Oleh Aryanto Wijaya

Pap… ayo iki madunya diminum sek,” ucap sesosok wanita lansia sambil tangannya tremor memegang sendok. 

Si Papa, yang sudah demensia, strok, dan tak kalah uzur menyahut, “Emoh!”. Nggak! Lalu mengomel sebentar menggunakan bahasa Indonesia berlogat Jawa Timuran. 

Eeee….ndak boleh gitu loh!” Sang istri lalu berjalan perlahan dari tepi kulkas menuju sofa di dekat televisi. “Ini harus diminum, harus nurut kata dokter,” tambahnya. 

Kali ini, sang suami menurut. Sesendok madu itu pun ditelannya. 

***

Secuplik kisah di atas bukanlah drama. Itu adalah keseharian nyata dari sepasang lansia berusia 80 tahun lebih yang sering saya sambangi. Di kunjungan terakhir saya bulan Agustus lalu, kondisi fisik mereka berdua telah jauh menurun. Sang istri yang saya panggil Tante Mel, telah mengalami beragam penyakit khas usia lanjut seperti sakit pinggang, sulit berjalan, dan pikun. Sementara itu, suaminya yang saya panggil Om Bhud, dua tahun lalu menderita strok yang mau tak mau memaksanya untuk afkir dari pelayanannya sebagai dokter gigi. Kliniknya telah dia hibahkan untuk gereja dan kendaraaan yang biasa dikemudikannya, kini hanya teronggok di garasi. Absennya aktivitas yang dulu bisa dengan mudah dilakukan turut mengundang kelemahan tubuh lainnya. Tahun kemarin Om Bhud mengalami demensia dan katarak. Dia hanya mampu mengingat nama saya selama satu menit, setelahnya lupa dan bertanya lagi, “Sebentar…ini kamu siapa ya?” Terus begitu selama dua jam kunjungan saya. 

Om Bhud dan Tante Melani adalah salah satu pembaca Santapan Rohani yang pada tahun 2019 lalu berbesar hati memberikan rumahnya sebagai tumpangan kepada saya dan tim ketika kami melakukan pelayanan pemuda ke gereja dan sekolah-sekolah di Surabaya. Setelah pelayanan kami usai, saya rutin berkontak dengan mereka lewat obrolan WhatsApp, dan setiap kali singgah ke Surabaya, selalu saya sempatkan mampir ke rumah mereka. 

Usia senja memang telah menggerogoti hampir seluruh kemampuan fisik mereka, tetapi ada satu hal yang membuat hati saya bergetar. Setelah Om Bhud selesai menenggak madu, mereka berdua duduk di sofa bersama saya. Mereka bertanya kesibukan apa yang sekarang sedang saya kerjakan. Saya jawab bahwa bulan kemarin saya dan tim melakukan pelayanan misi ke Maluku. Belum selesai saya bercerita, mereka berdua mendadak antusias. Tangan Tante menepuk pundak saya, “Aduh! Jauh sekali ke sana. Itu ngapain aja?” 

Saya ceritakan dengan detail bagaimana pada tahun ini pelayanan misi yang kami lakukan menjangkau orang-orang Kristen di pelosok negeri yang hidup dengan akses listrik terbatas. Setelah cerita saya usai, Tante tiba-tiba berdiri. Dia masuk ke dalam kamar sekitar lima menit, lalu kembali sambil membawa sebuah amplop putih.

“Ri… kami mau ikut pelayanan ini! Tapi, kami wis tuek (sudah tua), wis ora mampu pergi ke mana-mana. Jadi, ini ada uang yang nggak seberapa. Tolong diterima buat pelayanan ini.” 

Jika tadi di ritual minum madu Om Bhudi sempat tak sependapat dengan istrinya, kali ini mereka seiya sekata. “Iya, Ri. Tolong diterima. Kami tetep mau pelayanan meskipun kami sudah begini, nggak iso apa-apa lagi,” katanya. 

Amplop itu pun saya terima. Saya memeluk mereka berdua lalu berdoa sebelum saya melanjutkan perjalanan ke stasiun. 

Nominal yang mereka berikan tidaklah besar, tetapi mengenang kembali dua jam kebersamaan tadi, saya meyakini motivasi yang mendasari tindakan mereka sungguhlah besar. Kerinduan untuk melayani Tuhan memang tak seharusnya dibendung oleh sekat bernama usia. Pada masa pelayanan Yesus di dunia, Dia menunjukkan pada kita bagaimana Dia melayani orang-orang dari berbagai generasi, dan mengizinkan mereka untuk menghampiri Dia. Ada anak-anak (Markus 10:14), pengantin baru (Yohanes 2:1-11), dan orangtua dari seorang anak yang baru saja tiada (Matius 9:18-26). Orang-orang yang telah Yesus layani, yang kemudian tergerak untuk meneruskan pelayanan itulah yang menjadikan iman Kristen terus berkesinambungan melewati lintasan tahun. 

