Oleh Agustinus Ryanto

Saat sedang termenung akan sesuatu, pernahkah tiba-tiba pikiranmu secara otomatis menyanyikan sebuah lagu? 

Kamu begitu menikmati lagu itu. Lirik-liriknya teringat jelas. Melodinya melantun lembut. Mungkin air matamu menetes, atau lekas segaris senyum terlukis di bibirmu. Setelahnya, keadaan di sekitarmu, atau masalahmu tidak berubah, tetapi kamu merasa ada setitik kelegaan yang terbit di hati. 

Aku sering mengalami ini. Namun, aku sempat bertanya: apakah perasaan haru yang timbul dari sebuah nyanyian adalah buah dari kepribadianku yang melankolis? Atau, sungguhkah sebuah nyanyian bisa memberikan kontribusi pada kemampuan manusia berselancar dalam batinnya, atau lebih jauh lagi, dalam perjalanan rohani seseorang? 

Aku sendiri sebenarnya bukanlah orang yang akrab dengan dunia musik karena tak ada satu pun anggota keluargaku yang bisa memainkan instrumen musik atau sekadar bernyanyi. Namun, ketika aku mulai pergi ke gereja atas inisiatif sendiri pada awal milenium, di situlah aku menjadi semakin akrab dengan musik meskipun aku sendiri hingga kini tidak bisa memainkan instrumen musik apa pun. Sejak “ditangkap” Tuhan, aku menghabiskan banyak waktu pada masa remajaku dengan berada di gereja—ikut persekutuan, ibadah umum, hingga paduan suara. Dalam semua acaranya, musik tak pernah absen. Hingga saat aku sudah dewasa, musik-musik gereja telah melekat kuat, bahkan ikut membentuk diriku. Misalnya saja, ketika aku merasa tidak berharga karena ditolak oleh keluarga dan lingkungan, kuingat lagi lagu Yesus Sayang Padaku yang sering kudengar dari sebuah kaset. Liriknya dan melodinya sederhana, tapi maknanya begitu kuat, bahwa aku sungguh disayang oleh Kristus. 

Dalam tulisan ini, aku lebih ingin berbagi bagaimana nyanyian-nyanyian rohani yang kita sering dengar dan ucapkan bukanlah sekadar ritual belaka, atau melodi tanpa arti yang tak berkuasa mengubah hati. 

***

Dalam iman Kristen, musik memerankan posisi vital dalam peribadatan dan kehidupan spiritual sehari-hari, bahkan bisa dikatakan juga tidak terpisahkan. Penggunaan musik dalam ritual peribadatan bisa ditelusuri juga pada masa Perjanjian Lama. Sebelum era Raja Daud, bangsa Israel kuno menggunakan musik untuk kepentingan sosial, bekerja, memberi semangat dalam peperangan, merayakan kegembiraan dan kemenangan, dan menyatakan kesedihan. Barulah setelah Daud naik takhta, musik mulai dikoordinir untuk kepentingan ibadah. Pada 1 Tawarikh 23:3-5, dicatat bahwa Daud menugaskan 4.000 orang dari 38.000 orang Lewi untuk menjadi penyanyi dan pemain musik. Mereka lalu dilatih oleh 288 orang ahli seni yang berasal dari keturunan Asaf, Heman, dan Yedutun (1 Tawarikh 25:7). Dan kita pun tentu tidak lupa bahwa kitab nyanyian yang terkenal, Mazmur, juga ditulis oleh Daud sendiri dan kata-katanya terus menginspirasi kita hingga hari ini. 

