang, ketakutan menguasai dirinya. Apa lagi, setelah pasien di sebelahnya belum lama meninggal dunia. “Saya langsung membaca Alkitab dan berdoa kepada Tuhan Yesus sembari berucap biarlah kehendak-Mu yang jadi,” ujar dokter tersebut. Pada hari kedua, karena kondisi ruang isolasi yang tidak memadai, dokter itu disarankan untuk rawat jalan. Namun, setelah lima hari di rumah, kondisinya semakin memburuk. Meski akhirnya dirawat di sebuah rumah sakit lain di luar kota, kondisinya semakin drop, dan ia pun seperti hilang harapan. Ia berusaha untuk tetap percaya kepada Allah, dengan berdoa, “Tuhan, kalau memang Engkau berkehendak aku mati di sini, biarlah itu yang terjadi, karena itulah yang terbaik bagiku.” Setelah memanjatkan doa tersebut, hatinya tak lagi dikuasai ketakutan seperti pertama kalinya ia masuk ke IGD. 

Pengalaman sang dokter menunjukkan bagaimana perkataan Allah yang diimaninya sanggup menolongnya terbebas dari rasa takut. Kebenaran firman Tuhan yang tertanam dalam hati kita berkuasa untuk bekerja mengatasi ketakutan yang membelenggu. Entah sembuh atau tidak, dokter itu menghadapinya dengan keberanian dan kesiapan. Ia percaya dan dikuatkan oleh sabda Tuhan, “Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan” (Filipi 1:21). Puji Tuhan, sang dokter akhirnya sembuh, dan ia pun bersukacita membagikan kesaksian tentang kuasa firman kebenaran yang menguatkannya di sebuah media nasional.

Dengan merenungkan sabda Tuhan, mempelajari kebenaran hikmat-Nya, dan mengimani apa yang tertulis di dalamnya, kita akan menemukan bahwa Kitab Suci memiliki kekuatan yang mengubahkan.

Dengan merenungkan sabda Tuhan, mempelajari kebenaran hikmat-Nya, dan mengimani apa yang tertulis di dalamnya, kita akan menemukan bahwa Kitab Suci memiliki kekuatan yang mengubahkan. Matthew Henry, seorang rohaniwan dan penafsir Alkitab pada abad ke-17, pernah berkata, “Kebenaran yang diajarkan para filsuf tidaklah berkuasa dan berpengaruh untuk memerdekakan jiwa, tetapi hanya kebenaran Tuhan dalam firman-Nya yang sanggup.” Kebenaran sabda Tuhan berkuasa menyembuhkan dan membebaskan jiwa orang-orang yang memeliharanya. 

Saat ini keadaan negara kita sedang jatuh bangun karena pandemi COVID-19. Namun, saat memperingati hari ulang tahun ke-76 kemerdekaan Republik Indonesia dalam situasi yang tidak ideal ini, marilah mengenal Sang Firman Kebenaran dan mengimani firman yang disabdakan-Nya. Kebenaran itu sanggup membebaskan kita dari belenggu rasa takut. Biarkan Yesus Kristus, Sang Kebenaran Sejati, mengaruniakan jiwa kita rasa damai dan ketenteraman yang abadi.


Baca Juga:

Bebas, Apa Artinya?

Ingin merdeka dari semua batasan? Tak ada larangan, ikatan, dan bisa jadi diri sendiri, pasti bahagia. Tunggu dulu. Benarkah itu kebebasan? Temukan jawabannya dalam Seri Pengharapan Hidup ini.


Pelayanan Our Daily Bread Ministries di Indonesia didukung terutama oleh persembahan kasih dari para pembaca, baik individu maupun gereja di Indonesia sendiri, yang memampukan kami untuk terus membawa hikmat Alkitab yang mengubahkan hidup kepada banyak orang di dalam negeri.