***

Sejak lulus kuliah pada 2016 lalu, hingga kini saya melayani bersama Our Daily Bread Ministries (ODBM) di Indonesia yang pada tahun ini berusia 25 tahun. Hadir dalam ruang redaksi tak hanya tentang menulis dan memproduksi beragam konten yang menolong pertumbuhan iman audiens, tapi juga memberi saya kesempatan untuk berjumpa orang-orang yang kami layani secara langsung. Om Bhud dan Tante Mel adalah salah satu dari sosok yang kami layani dan tergerak untuk kembali melayani bersama kami. 

Sepanjang perjalanan pelayanan ODBM di Indonesia, kami bermisi untuk menjadikan hikmat Alkitab yang mengubahkan hidup dapat diterima dan dimengerti oleh semua orang. Kita percaya bahwa firman Allah yang ada dalam Alkitab berkuasa untuk mengubahkan kehidupan seseorang (2 Timotius 3:16) dan kita dipanggil untuk memberitakannya kepada siapa pun dan kapan pun (2 Timotius 4:2). Kata “semua orang” yang terdapat dalam misi ini menjadi poin kunci yang menjadikan pelayanan kami bersifat luas, menjangkau semua generasi dengan konten-konten yang mengutamakan pendekatan relasional, relevan, empati, dan dapat dipercaya.

Kata “semua orang” yang terdapat dalam misi ini menjadi poin kunci yang menjadikan pelayanan kami bersifat luas, menjangkau semua generasi dengan konten-konten yang mengutamakan pendekatan relasional, relevan, empati, dan dapat dipercaya.

Kami bersyukur karena oleh rahmat Tuhan yang terwujud lewat dukungan dari para pembaca terkasih, misi tersebut dapat terus kami lakukan. Selain menolong setiap pembaca menikmati persekutuan pribadi dengan Kristus lewat Santapan Rohani, kami turut dimampukan untuk memperlengkapi pembaca dengan beragam konten lain yang lebih spesifik dalam berbagai format. Ada Beranda Pendeta untuk mendampingi pelayanan hamba-hamba Tuhan. Hikmat Alkitab untuk Keluarga untuk memberikan materi-materi parenting yang biblikal. WarungSaTeKaMu yang menjadi kawan seperjalanan dalam pertumbuhan iman anak-anak muda. ODBU, sebuah inisiasi baru untuk menolong orang-orang awam lebih mudah belajar teologi. Teman Jelajah, komunitas untuk menjelajahi firman Tuhan bersama-sama dengan cara yang seru. Dan sederet inisiatif serta karya lainnya terus kami lakukan untuk melayani para audiens di Indonesia. 

***

Seperti yang telah dilakukan Om Bhud dan Tante Mel, inilah yang menolong pelayanan kami bertahan dan bertumbuh hari lepas harinya. Kita percaya dan mengamini bahwa manusia hidup bukan hanya dari roti saja, tetapi juga dari firman-Nya (Matius 4:4). 

Dua puluh lima tahun perjalanan ODB Indonesia adalah upaya yang tak dapat kami lakukan seorang diri. Ini adalah pelayanan kita bersama.

Dua puluh lima tahun perjalanan ODB Indonesia adalah upaya yang tak dapat kami lakukan seorang diri. Ini adalah pelayanan kita bersama. Mari kita terus bersehati agar misi menjadikan hikmat Alkibat yang mengubah hidup dapat diterima oleh semua orang dapat terus kita lakukan sampai tahun-tahun mendatang, hingga kelak Tuhan menyambut kita, “Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia” (Matius 25:21).


 
Oktober 2023, resmi 25 tahun Our Daily Bread Ministries melayani umat Tuhan di Indonesia. Saat melihat penuh syukur ke belakang, dan memandang penuh harap ke depan, kami hanya dapat berucap, ”Great is Thy Faithfulness, O God”. Sungguh besar kesetiaan Tuhan dalam kehidupan dan gerak langkah pelayanan kami.

Bersama dengan para rekan pelayanan dan pembaca yang telah mendampingi dan mendukung, marilah ikut bersyukur dan merayakan kebaikan Tuhan. Ayo berikan kesaksian berkat yang Anda terima dari pelayanan kami di https://santapanrohani.org/hut25.


Pelayanan Our Daily Bread Ministries di Indonesia didukung terutama oleh persembahan kasih dari para pembaca, baik individu maupun gereja di Indonesia sendiri, yang memampukan kami untuk terus membawa hikmat Alkitab yang mengubahkan hidup kepada banyak orang di dalam negeri.