Oleh Charles Christian
Suatu hari putri saya yang masih berusia dua tahun melihat sebuah mainan kesayangannya ada di atas lemari yang tidak terjangkau olehnya. Tahu bahwa ia tak bisa meraih mainan itu dengan usahanya sendiri, ia kemudian mencari saya dan mengajak ke lemari itu dengan menarik tangan saya. Ia kemudian menunjuk ke mainan yang ingin diambilnya, meminta bantuan saya untuk mengambilkannya. Dengan senang hati saya membantunya dengan menggendongnya hingga ia dapat meraih mainan tersebut. Setelah mendapatkan mainannya ia amat senang dan meninggalkan saya. Namun, sebelum keluar ruangan ia mengatakan kepada saya, “Tis, pa…” Itu adalah caranya mengungkapkan terima kasih dengan kemampuan bicaranya yang masih terbatas, tetapi saya memahaminya dan saya senang dapat menolong dan mendapatkan ungkapan terima kasih dari putri yang saya kasihi.
Jika saya mengingat kembali kejadian tersebut, saya juga teringat akan sebuah kisah yang ada di Lukas 17:11-19, kisah Yesus menyembuhkan sepuluh orang kusta. Saya membayangkan sepuluh orang kusta tersebut pastilah begitu merana. Pada zaman Yesus, penyakit kusta bukan hanya dianggap sebagai masalah medis, tetapi terlebih dari itu adalah masalah teologis. Kusta dianggap sebagai sebuah penyakit kutukan atau tanda seseorang tidak berkenan di hadapan Allah atau sedang mendapatkan hukuman dari Allah. Akibatnya, penderita kusta menjadi orang-orang yang terkucilkan. Bayangkan betapa besarnya beban fisik dan mental yang harus mereka tanggung.
Ketika melihat Yesus, mereka melihat secercah harapan di tengah keputusasaan mereka. Mereka percaya Yesus akan menolong mereka, sama seperti putri saya percaya bahwa saya akan menolongnya. Itulah yang membuat mereka berteriak memohon kepada Yesus, “Yesus, Guru, kasihanilah kami!” (ay. 13).
Yesus pun menolong mereka, tetapi alih-alih langsung menyembuhkan mereka, Dia meminta mereka memperlihatkan diri kepada imam-imam. Sepuluh orang kusta tersebut percaya dan dengan taat melakukan apa yang Dia perintahkan. Di tengah perjalanan, mereka mendapatkan kesembuhan yang mereka minta. Mereka bergembira, tetapi hanya satu dari sepuluh orang itu yang kembali kepada Yesus untuk mengucap syukur dan memuliakan Allah. Kepada seorang Samaria ini Yesus berkata, “Berdirilah dan pergilah, imanmu telah menyelamatkan engkau” (ay. 18).
Kisah itu mengingatkan saya, bahwa meskipun ucapan terima kasih terlihat sepele, ia seringkali terlupakan. Mudah bagi kita untuk mengingat Tuhan ketika kita sedang susah untuk memohon pertolongan-Nya. Namun, saat Tuhan telah menolong dan menjawab doa-doa kita, apakah kita kembali kepada-Nya dengan ucapan syukur dan memuliakan Dia?
Allah ingin kita berseru kepada-Nya pada waktu kesesakan (Mazmur 50:15), meminta pertolongan-Nya, percaya dan taat kepada-Nya, dan mempersembahkan syukur kepada-Nya. Firman Tuhan dalam Mazmur 50:23 berkata, “Siapa yang mempersembahkan syukur sebagai korban, ia memuliakan Aku.” Marilah kita datang kepada Allah bukan hanya memohon agar Ia memulihkan kita dari segala kesesakan kita, namun juga untuk mengingat segala kebaikan yang telah Allah berikan kepada kita, dan mempersembahkan syukur kita kepada-Nya atas segala kebaikan tersebut. Dengan mengucap syukur, kita telah memuliakan Bapa kita yang di sorga.
Saksikan Juga:
Mengucap Syukur dalam Segala Hal
Kerap kali perhatian kita terpusat pada apa yang tidak kita miliki. Namun, bagaimanapun keadaan keuangan kita, kita semua dapat bersukacita dan mengucap syukur kepada Allah, karena Dia telah memenuhi kebutuhan kita yang terbesar lewat pengorbanan Anak-Nya. Saksikan cerita Daniel Ryan Day tentang suatu masa ketika Allah mengingatkannya untuk tetap bersyukur dalam segala hal.
Pelayanan Our Daily Bread Ministries di Indonesia didukung terutama oleh persembahan kasih dari para pembaca, baik individu maupun gereja di Indonesia sendiri, yang memampukan kami untuk terus membawa hikmat Alkitab yang mengubahkan hidup kepada banyak orang di dalam negeri.