Selain sebagai sarana penyembahan terhadap Allah, musik yang mewujud dalam lagu-lagu rohani adalah cara untuk mengakali pikiran manusia yang terkadang pelupa. Mungkin tak banyak dari kita, para anggota jemaat yang ingat isi khotbah dari pendetanya seminggu lalu, apalagi sepuluh tahun lalu. Tapi, besar kemungkinan semua masih ingat lagu-lagu rohani yang dinyanyikan di kelas sekolah Minggu atau persekutuan-persekutuan sepuluh hingga puluhan tahun lalu. Melodi yang menyertai lirik, menjadikan kita mudah mengingat sebuah lagu. Namun, tak cuma lagunya yang sejatinya tersimpan dalam memori otak, melainkan juga segenap suasana dan perasaan yang pernah kita rasakan saat lagu-lagu itu dinyanyikan.

Ini jugalah yang menjadikan mengapa iman kita akrab dengan nyanyi-nyanyian. Kitab Mazmur begitu banyak bertutur tentang karakter Allah. Salah satu bagian Mazmur yang paling kuhayati adalah pasal 51, tentang pengakuan dosa Daud ketika Nabi Natan datang menegurnya. Ribuan tahun setelahnya, Mazmur ini kudengar ketika aku sedang bergumul dengan rasa bersalah dari suatu dosa. 

Kasihanilah aku ya Allah, menurut kasih setia-Mu, hapuskanlah pelanggaranku menurut rahmat-Mu yang besar. (ay. 3)

Ketika solis menyanyikan refrain yang kemudian diikuti oleh kantoria, penyesalan yang terbit di hati Daud kurasakan ikut mencelus juga ke dalam hatiku. Kuyakin ini bukan semata karena suasana ibadah yang sentimentil, tetapi juga salah satu buah dari pekerjaan Roh Kudus yang menginsyafkan manusia akan dosa (Yohanes 16:8). 

Ada begitu banyak lagu-lagu rohani yang hari-hari ini beredar di sekitar kita. Terlepas dari bagaimana khazanah musik di denominasi gereja kita, kuyakin lagu yang dibuat, disusun, digubah, dan dinyanyikan dengan sepenuh hati untuk Tuhan akan menghasilkan nyanyian yang tak hanya menggema di gedung gereja atau pun playlist musik kita, tetapi akan menjadi nyanyian yang terus terlantun di sepanjang jalan kita untuk mengingatkan kita selalu pada Allah yang setia. 

***

Ketika kupandang ke luar jendela dari kursi tempat dudukku di kereta, kulihat barisan gunung-gunung dengan puncaknya yang lebat tertutup pepohonan. Di atasnya, terlukis angkasa luas dengan warna biru yang menyala disertai goresan-goresan putih dari awan-awan stratus. 

Seketika, dalam hatiku terlantun nyanyian “Biarpun gunung-gunung beranjak dan bukit-bukit pun bergoyang, tapi kasih setia-Mu tak akan beranjak dariku…” 

Mengingat dan menyanyikan lagu adalah segelintir dari karunia Allah bagi kita untuk menikmati pribadi-Nya. Ketika pikiran kita terbatas untuk mengingat dan bibir terbata untuk berkata-kata, izinkan nyanyian hadir dan bermelodi atas nama jiwa kita kepada Sang Mukhalis, hari ini dan di sepanjang jalan hidup kita. 

*Tulisan ini ditulis di atas kereta api, pada petak lintasan antara Purwokerto dan Cirebon.


Saksikan Juga:

Temu Teman Jelajah “Mazmur 1–50”

Saat menjalani hidup ini, adakalanya Tuhan terasa jauh, diam, dan asing. Namun, di saat-saat lain, Dia terasa begitu dekat dan hangat. Merenungkan Kitab Mazmur dapat menolong kita mengenali isi hati yang terdalam, pergolakan batin dalam kerinduan mengenali Tuhan, pemilik dan penilik hati kita. Selalu ada mazmur yang tepat untuk menggambarkan suka duka berjalan bersama-Nya.


Pelayanan Our Daily Bread Ministries di Indonesia didukung terutama oleh persembahan kasih dari para pembaca, baik individu maupun gereja di Indonesia sendiri, yang memampukan kami untuk terus membawa hikmat Alkitab yang mengubahkan hidup kepada banyak orang di dalam negeri.